4. Pembalasan Pertama

52 9 3
                                    

Begitu bayangan masa lalu redup dalam ingatan Santosa, boneka jerami di hadapannya mendadak bergerak, mengayunkan sebelah tangan beratnya ke arah Santosa. Lelaki paruh baya itu terperanjat, kemudian refleks mundur tepat saat ujung-ujung tangan boneka jerami yang mencuat tajam nyaris menggores kulitnya. Dalam sepersekian detik, Santosa berlari tunggang-langgang, menyeret paksa tungkai rentanya menjauhi marabahaya.

Namun, boneka jerami raksasa itu agaknya tak ingin melepaskan Santosa begitu saja. Bunyi berdebum yang bertalu-talu menyusul di belakang Santosa saat langkah-langah besar makhluk itu menghantam tanah dan mulai mengejarnya. Tangan berpangkal ikatan jerami yang mencuat tajam seumpama cakar itu terhunus siap menusuk Santosa jikalau ia berhasil tertangkap.

Santosa berlari menerobos semakin dalam di antara deretan pepohonan hitam yang kian rimbun. Dominasi warna abu-abu di sekitarnya lambat laun semakin pekat, bahkan cenderung gelap. Saat lelaki paruh baya itu tengadah sekilas, ia bahkan tak dapat lagi melihat warna langit yang semula abu-abu terang.

Tanpa menolah, Santosa tahu jika ia masih diikuti si monster jerami. Suara debum konstan yang terdengar cukup nyaring memberitahu perkiraan jarak antara dirinya dan makhluk mengerikan itu. Dalam hati, Santosa terus-menerus mengumpat sekaligus menyesali diri karena pernah menggunakan boneka itu dalam ritualnya dulu. Ia tidak pernah menyangka jika hal seperti ini yang harus dihadapinya. Namun, bukankah hal itu merupakan sesuatu yang lumrah bagi seorang dukun santet seperti dirinya? Bukankah dia juga membantu sesama yang ingin menunaikan dendam?

Semua ini gara-gara Yono. Andai saja pemuda itu tidak datang merengek padanya dengan menawarkan bayaran yang mahal, maka belum tentu ia akan bersedia melakukan santet. Terlebih lagi, Yono masih masuk dalam hitungan kerabat jauh dengannya. Pantang bagi Santosa untuk menolak permintaan kaum kerabat. Namun, nasi telah menjadi bubur. Mantra telah kadung dirapal. Tak guna baginya menyesali apa yang telah terjadi.

Pikiran Santosa terasa sesak dengan berbagai asumsi yang berkejaran di dalam kepala. Begitu pun sepasang tungkainya yang tak pernah bekerja keras, terasa amat tersiksa karena pelarian tersebut. Rasanya baru beberapa menit saja berlari, Santosa telah sangat kelelahan. Napasnya memburu. Ia telah sampai pada titik hampir kehabisan tenaga.

Dalam sepersekian detik berselang, tubuh Santosa yang limbung mendadak jatuh ke tanah. Tubuhnya berguling menuruni permukaan tanah yang lebih rendah. Sekujur tubuhnya nyeri tertusuk-tusuk patahan ranting dan gundukan akar, hingga akhirnya ia menghantam tanah berbatu yang ditumbuhi semak ilalang tinggi. Santosa merasakan salah satu pelipisnya bocor dan berdarah. Namun, belum sempat tangannya memeriksa luka itu, dua kali hantaman menghampiri perutnya dengan sangat keras.

Santosa menjerit, kemudian sontak menyilangkan kedua lengan di depan dada. Sementara, tubuhnya berusaha berguling menjauh. Akan tetapi, lagi-lagi si boneka jerami menyerangnya lebih dulu. Kali ini sepasang tungkainya dicengkeram dengan kasar kemudian diseret ke arah semak belukar.

Tak ada yang dapat dilakukan Santosa selain menjerit-jerit laiknya pecundang. Seketika ia membayangkan bagaimana sakitnya si 'dia' yang fotonya tertempel pada boneka jerami. Begitulah rasanya kaki yang ia tusuk menggunakan paku berkarat hingga lumpuh. Padahal seumur hidupnya, Santosa sama sekali tidak pernah peduli mengenai apa yang dirasakan korbannya. Akan tetapi, setelah menerima ganjaran seperti ini, dia menjadi peduli.

***

Tiga hari berselang setelah santet dilakukan, Yono datang kembali menghampiri kediaman Santosa dengan wajah semringah. Sepasang matanya terlihat berbinar dan wajahnya jauh lebih ceria dibandingkan sebelumnya. Tanpa bertanya, Santosa pun telah paham apa yang terjadi.

"Jadi, bagaimana kabar W---"

"Dia lumpuh, Mbah. Dia juga sudah diberhentikan dari kantor kami," potong Yono seolah dapat membaca pikiran sang dukung.

Santosa manggut-manggut. Lalu menyeruput sedikit kopi hitamnya yang masih mengepul. Saat itu mereka sedang berada di ruang tamu kediaman Santosa yang terang-benderang. Sebenarnya, Santosa lebih dikenal sebagai dukun yang menyembuhkan berbagai penyakit oleh warga di sekitar tempat tinggalnya. Akan tetapi, sekali dua kali berdasarkan permintaan orang-orang terdekat, Santosa bersedia melakukan santet. Bukan tanpa alasa Santosa menyembunyikan identitasnya, santet itu berisiko dan salah-salah ia bisa mati dikeroyok warga jika kedoknya terbongkar.

"Ini, Mbah, saya bawakan sedikit oleh-oleh kesukaan Mbah." Yono mengangsurkan sebuah buntalan hitam ke hadapan Santosa sembari tersenyum malu-malu.

Santosa mengerling sekilas, berpura-pura jual mahal. Kemudian, mengangguk sembari meraih buntalan hitam itu ke pangkuannya. "Kau masih ada hajat lagi toh?" tanyanya lugas. Baginya gelagat Yono sangat mudah ditebak.

Yono membelalak, tetapi sedetik kemudian ekspresinya kembali seperti semula. "Betul, Mbah," sahutnya malu-malu.

"Katakan cepat! Sebentar lagi adalah waktu istirahat siangku."

Yono menarik napas dalam-dalam terlihat berusaha menepis kegugupannya. "Jadi, begini, Mbah. Saya ingin melanjutkan yang tempo hari ..."

Santosa refleks menggebrak meja. "Jadi, kau belum puas, Yono?" Tanpa sadar suara paraunya meninggi. Santet adalah perkara mudah bagi seorang Santosa, tetapi santet juga menuntut konsekuensi yang bahkan lebih mengerikan dari sekadar menggadaikan nyawa.

"Belum, Mbah. Hati saya masih sakit atas penolakan dan perlakuan kasarnya. Saya ingin dia sakit dan menderita dalam keadaan sendirian," sahut Yono mantap. Nyala dendam yang Santosa lihat tempo hari kembali tersulut pada sepasang bola mata pemuda itu.

Santosa mendengkus keras. "Kau sudah tahu 'kan konsekuensinya? Kau sudah siap?"

Yono mengangguk gelagapan. "Iya, Mbah ..."

"Tidak hanya kau yang akan menanggung perbuatanmu hari ini, Yono. Akan tetapi, anak serta keturunanmu di masa depan. Lagipula, sekali kau memulai, tidak akan pernah ada jalan kembali. Bisa jadi nyawamu, bahkan bukan milikmu lagi setelah ini."

"Iya, Mbah. Saya siap." Bagi Yono yang terbakar dendam, tentu saja tak ada yang lebih penting daripada membalas sakit hatinya. Persetan dengan anak serta keturunannya. Toh, mereka semua masih berada di awang-awang.

Santosa terkekeh. "Bagus. Jadi, santet jenis apa yang kau inginkan kali ini?" tanyanya seraya mendekatkan wajahnya pada Yono yang berangsur-angsur terlihat gamang. Ditatapnya netra pemuda itu lekat-lekat seolah sedang mencari keyakinan di dalamnya.

Yono menyeka keringan yang mengenbun di pelipisnya, sebelum membuka mulut dengan antusias. "Kirimi dia jin, Mbah."

Santosa membelalak demi mendengar permintaan Yono yang benar-benar di luar dugaan. "Jin? Kau yakin, Yono?" tanyanya skeptis.

"Yakin, Mbah. Aku ingin dia ditempeli hingga sakit-sakitan dan akhirnya mati atau bunuh diri."

Santosa mengembuskan napas panjang, kemudian menyandarkan punggung pada sandaran kursi jatinya yang telah dimakan usia. Pandangannya menerawang pada langit-langit rumah yang dipenuhi jamur dan bercak kekuningan akibat sering terkena air hujan. "Kau tahu 'kan? Persyaratan akan jauh lebih sulit kalau bersangkut-paut dengan makhluk halus. Lagipula, tarifnya akan sangat mahal."

Sedetik hening merayapi ruangan sempit dengan perabot seadanya itu. Semilir angin masuk melalui pintu yang terbuka lebar entah mengapa membuat bulu kuduk Santosa meremang. Sekadar membayangkan santet dengan menggunakan makhluk halus saja dapat membuat Santosa ngeri sendiri.

"Saya tahu, Mbah. Saya bersedia menerima konsekuensinya. Berapa pun maharnya akan saya usahakan," sahut Yono pada akhirnya. Kegusaran yang semula terlihat, berangsur menghilang berganti kemantapan tekad.

"Baiklah, jika itu maumu." Santosa lantas merogoh saku luriknya yang Kumal, kemudian mengeluarkan secarik kertas usang berwarna kuning kecokelatan. Setelah membuka lipatannya penuh perasaan, Santosa lantas mengangsurkannya pada Yono.

"Cari semua barang yang tertera di situ dan kembalilah pada malam Jum'at kliwon. Kau mengerti?"

Yono yang menerima kertas tersebut dengan tangan gemetaran, lalu mengangguk. Ditatapnya tulisan tangan yang tertulis dalam secarik kertas itu dengan mata melotot tak percaya. "I-ini semua, Mbah?"

"Ya!"

Ketegasan dalam suara Santosa membuat Yono refleks mengangguk. Beberapa saat kemudian, Santosa lantas pamit undur diri. Sementara Santosa menyesap kopi hitamnya yang telah mendingin sembari mengiringi kepergian punggung Yono yang lambat-laun menghilang di balik rerimbunan pohon bambu.




After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang