10. Ritual

30 8 0
                                    

Santosa sengaja tak menyalakan lampu saat masuk ke dalam bilik pratiknya. Seperti biasa ritual perdukunan memang lebih terasa mistis dalam keadaan gelap.

Yono mengikuti Santosa dalam diam dan mengambil posisi di hadapan meja ritual. Asap tipis menyan, dupa dan kembang tujuh rupa yang berpadu dalam bokor perak mengepulkan aroma magis yang memenuhi ruangan. Sebatang lilin menyala di tengah-tengah meja, tepat di samping bokor perak tersebut. Nyalanya yang berkedip-kedip menjadi satu-satunya penerangan bagi seantero kegelapan yang berukuran 3x3 meter. Barang-barang yang semula dibawa Yono telah tertata rapi di atas meja dengan susunan sedemikian rupa penanda ritual telah siap untuk dilaksanakan.

"Sekali lagi aku bertanya, apakah kau benar-benar siap melakukan ritual ini dan bersedia menerima risiko apa pun?" Santosa menatap Yono lekat di balik kabut asap menyan tipis yang mengisi jarak di antara mereka. Temaram ruangan dengan satu-satunya sumber cahaya yang hanya berasal dari lilin membuat ekspresi Yono nyaris tak terlihat.

Yono mengangguk mantap. "Saya siap lahir dan batin, Mbah," sahut pemuda itu. Santosa dapat mendengar tekad yang kuat dalam suara gemetarnya. Hal yang lumrah bagi Santosa jika Yono merasa ketakutan dengan apa yang mereka lakukan saat itu. Semula Santosa juga begitu, puluhan tahun lalu saat pertama kali menjalankan ritual yang berhubungan dengan makhluk gaib. Namun, seiring berjalannya waktu, Santosa menjadi terbiasa dengan kemistisan, hal-hal berbau klenik, bahkan makhluk halus.

"Bagus," sahut Santosa. "Sekali memulai, kau tak akan bisa kembali lagi."

"Saya mengerti, Mbah."

Santosa lantas mengagguk sebagai tanggapan. Kedua tangannya perlahan mulai naik di atas kepulan asap, berputar pelan di antara perpaduan bau menyan, kembang dan dupa. Sementara, bibirnya yang menghintam berkomat-kamit merapal mantra lirih. Akan tetapi, gerakan tangan dan rapalan mantra itu mendadak terhenti. Lelaki paruh baya itu kembali menatap Yono yang serta-merta menyorotnya dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Aku lupa mengantakan satu hal." Ucapan Santosa menggantung di udara.

Yono menanti dalam diam, berusaha mengenyahkan rasa penasaran yang merongrongnya.

"Apa pun yang terjadi, jangan melakukan apa-apa. Jangan berteriak, jangan lari. Tetap diam di tempatmu. Barangkali iblis yang akan kita undang akan mengujimu terlebih dahulu dengan beragam ujian. Dia mungkin akan mengujimu dengan perasaan takut, marah, emosi, bergairah, tetapi satu hal yang harus kau ingat bertahanlah dan jangan beringsut sedikit pun dari tempatmu sekarang. Apa kau mengerti?"

Meski cahaya terlalu minim, tetapi dari gerakan kepala Yono, Santosa tahu jika pemuda kurus itu terkejut setengah mati mendengar penjelasannya. Yono barangkali tak mengantisipasi itu.

Santosa memang tak menjelaskan sedari awal mengenai gambaran bagaimana pertemuan mereka dengan sang iblis. Bagi Santosa, jika Yono telah menyanggupi segalanya, maka Yono pun tak bisa mengelak dari konsekuensi pertemuan dengan iblis. Pertemuan inilah yang merupakan puncak ritual perjanjian mereka. Akan tetapi, tidak semua iblis menampakkan diri melalui cara-cara konvensional. Terkadang, ada di antara mereka yang ingin menguji manusia rekan kontraknya.

"Bagaimana?" Santosa bertanya lagi. Kali ini dengan intonasi sedikit membentak. Santosa tahu persis jika yang dilakukannya barangkali akan menambah kadar ketakutan Yono. Namun, begitulah caranya menguji kesungguhan dan kekuatan mental pemuda itu.

"Ba-baik, Mbah. Saya mengerti," sahut Yono gelagapan.

Dalam kegelapan, Santosa menyunggingkan seulas senyum yang langsung redup sedetik kemudian. Malam sepi semakin larut. Bunyi gerimis yang jatuh menerpa atap rumahnya menjadi musik pengiring yang pas untuk ritual pemanggilan makhluk tak kasat mata. Santosa kembali mengangkat kedua lengannya mengitari asap menyan yang membubung pada langit-langit kamar, setelah meraih buhul dari salah satu piring putih di atas meja ritual. Nyala lilin bergerak-gerak liar saat terkena kibasan lengannya yang melemparkan buhul tersebut ke dalam bokor perak. Mantra kembali mengalun, semula lirih dan samar-samar hingga akhirnya semakin lama semakin cepat. Saat mantra mencapai puncaknya, kedua telapak tangan Santosa kemudian menyatu di depan dada. Kelopak mata sang dukun menutup.

Dari celah-celah jendela dan ventilasi, angin mendadak berembus, membawa serta dingin yang menyapu tengkuk serta meremangkan bulu roma. Aroma hujam bercampur wangi kenanga yang tumbuh di halaman belakang rumah Santosa menyeruak masuk, mengalahkan bau menyan. Namun, tanpa disadari ada aroma lain yang berpendar halus, samar-samar menyelinap di antara wangi kenanga dan kesegaran hujan. Santosa sangat mengenali aroma itu. Aroma yang menandakan kedatangannya.

Angin yang semula berembus semilir, semakin lama semakin kencang, membuat kepulan asap kemenyan menyebar ke sembarang arah. Sementara nyala lilin kecil yang bertengger di atas meja kayu bergerak liar seolah akan segera padam. Namun, sekencang apa pun angin, anehnya nyala lilin itu tak juga padam.

Santosa yang telah membuka kelopak mata, meski masih terus melantunkan mantra, mengamati tingkah Yono. Pemuda kurus kerempeng itu bergerak gusar di posisinya, sementara titik-titik keringan membasahi pelipis sawo matangnya. Matanya mengedar liar ke seluruh penjuru ruangan yang temaram barangkali sedang mencari sumber rasa takutnya sendiri. 

"Mbah, kenapa ini, Mbah?" Yono bergumam lirih. 

Namun, Santosa tak menjawab. Sama seperti Yono, sejujurnya ia tak mengetahui apa yang akan terjadi, meski sebenarnya ia telah merasakan tanda-tanda kedatangan makhluk itu. Santoso bungkam, membiarkan Yono memahami sendiri tanda-tanda yang dibawa alam melalui bingkai jendela yang terbuka. Toh, ia telah memperingatkan Yono sebelumnya dan jika pemuda itu bijak, ia seharusnya menanti dalam diam.

Tiba-tiba, suara dentuman terdengar menghantam jendela kayu bilik ritual Santosa dengan keras. Daun jendela terbuka bersamaan dengan deru angin kencang yang menyeruak masuk membawa serta dedaunan dan ranting kering dari luar.nBau khas itu terhidu penciuman Santosa semakin kentara. Nyala lilin yang semula hanya menari-nari liar, mendadak padam membuat bilik sepenuhnya pekat. Santosa terkejut bukan kepalang, tetapi sekuat tenaga mengendalikan ekspresi ketakutan yang mungkin saja akan tertangkap Yono. Ia menoleh sekilas ke arah jendela yang terbuka. Tak ada apa pun di sana selain pergerakan dedaunan pohon nangka yang diembus angin.

"Mbah ... Itu apa, Mbah?" Suara tangisan lirih Yono terdengar, membuat atensi Santosa dari pohon nangka teralih ke arah lelaki kurus itu.

Di hadapannya, Yono menggigil ketakutan sembari memeluk tubuhnya hingga tubuh kurus itu semakin menciut. Namun, sepasang mata sipit Yono membelalak dan terpaku ke arah jendela yang terbuka. 

"Mbah, itu apa, Mbah? Tolong, saya!" Sekali lagi Yono merengek ketakutan.

Santosa menarik napas panjang. Barangkali ujian Yono telah dimulai. Dengan tenang dan dalam suara rendah, lelaki paruh baya itu berbisik. "Ingat pesanku, Yono. Jangan bergerak dari posisimu apa pun yang terjadi!"



After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang