9. Serangan Tengah Malam

27 7 0
                                    

Setelah si Belang mendengkur di bawah kursi dengan pulas, Santosa meninggalkannya sekejap. Ia memutuskan untuk kembali menjelajahi rumah kosong itu guna mencari remah-remah peralatan yang barangkali dapat dijadikan bekal untuk perjalanannya esok hari. Dengan langkah tertatih dan sebelah tangan menggenggam batang lilin yang kian mengecil, Santosa memasuki tiap ruangan yang nyaris tak berperabot. Menyusuri tiap jengkal laci dan lemari guna menemukan apa pun yang layak disebut perbekalan. Sama seperti halnya rumah kosong yang lama tak berpenghuni lainnya, rumah itu tak memiliki begitu banyak barang dan perabotan. Laci-laci dan lemari-lemari lebih banyak kosong seolah telah ditinggal penghuninya untuk pindah ke suatu tempat.

Dalam penjelajahannya, Santosa akhirnya dapat mengumpulkan beberapa barang berharga yang dapat digunakannya untuk melanjutkan perjalanan besok. Di antaranya, sebuah tas ransel usang, tiga biji pemantik api yang tersisa di dalam kotaknya, sebilah pisau kecil yang nyaris berkarat yang bisa dijadikan alat untuk membela diri di dalam keterdesakkan. Santosa memasukkan keseluruhan benda tersebut dalam tas usang yang ditemukannya dalam sebuah bilik di lantai atas.

Setelah merampungkan isi tasnya, Santosa memutuskan untuk menyelesaikan pencariannya. Seluruh ruangan telah ia datangi. Seluruh laci, lemari, ceruk di antara dinding telah ia periksa dan rasanya tak ada yang luput dari jangkauannya. Akan tetapi, ia tak menemukan apa pun lagi yang cukup berharga sebagai bekal. Terlebih lilin di tangannya pun kini semakin minim, hanya berukuran tak lebih dari dua ruas jari.

Ada satu hal yang aneh bagi Santosa selama menjelajahi rumah kosong ini. Jika di dunianya, rumah kosong serupa ini akan membuat indera keenamnya bangkit. Penglihatan dan nalurinya yang tajam membuat Santosa dapat merasakan kehadiran makhluk tak kasat mata di tempat seperti itu. Namun, agaknya rumah kosong di dunia serba hitam putih itu sedikit berbeda. Santosa tak merasakan sedikit pun aura astral di dalamnya.

Dengan langkah tertatih, Santosa berjalan keluar dari kamar paling ujung di lantai tersebut setelah memanggul ranselnya. Bayang-bayang gelap dirinya yang terpantul di dinding terlihat seumpama hantu yang mengikutinya sepanjang jalan. Namun, tiba-tiba langkah Santosa terhenti tepat di depan sebuah kamar terbuka yang dilewatinya. Ia telah menggeledah kamar itu beberapa waktu yang lalu, tetapi rasanya tak menemukan apa pun yang berharga untuk diambil.

Akan tetapi, dari sudut matanya kala itu, Santosa dapat melihat sesuatu yang mencolok tergeletak di atas tempat tidur usang yang berdebu. Rasanya ia tak melihat benda itu di sana tadi. Barangkali matanya memang sudah tidak awas sehingga benda tersebut luput dari pandangan, terlebih lagi karena keremangan dan dunia yang bernuansa monokrom. Dituntun oleh rasa penasaran, Santosa lantas memasuki kamar itu.

Dari dekat, barulah ia mengenali bentuk benda yang tergeletak di atas ranjang. Dengan takjub, Santosa mendekati tempat tidur, lalu berlutut di sampingnya setelah meletakkan lilin di atas meja kecil di samping ranjang. Sebelah tangannya yang gemetar terulur meraih benda tersebut, lalu mengamatinya lekat-lekat.

Semula, Santosa mengira jika benda tersebut adalah sebuah buku. Namun, setelah melihatnya dari jarak yang sangat dekat, ternyata benda itu adalah sebuah peta yang berukuran tidak terlalu besar. Di atasnya terdapat garis-garis melengkung, panjang dan sebagian membentuk lingkaran dengan huruf-huruf kecil sebagai petunjuk nama tempat. Keseluruhan permukaannya terasa kasar dan timbul di bawah permukaan telapak tangan Santosa. Cahaya temaram menyusahkan Santosa dalam membaca tulisan itu.

"Baiklah, mungkin kau akan berguna. Aku akan mencari tahu besok," gumamnya sembari memasukkan lembaran peta yang terbuat dari kertas tebal berwarna kuning kusam itu ke dalam tasnya. Setelahnya Santosa melanjutkan langkah untuk turun ke lantai bawah.

Di lantai bawah, si Belang masih tidur melingkar dengan nyenyaknya mengabaikan kegelapan yang melingkupi sekitar. Nyala lilin yang dibawa Santosa samar-samar kembali menerangi ruangan itu. Namun, Santosa tahu jika lilinnya tak akan bertahan hingga pagi menjelang. Apalagi, benda tersebut kini tersisa tak lebih dari seruas jari.

Santosa memutuskan untuk meletakkan sisa lilin itu di atas meja. Ia memasrahkan seberapa lama lilin itu bertahan menerangi ruangan. Toh, ia tidak terlalu takut akan kegelapan. Kemudian, ia menyusun beberapa kursi meja makan hingga berderet memanjang, membuat tempat tidur untuk bermalam.

Keheningan dan cahaya remang segera saja menyeret Santosa ke alam mimpi begitu kelopak matanya tertutup. Malam itu, tidak seperti malam-makam biasanya, Santosa sama sekali tidak bermimpi. Tidurnya begitu nyenyak dan melenakan hingga suara-suara teriakan mendadak mengagetkannya dari alam bawah sadar.

Santosa terbangun, tetapi yang terlihat hanyalah gelap yang absolut sejauh mata memandang. Namun, keterkejutannya segera berganti kengerian yang teramat sangat saat ia berhasil melihat pergerakan samar di antara gelap ruangan. Di balik kegelapan itu, suara-suara langkah kaki dan raungan yang gaduh mengelilinginya. Santosa rupanya tak lagi sendirian.

Perlahan-lahan, setelah matanya mampu menyesuaikan diri dengan kegelapan, Santosa dapat melihat samar bayangan beberapa makhluk yang mirip manusia sedang bergerak ke sembarang arah mengitari ruangan yang ditempatinya.

Dengan kebingungan dan ketakutan, Santosa lantas memberanikan diri membuka suara. "Hei, siapa kalian?"

Akan tetapi, bukan jawaban yang didapatnya melainkan suara raungan brutal dan serangan yang bertubi-tubi yang langsung menghambur ke arahnya. Cakaran tajam mengoyak kulitnya di beberapa bagian membuat Santosa refleks melolong jeri. Alih-alih mendapat bantuan dari teriakannya, makhluk-makhluk yang sama brutalnya berdatangan semakin ramai mengeroyoknya.

Santosa yang kesakitan, tak berhasil mempertahankan posisinya duduk dengan stabil di atas kursi. Lelaki paruh baya itu terjengkang hingga jatuh menghantam lantai. Namun, makhluk-makhluk ganas berkuku tajam itu tak juga berhenti. Mereka semakin brutal menyerang Santosa.

"Hentikan?! Tolong!" Santosa merintih di tengah-tengah serangan itu. Kebingungannya belum juga reda, ia telah diserang oleh ketakutan dan kengerian serupa ini. Dalam hari ia mengumpat dan mengutuk.

Dalam perjuangannya menahan serangan, samar-samar Santosa mendengar suara si Belang yang mengeong lirih dari salah satu sudut rumah. Suara tersebut justru membuat Santosa semakin gusar, tetapi di sisi lain menambah kekuatannya. Pikiran lelaki paruh baya itu terpecah antara menahan serangan dan keinginan untuk mencari si Belang.

Santosa mulai terdesak saat salah satu makhluk ganas itu tiba-tiba mencekik lehernya hingga dadanya terasa sesak. Belum lagi beberapa cakaran yang harus ditanggungnya sekaligus. Santosa merasa jika ia akan mati saat itu juga. Lelaki paruh baya itu mulai melantunkan mantra-mantra lirih yang diingatnya di antara napasnya yang terputus-putus dengan pasrah. Ia tidak siap untuk mati. Tidak akan pernah siap.

After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang