11. Fajar Menyingsing

25 11 0
                                    

Santosa mengira jika dirinya akan mati saat itu juga. Tenaganya telah habis terkuras, sementara sekujur tubuhnya harus menanggung nyeri yang tak terperi akibat cakaran makhluk-makhluk mengerikan yang bahkan tak dapat dilihatnya dengan jelas di dalam kegelapan. Namun, sebuah suara samar yang tenggelam di antara raungan dan geraman makhluk-makhluk itu membuat kekuatan Santosa seketika bangkit. Seolah rasa sakitnya menguap begitu saja, Santosa bangkit sembari meradang. Salah satu kursi yang menjadi tempat tidurnya yang terjengkang di salah satu sisi tubuh diraihnya dan dijadikan senjata untuk membalas serangan makhluk-makhluk brutal itu.

Dengan kebrutalan yang sama, Santosa mengayunkan kursi kayu itu dengan liar ke sembarang arah. Bunyi berdentum dan berderak menandakan jika pukulannya mengenai makhluk mengerikan itu satu per satu dengan telak.

Si Belang mengeong lagi dengan lirih, kemudian berganti menjadi geraman garang seolah sesuatu atau sesosok makhluk tengah menyerangnya. Suara tersebut membuat Santosa semakin kalap. Emosi yang menguasai kepalanya memberikan kekuatan yang besar baginya untuk melawan. Gigitan demi gigitan tak diacuhkannya lagi seolah hal itu bukan apa-apa. 

Embusan angin begitu kencang menyadarkan Santosa jika salah satu pintu utama di rumah itu terbuka, tepat di bagian samping ruang makan. Dari sanalah makhluk-makhluk brutal serupa manusia itu berasal. Namun, baik di dalam rumah maupun di luar rumah, kegelapan merajalela. Bulan bahkan tak menunjukkan parasnya. Barangkali di dunia monokrom itu tidak ada bulan, tetapi Santosa hanya dapat menerka-nerka.

Sebagai puncak kemarahan terakhirnya, Santosa melayangkan kursi yang semula dijadikannya senjata ke arah sekumpulan makhluk yang meraung. Beberapa makhluk penyerangnya telah ambruk terkena pukulan kursi sehingga memberi Santosa cukup waktu sebagai jeda baginya untuk menemukan tas ransel usang berisi perbekalannya. Digendongnya tas tersebut di punggung, sebelum berlari mencari suara si Belang. 

Suara mengeong itu terdengar jelas dari dalam sebuah bilik yang terletak di samping pintu rumah yang terbuka, bilik tempat ia pertama kali menemukan si Belang. Bilik itu masih temaram seperti sebelumnya, bahkan jauh lebih gelap karena tak disinari cahaya sama sekali. Namun, Santosa masih dapat menangkap siluet dua sosok makhluk mirip manusia yang meraung-raung parau dan terlihat menyerang si Belang.

Demi melihat pemandangan itu, Santosa meraung marah dan tanpa berpikir panjang menyerang kedua makhluk itu dengan tangan kosong. Setengah melompat, Santosa menerpa punggung makhluk-makhluk itu hingga mereka semua jatuh berdebum menghantam lantai ubin dingin di bawah pijakan, sementara si Belang melompat menghindar dan menanti Santosa di ambang pintu bilik. Namun, tak semudah itu bagi Santosa untuk melepaskan diri dari kedua makhluk haus darah yang telah dirusak kesenangnnya.

Kedua makhluk yang semula menyerang si Belang itu kini menyerang Santosa dengan brutal secara keroyokan. Satu mencakar, sementara yang lainnya menggigit. Santosa yang bertangan kosong susah payah menghindar, tetapi satu dua cakaran serta gigitan harus diterimanya. Bahkan, luka-luka yang tercipta pada penyerangan sebelumnya kini bertambah parah setelah menerima gigitan dan cakaran yang lain. Santosa terdesak. Ia merintih kesakitan saat tubuh rentanya jatuh menghantam lantai ubin yang dingin.

Santosa nyaris tak mampu lagi bergerak, sementara kedua makhluk haus darah itu kembali mengepung si Belang. Santosa berusah menggerakkan tubuh dan jari-jemarinya untuk bergeser mendekati si Belang, tetapi upayanya sia-sia. Ia bahkan tak bergeser seinci pun, tenaganya benar-benar terkuras.

Untuk bermenit-menit yang terasa sangat lama, Santosa terpuruk di sudut bilik, menatap kosong ke arah si Belang yang sedang disiksa oleh para monster. Hatinya benar-benar hancur. Air matanya mengalir deras melihat kejadian itu, tetapi mirisnya ia tak dapat melakukan apa-apa. Santosa benar-benar merasa sangat menderita dan tersiksa.

Di antara kesadaran dan kegelapan yang menyambangi kepalanya silih berganti, sekonyong-konyong, Santosa mendapati cahaya terang menyeruak masuk dari arah pintu bilik yang terbuka. Bersamaan dengan sorot cahaya yang semakin terang, makhluk-makhluk brutal itu melemah. Rupa mereka yang mengerikan bak mayat hidup akhirnya terlihat. Mereka berjalan tak tentu arah dengan langkah terseok-seok dilumpuhkan cahaya. Sebagian dari mereka berlarian mencari tempat gelap di bagian lain rumah, sementara sebagian lainnya yang telah terluka dan lebih lemah ambruk satu per satu. Para penyerang si Belang pun turut ambruk di atas pijakan mereka.

Santosa bertanya-tanya apa yang terjadi sembari berusaha keras mempertahankan kesadarannya. Dari sudut matanya, Santosa melihat si Belang mendekat ke arahnya dengan terpincang-pincang. Satu kaki belakang makhluk malang itu agaknya terluka. Santosa juga melihat bebrapa luka robek yang menghiasi sekujur tubuh si Belang. Warna merah di antara bulu hitam, kuning dan putih adalah pemandangan yang indah bagi Santosa, sementara dunia di sekitar dan dirinya sendiri tak memiliki warna, tetapi tidak pada saat itu.

"Belang?" Santosa membuka suara lirih sembari mengulurkan tangannya yang gemetaran dan terkoyak di beberapa bagian ke arah kucingnya. Ia baru menyadari jika tubuhnya sendiri jauh lebih mengenaskan daripada si Belang. Meski tanpa warna merah darah, tetapi bau anyir memuakkan itu memberi cukup informasi bagi Santosa untuk menilai seberapa parah raganya. 

Si Belang mengeong lirih sebagai sahutan. Lidah kecilnya menjilati jari-jemari Santosa seolah sedang berusaha mengobatinya. Akan tetapi, tak ada keajaiban yang terjadi. Pun luka-lukanya sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kesembuhan. Santosa terkekeh getir. "Kukira kau akan mengobatiku," ucapnya.

Namun, lagi-lagi si Belang menyahutinya dengan mengeong. 

Susah payah Santosa bangkit dari posisinya. Berusaha bergerak di antara kungkungan rasa sakit di sekujur tubuh. Setelah berhasil menegakkan punggungnya, Sansosa mengulurkan satu tangannya ke belakang punggung hingga telapak tangannya menyentuh tas lusuh yang masih lekat di punggung. Ia lantas mengembuskan napas lega.

Salah satu sudut bibirnya tertarik sedikit. "Mari kita lanjutkan perjalanan, Belang."

After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang