18. Selamat Jalan Belang

21 8 0
                                    

Dalam keterpurukan Santosa, mayat hidup yang baru saja memangsa dan membunuh si Belang lantas menyerangnya dari arah belakang. Santosa yang tak sedikit pun waspada jatuh berguling ke tanah dengan bangkai si Belang di dalam pelukannya. Sementara, mayat hidup lainnya hanya mengawasi dengan tangan terkembang siap mencengkeram. Berbeda dengan si brutal, ia seolah memiliki kesadaran layaknya manusia.

Mayat hidup brutal itu lantas menyerang Santosa dengan kuku-kuku tajamnya, mencabik, mengoyak kulit renta yang telah dipenuhi luka sebelumnya tanpa ampun. Santosa melolong jeri, menahan pedih di sekujur tubuhnya. Namun, ia tak melawan karena kedua lengannya sekuat tenaga masih menahan si Belang. Meski ia harus mati, ia harus mempertahankan si Belang. Namun, kesadaran kembali menguasainya, jika ia mati, maka siapa yang akan melakukan penghormatan terakhir kepada si Belang? Kemungkinan terburuk, si Belang bahkan mungkin menjadi  mangsa si mayat hidup brutal. Santosa tak dapat membiarkan hal itu terjadi.

Seolah mendapatkan kekuatan dari sesuatu yang tak kasatmata, Santosa lantas menemukan kekuatan untuk melawan. Sepasang tungkainya bergerak, menerjang, tak kalah sengit dengan serangan si mayat hidup. Usahanya mulai membuahkan hasil. Meski babak belur, Santosa akhirnya berhasil menjatuhkan si brutal dengan tendangan dan pukulan siku bertubi-tubi. Tanpa membuang waktu, lelaki paruh baya itu kemudian memaksa tubuhnya bangkit melawan rasa sakit.

Santosa berlari, mencari celah menjauhi si mayat hidup brutal. Ia menyelinap di antara pepohonan hitam yang rapat, tetapi di luar dugaannya, mayat hidup yang sedari tadi hanya mengamati mereka lantas mulai mengejarnya.

Napas Santosa menderu. Jantung di dalam tunik lusuhnya menggedor-gedor. Adrenalinnya mengalir deras, menciptakan sensasi pelarian yang sempat dirasakannya pada suatu malam pembacokan di Banyuwangi. Pepohonan dan semak belukar menjadi satu-satunya pemandangan yang membentang sejauh mata memandang. Namun, di dalam pikirannya, kegelapan hutan justru membawanya kembali pada rumah reotnya yang gelap gulita pada malam naas itu.

Santosa terus berlari, mengabaikan ujung-ujung ranting tajam yang menggores kulitnya, merobek luka-luka menganganya yang mulai terlihat bagaikan borok busuk. Sepasang tungkai Santosa seolah melesat di atas angin. Bahkan, akar-akar besar yang melintang di atas permukaan tanah menjadi rintangan yang seolah telah ia taklukan sejak lama. Satu-satunya hal yang membakar semangatnya kala itu adalah keinginan untuk menguburkan Santosa di tempat yang layak.

Santosa tersasar saat suara raungan telah semakin jauh tertinggal, sementara pemandangan di sekitarnya perlahan berubah menjadi padang ilalang setinggi kepala. Kegelapan hutan rupanya telah berganti dengan sepotong langit abu-abu terang.

Santosa memelankan larinya. Barulah ia merasakan ngilu dan sakit di sekujur tungkai. Nyeri-nyeri pada luka-lukanya yang menganga pun perlahan berkedut samar. Santosa menoleh pada kegelapan yang telah ia tinggalkan beberapa meter di belakang. Bayangan sosok mayat hidup yang semula berteriak brutal mengejarnya telah berhenti di dalam kegelapan. Sosok itu bersembunyi sebelum perbatasan yang terang benderang membinasakan mereka.

Senyum Santosa merekah samar.  Ia telah berhenti berlari saat menyadari jika para pengejar itu tak akan pernah mengganggunya lagi. Terang rupanya adalah senjata terbaik untuk memerangi makhluk-makhkuk kegelapan itu. Mereka, sama dengan para penyerang di rumah kosong, akan binasa oleh cahaya terang.

Setidaknya Santosa menemukan satu celah untuk bertahan hidup kini. Siang adalah waktunya berkelana sejauh mungkin mendekati tujuan, tetapi saat senja mulai tiba, ia harus segera mencari tempat persembunyian atau sumber api.

Tempat yang dilaluinya kini jauh lebih bersahabat dari beberapa meter yang tertinggal di belakang. Jalanan tanah tanpa lumut, membuat langkahnya ringan menerobos rimbun ilalang berwarna abu-abu setinggi kepala. Tak satu pun pohon yang terlihat sejauh mata memandang. Pun tak ada sesuatu yang terlihat membahayakannya di padang itu.

Santosa tidak begitu mengingat, berapa lama ia berjalan hingga sebatang pohon kurus dengan sedikit daun menjulang di antara lautan ilalang. Tak jauh dari pohon itu, beberapa meter di sisi timur sebuah rumah kosong yang cukup luar berdiri kokoh dengan pagar tinggi mengelilinginya.

Santosa lantas memutuskan untuk berhenti di bawah pohon itu. Di sanalah tempat yang akan dipilihnya sebagai persemayaman terakhir si Belang. Lelaki paruh baya itu berlutut tepat di samping pohon, kemudian meletakkan mayat si Belang yang telah kehilangan warna di atas tanah beralas tuniknya yang bernoda darah. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, Santosa lantas menggali tanah padat di sekitar pohon dengan bantuan patahan dahan.

Meski, awalnya terlihat mustahil, tetapi nyaris dua jam kemudian, Santosa telah berhasil membuat lubang yang cukup untuk menguburkan si Belang. Diraihnya tubuh ringkih tak bernyawa itu dari atas tanah, dipandanginya sekilas, sebelum akhirnya diletakkannya ke dalam liang peristirahatan terakhir. Tak ada lagi Isak tangis yang terdengar dari mulut si dukun tua.

Dengan perasaan hancur lebur, ditimbunnya tubuh mungil itu dengan tumpukan tanah di sekitar lubang. Meski hanya kuburan seekor kucing, tetapi diberinya penanda dari patahan ranting dan potongan ilalang agar siapa pun yang tanpa sengaja melewati tempat itu tahu jika sebuah jasad bersemayam di dalam sana.

Senja perlahan turun mengganti terang pada langit abu-abu di atas Santosa saat ia menyelesaikan dianter akhirnya di atas pusara si Belang. Dengan mata tua yang sayu ditatapnya langit dengan perasaan getir. Sungguh semangat hidupnya telah terkubur di dalam sana, di balik bongkahan tanah berwarna abu-abu gelap, hingga ia enggan beranjak. Bukankah setiap yang bernyawa pasti akan menghadapi kematian? Sementara, hidup harus tetap berlanjut bagi yang ditinggalkan.

Santosa perlahan beranjak dari posisinya, berdiri dengan enggan. Saat senja semakin pekat, akhirnya Santosa beranjak dari pusara si Belang menuju rumah besar di hadapannya. Ia harus tetap hidup dan berlindung dari kegelapan.

After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang