20. Tabir yang Tersingkap

25 7 0
                                    


Pada malam hari selang seminggu setelah peristiwa Wening Ayu gantung diri di pohon asam gelugur, Yono datang berkunjung. Kali ini, ia tak membawa apa pun selain kegusaran pada wajahnya yang semakin tirus.

Santosa sebenarnya telah menduga, terlebih saat menilik mayat Wening Ayu dan kematiannya yang tidak wajar. Yono pasti akan menemuinya cepat atau lambat. Sebagaimana dugaannya lelaki kurus berkulit sawo matang itu datang menerjang gerimis ke salah satu pelosok Banyuwangi.

"Bagaimana kabarmu Yono? Aku lihat tujuanmu telah tercapai. Bukankah itu yang kau inginkan?" Santosa menarik salah satu alisnya ke atas, sementara satu tangannya baru saja meletakkan mug batik yang masih mengepulkan aroma kopi. Sungguh ia tak bermaksud sarkas, tetapi menghilangnya Yono setelah ritual yang mereka lakukan membuatnya sedikit tidak terima.

Alih-alih mendapat tanggapan terhadap pertanyaannya, Santosa justru dihadiahi wajah Yono yang semakin kusut. Setelah diperhatikan baik-baik, wajah kurus Yono juga terlihat kelelahan. Kantung matanya menghitam dengan beberapa lipatan tambahan, sementara matanya memerah. Yono terlihat seperti orang yang tidak tidur selama bermalam-malam. Rambut cepak yang biasanya klimis itu pun terlihat kering dan tak terurus.

"Kau kenapa, Yono?" Santosa tak tahan untuk tak bertanya saat melihat wajah Yono yang seumpama menahan tangis.

Begitu mendengar pertanyaan itu, tangis Yono lantas meledak. Sebuah tangis ketakutan dan kegentaran. Bersamaan dengan itu, Yono lantas jatuh berlutut di hadapan Santosa seolah meminta pertolongan. "Aku dihantui Wening, Mbah!"

Santosa mengernyit bingung. "Maksudmu apa, Yono?"

"Wening, Mbah ... Dia jadi hantu." Yono berucap di sela-sela tangis frustrasinya. Satu tangannya bahkan menarik-narik rambut seperti orang yang nyaris kehilangan kewarasan.

Perlahan-lahan ingatan akan paras Wening Ayu yang pucat dan tersembunyi di balik tirai rambut mendadak muncul kembali dalam ingatan Santosa. Tubuh kurus bergaun selutut dengan leher tergantung di dahan pohon asam gelugur itu telah berhasil membuatnya tak berselera makan selama tiga hari tiga malam. Setelah selera makannya perlahan-lahan kembali, sialnya Yono membuatnya teringat kembali akan peristiwa itu. Perlahan-lahan, Santosa mulai memahami situasi yang mungkin dihadapi Yono, yaitu dihantui seseorang yang dibunuhnya secara tidak langsung.

"Sudah. Berhentilah menangis seperti anak kecil Yono. Nanti tetanggaku berdatangan mendengar tangismu." Santosa berdecak sedikit kesal dengan tingkah Yono.

Setelah beberapa saat menenangkan diri sendiri, akhirnya Yono berhasil meredakan tangisnya. Ia kembali duduk pada sofa ringsek di ruang tamu Santosa. Namun, kedua tangan pemuda itu masih gemetar ketakutan.

"Wening jelas mati penasaran terlebih karena gantung diri begitu. Kau harusnya sudah mempertimbangkan ini sebelum datang padaku untuk menyantetnya," lanjut Santosa dengan suara berbisik tanpa beban.

Yono tertunduk, barangkali menyadari kesalahannya, atau menyadari keengganan Santosa menanggapi rengekannya.

Santosa mendengkus. Sebenarnya, ia sangat ingin mengabaikan pemuda di hadapannya itu. Akan tetapi, sedikit rasa iba yang terselip di hati membuatnya ingin membantu Yono. Lagi pula, wajah memelas Yono kala itu, mengingatkannya pada si Belang. "Jadi, apa yang kau inginkan?"

Serta merta Yono mengangkat wajahnya. Awan hitam yang menyelimuti wajahnya seolah menghilang begitu saja. "Tolong saya, Mbah. Usir hantu Wening."

Santosa lagi-lagi mendengkus mendengar permintaan itu. Ia sudah menduganya. Yono telah terjerat dalam lingkaran setan dan pemuda itu bahkan menyeretnya untuk terlibat. Santosa mulai menyesali kesediaannya membantu Yono tempo hari. Namun, belum sempat Santosa membuka mulut, tiga sosok menghampiri pintu depan rumahnya yang sedikit terbuka, menjeda percakapannya dengan Yono.

After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang