12. Melanjutkan Perjalanan

29 9 3
                                    

Santosa menjadi saksi saat sebuah bayangan hitam serupa kepulan asap menyeruak masuk melewati ambang jendela yang terbuka. Angin kencang serta-merta berembus menggerakkan daun jendela dengan liar. Bunyi engsel berderit memecah hening malam yang dilatari suara gerimis. Santosa bahkan dapat merasakan percikan air membasahi wajahnya bersama tempias yang masuk kala itu. Akan tetapi, tempias yang membasahi wajahnya bukan apa-apa dibandingkan dengan pemandangan yang terpampang di hadapannya.

Bayangan dari kepulan asap hitam itu menyelimuti tubuh Yono untuk sesaat. Wajah gusar dan tatapan gamang Yono mendadak hilang begitu seluruh kepulan asam memasuki setiap rongga dan celah di tubuhnya. Sepasang mata Yono mendadak mendelik, nyaris putih keseluruhannya. Pun tubuh kurus pemuda itu menegak di tempat dengan gestur yang ganjil seolah Yono bukanlah manusia seutuhnya. Sementara, dari mulutnya yang sedikit terbuka, geraman halus terdengar.

Santosa sudah dapat menduga apa yang terjadi pada pemuda itu. Iblis yang mereka panggil sedang mengujinya, mengambil tempat pada tubuh Yono yang lemah iman dan menguasainya sesaat. Santosa sudah pernah melihat kejadian serupa sebelumnya bertahun-tahun yang lalu, tetapi hal yang berhubungan dengan iblis ini tentu saja bukanlah perkara yang dapat diprediksi. Segala sesuatunya kembali lagi pada kekuatan Yono, jika secara mental dia bisa bertahan, maka ritual malam ini bisa dinyatakan sukses.

Setelah beberapa menit bertingkah aneh, tubuh Santosa lantas kembali normal. Matanya yang mendelik kembali seperti semula, menyorot bingung ke arah Santosa. "Saya kenapa, Mbah?"

Namun, belum sempat Santosa membuka mulut untuk menjelaskan situasinya, Yono kembali bertingkah aneh. Manik matanya kembali mendelik, sementara tubuh kurusnya bergetar seumpama tersengat listrik. Dari mulutnya yang menjulurkan lidah, Yono meracau dalam suara-suara aneh dan ucapan yang tak sepenuhnya dapat ditangkap pendengaran Santosa.

Mulanya tubuh kurus itu hanya gemetaran di tempat, tetapi beberapa saat kemudian Yono akhirnya jatuh menghantam lantai ubin di bawah tempat duduk mereka. Tubuhnya kejur dan kejang-kejang di saat bersamaan.

Santosa yang melihatnya mulai merasa bimbang. Bagaimana jika Yono tidak mampu melewati ujian ini? Konsekuensi paling buruk yang harus diterima pemuda malang itu adalah kematiannya sendiri. Nyawanya akan melayang bahkan sebelum sempat menunaikan niat buruknya.

Kebimbangan-kebimbangan yang terus merorongnya membuat Santosa akhirnya berdiri dari posisinya di balik meja ritual yang masih mengepulkan asap kenyang dari bokor perak. Ia bergerak ke arah jendela terlebih dahulu, menutupnya sebagai antisipasi suara yang bakal lolos dari bilik ritual. Meski gelap, Santosa tetap tak menyalakan lilin kembali. Setelahnya, ia mendekati Yono yang masih terlihat bagai penderita ayan yang sedang kumat.

Sebelah tangannya terulur, mengukur suhu Yono dengan punggung tangan. Suhu kepala pemuda malang itu terasa sedikit panas seperti orang yang sedang terserang demam. Namun, perlahan-lahan kejang yang diderita tubuh Yono perlahan mereda. Bersamaan dengan itu, kesadaran Yono pun berangsur-angsur terkumpul.

"Saya kenapa, Mbah?" tanya Yono lirih. Suaranya terdengar lemah, bahkan pemuda itu tak kunjung bangkit dari posisinya. "Tubuh saya sakit semua, Mbah."

Sedikit rasa khawatir terselip di benak Santosa sehingga ia memutuskan untuk menelan sakelar di dekat ambang pintu bilik yang tertutup. Lampu 5 Watt yang kekuningan akhirnya menyala menerangi ruangan. Di atas lantai, Yono terbaring lemas, kepalanya terlihat bergerak-gerak gelisah. Matanya tertutup, sementara pelipisnya dibanjiri keringat dingin sebesar biji jagung.

"Kau baik-baik saja, Yono?" tanya Santosa dengan suara parau.

Akan tetapi, alih-alih menjawab, Yono malah kembali mengerang parau. Suaranya berubah. Makhluk itu kembali merasukinya.

***

Setelah rumah kosong itu terang-benderang sepenuhnya, barulah Santosa dapat menangkap kekacauan dan kengerian yang berada di sekitarnya. Bahkan kengerian yang ada pada dirinya sendiri.

Beberapa langkah dari tempatnya duduk bersandar, dua sosok mayat hidup yang dini hari tadi menyerangnya dengan brutal tergeletak tak bergerak. Santosa barulah melihat rupa mengerikan makhluk-makhluk itu. Secara fisik makhluk itu memang terlihat seperti manusia. Namun, sejatinya mereka sudah tak bernyawa lagi. Luka-luka robek menganga di sekujur tubuh mereka. Bahkan, terdapat beberapa organ dalam tubuh yang berada tidak pada tempatnya, menjuntai dan terlihat telah membusuk. Beruntung, warna yang ada pada mereka hanyalah nuansa monokrom sehingga Santosa masih bisa menahan mula dan rasa geli yang menyergapnya saat pertama kali melihat mereka.

Santosa lantas menilik penampilannya sendiri. Pakaian yang dikenakannya telah koyak di beberapa bagian. Namun, yang lebih mengerikan adalah luka menganga yang tertoreh di beberapa bagian tubuhnya masih dialiri darah segar. Meski berdenyut pedih, tetapi sesungguhnya luka-luka itu masih bisa ia tahan.

Dengan susah payah, sembari menahan tubuhnya pada satu lengan yang bertumpu di dinding, Santosa berdiri. Tidak hanya luka yang berkedut nyeri, tetapi juga ngilu yang rasanya menusuk sampai ke tulang. Setelah berhasil berdiri, diajaknya si Belang ikut serta keluar dari bilik.

Di luar bilik, pemandangan yang menyambut Santosa ternyata jauh lebih mengerikan. Makhluk-makhluk mayat hidup itu berserak bak sampah daging busuk yang menggunung di beberapa sudut ruangan. Santosa segera saja memalingkan wajah sembari berusaha mempercepat langkahnya yang terpincang-pincang. Beruntung jarak antara bilik dan pintu keluar yang terbuka hanya beberapa meter saja.

Setelah melewati ambang pintu yang terbuka lebar, Santosa akhirnya dapat mengembuskan napas panjang penuh kelegaan. Salah satu sudut bibirnya terangkat merasakan optimisme yang menyelusup di dadanya bersamaan dengan sinar matahari pagi yang menyentuh kulitnya. Meski, matahari yang bersinar bukanlah kekuningan yang memancarkan terang, tetapi Santosa bersyukur karena cahaya itulah yang telah menyelamatkannya dari serangan para makhluk bengis.

Santosa mengedarkan pandangan ke sekitar dan menyadari jika yang dihadapinya kini adalah sebuah Padang rumput tinggi dengan hutan gelap nan lebat terhampar dalam jarak beberapa meter di hadapannya. Sekilas bulu kuduk Santosa meremang menatap hutan belantara itu dari kejauhan.

Si Belang seolah dapat merasakan firasat kengerian yang sama dengannya hingga makhluk itu mengeong gusar sembari mengitarinya. Santosa serta merta meraih makhluk itu dan mendekapnya dalam gendongan. Dalam hati, berulangkali ia menguatkan diri sendiri, berusaha mengenyahkan rasa takut yang merambatinya perlahan. Apa pun yang terjadi, ia harus tetap berjalan, karena hanya dengan melanjutkan perjalanan, kemungkinan besar ia akan menemukan jalan keluar.

After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang