5. Rumah Kosong

38 10 1
                                    

Santosa menerjang liar, berusaha meloloskan sepasang tungkainya yang dicengkeram boneka jerami. Namun, seberapa keras pun ia berusaha, cengkeraman itu tak kunjung mengendor. Meski demikian, Santosa tak patah semangat, tangannya yang masih bebas menggapai-gapai ke sembarang arah mencari apa pun yang dapat dijadikan senjata. Perih di punggunnya yang tergerus permukaan bebatuan saat diseret dan pergelangan kakinya yang lecet, tak ia hiraukan. 

Ketabahan akhirnya membuahkan hasil, permukaan telapak tangan Santosa lantas mengenai sesuatu yang keras, beberapa langkah saja di atas kepalanya. Sesuatu yang panjang dan kasar seperti patahan dahan pohon. Segera Santosa meraihnya dan  menggenggam benda itu erat-erat. Itu adalah kesempatan terakhirnya untuk menyelamatkan diri sebelum binasa di tangan si boneka jerami.

Beberapa detik penuh ketenangan akhirnya terlewati saat Santosa menemukan momentum yang tepat untuk mengayunkan patahan dahan pohon di genggamannya sekeras mungkin. Suara raungan parau terdengar mengoyak keheningan hutan. Pukulan Santosa mengenai makhluk itu tepat pada bagian perut hingga menyebabkan cengkeraman di pergelangan kakinya melemah.

Hal itu tak disia-siakan oleh Santosa. Lelaki paruh baya tersebut segera menendang-nendang kakinya liar hingga sepenuhnya lolos dari jerat yang melingkar di pergelangan kaki. Secepatnya, Santosa bergulir ke samping, bertopang dengan siku sebelum berhasil bangkit.

Patahan dahan yang barusan ia gunakan untuk memukul sang monster terbuang begitu saja. Santosa tak peduli. Setelah berdiri, ia lantas berlari kesetanan menjauhi tempat itu. Ia mengabaikan ujung-ujung ranting tajam yang menggerus permukaan kulit telanjangnya berkali-kali. Pun tak ia acuhkan batu-batu tajam yang menusuk telapak kakinya hingga koyak dan berdarah. Dalam pikirannya hanya satu, yaitu berlari sejauh mungkin dari jangkauan boneka jerami.

Setelah beberapa saat lamanya menerobos hutan ranting berduri yang rapat, Santosa mulai melihat satu dua rumah berdiri di kejauhan. Rumah-rumah tua yang terlihat tak terawat dan tak berpenghuni. Di belakangnya, dalam jarak yang cukup tak terjangkau, si boneka jerami masih mengejarnya. Namun, kali ini, Santosa tak begitu khawatir akan tertangkap.

Hutan-hutan ranting hitam kini berganti sepenuhnya dengan Padang ilalang setinggi pinggang berwarna abu-abu terang. Sejauh mata memandang hanya ada satu atau dua pohon tak berdaun dalam jarak yang cukup jauh. Santosa yang mulanya nyaris kehabisan tenaga, mendadak mendapatkan tambahan energi kala netranya menangkap sebuah rumah besar dua lantai yang berjarak tak jauh lagi dari posisinya. Rumah itu terlihat tua meski hanya berwarna abu-abu dengan beberapa gradasi warna yang membedakan. Keseluruhannya terbuat dari susunan papan yang berlubang di beberapa bagian. Itulah satu-satunya tempat berlindung bagi Santosa.

Langit yang menaungi pelarian laki-laki paruh baya itu telah menggelap. Awan-awan tipis berwarna putih telah menghilang sepenuhnya dari petala langit. Menyadari tanda-tanda malam yang akan segera hadir, Santosa lantas memacu tungkainya lebih cepat.

Santosa memasuki wilayah semak ilalang yang tumbuh jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Keadaan itu cukup membantu menyamarkan pergerakannya. Untuk memastikan asumsinya, laki-laki kurus itu lantas menoleh sekilas ke belakang. Benar saja, ia sama sekali tak mendapati sosok si boneka jerami raksasa. Jarak yang memisahkan mereka sepertinya telah sangat jauh sekarang.

Santosa akhirnya berhenti tepat di depan sebuah pintu yang tertutup dengan napas memburu. Ia mendongak sekilas untuk mengamati rumah besar yang berdiri kokoh di hadapannya. Dari letak pintu dan jendela, Santosa menduga dirinya berada di bagian belakang rumah. Setelah mengatur napas dan menyeka butir keringat yang membanjiri pelipisnya, Santosa lantas mendorong pintu itu pelan untuk menguji kemungkinan jika pintu itu tak terkunci. Dugaannya benar. Suara derit engsel yang tak pernah diminyaki terdengar bersamaan dengan daun pintu yang mengayun terbuka.

Gelap menyambut pandangan Santosa dari celah kecil di antara daun pintu. Santosa sempat sedikit gamang untuk melangkahkan kaki ke dalam. Namun, tentu saja ia lebih takut akan kegelapan yang sebentar lagi hadir di luar sana. Kegelapan yang tak bisa ia perkirakan, terlebih dengan boneka jerami raksasa yang mungkin masih memburunya. Maka, tanpa berpikir panjang, Santosa menyelinap masuk melalui sedikit celah pintu yang terbuka, kemudian menutup pintu rumah itu dari dalam.

***

Seperti yang dijanjikan, Yono datang ke kediaman Santosa pada malam Jum'at Kliwon. Rinai gerimis rupanya tak menyurutkan niat pemuda itu untuk menunaikan hajatnya. Yono datang tidak dengan tangan hampa. Bersamanya, keseluruhan persyaratan yang diajukan Santosa pastilah telah digenapi oleh pemuda itu, jika menilik dari bungkusan hitam yang dibawanya.

"Kupikir kau tidak akan datang." Santosa menyambutnya di depan pintu sambil terkekeh. Lampu teras kekuningan yang hanya 5 Watt menjadi satu-satunya penerangan. Santosa sengaja menggelapkan rumahnya malam itu agar tetangga yang berjarak beberapa meter dari rumahnya tak mencurigai ritual yang akan mereka lakukan.

"Saya pasti datang, Mbah," sahut Yono setengah berbisik.

Setelah mengeringkan sedikit rambut dan bajunya dari jejak gerimis, Yono lantas dipersilakan masuk. Sebelum menutup pintu, Santosa sempat melirik ke kiri dan ke kanan memastikan jika tak seorang pun yang mengawasi mereka.

Namun, Santosa tak begitu saja mengajak Yono masuk ke bilik praktiknya. Ia ingin mengecek kelengkapan persyaratan yang diajukannya tempo hari. Malam pun masih terlalu muda untuk memulai sebuah ritual perjanjian wingit. Mereka masih punya cukup waktu untuk memastikan seluruh persyaratan terpenuhi.

"Kau sudah membawa semua syaratnya tanpa terkecuali?" tanya Santosa dengan suara menggelegar. Sengaja ia mempermainkan mental Yono terlebih dahulu. Kebiasaan ini mengandung kesenangan tersendiri bagi Santosa.

Pemuda kurus berambut cepak yang telah duduk di salah satu sofa lusuhnya yang bertambal mengangguk mantap. Diangsurkanya bungkusan hitam yang ditentengnya sedari tadi ke hadapan Santosa. "Mbah bisa lihat sendiri," sahutnya.

Akan tetapi, Santosa bergeming. Alih-alih meraih bungkusan hitam itu, Santosa malah menyandarkan punggungnya. Ia tak ingin melihat, tetapi mendengar langsung dari Yono agar dapat menilai kesungguhan dan usaha pemuda itu.

"Tanah kuburan sudah ada?"

Yono mengernyit sekilas, kemudian mengangguk pelan. "Sudah, Mbah."

"Buhulnya?" Santosa bertanya lagi sembari menyalakan rokok kreteknya kemudian menyesapnya cukup lama.

Kernyitan di kening Yono muncul lagi. "Bu-buhul ...?"

"Jalinan temali dari rambut, benang dan ijuk yang kuminta."

Jawaban Santosa serta-merta membebaskan Yono dari jerat kebingungan. Pemuda tersebut mengangguk cepat seraya menyunggingkan cengiran bodohnya. "Oh... Itu. Ada, Mbah," sahutnya cepat.

Santosa mengangguk sebagai tanggapan. Ia mengembuskan asap rokok kreteknya ke langit-langit rumah, sebelum kembali bertanya. "Darah ayam cemani? Botol? Rambut dan kuku si gadis sudah kau bawa?"

Yono berpikir selama sedetik, sebelum mengangguk mantap. "Sudah, Mbah," sahutnya.

Santosa mengangkat punggungnya dari sandaran kursi, lalu mengembuskan asap rokok kreteknya sekali lagi. "Bagus. Kau sudah siap melakukan ritual ini Yono? Kau tidak akan menyesal, bukan?"

Dalam keremangan cahaya yang membias dari celah jendela yang tak tertutup tirai, Santosa mengangguk. Sementara, sepasang netranya menyorotkan keteguhan hati. "Saya, siap, Mbah. Apa pun konsekuensinya."

After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang