19. Kemunculan Wening Ayu

23 7 0
                                    

Santosa menerobos salah satu sisi pagar rusak yang mengelilingi rumah besar di dekat pusara si Belang dengan tergesa. Malam nyaris benar-benar tiba saat ia akhirnya menemukan pintu masuk di bagian belakang rumah yang tak terkunci.

Bau apak dan aroma serupa bahan bakar yang tajam seketika menyengat penghidunya begitu membuka pintu itu. Tak lupa ia mengunci pintu yang baru saja di lewatinya dari dalam, takut jika makhkuk-makhkuk yang tak diinginkan menyergapnya kembali di malam hari. Dengan langkah gegas, ia mengitari lantai bawah rumah itu selagi cahaya matahari masih meninggalkan sedikit jejak.

Sekenanya Santosa memeriksa setiap ruangan yang ada, guna memastikan tak ada mayat hidup yang bersarang di sana. Santosa membuka pintu setiap ruangannya dengan tergesa, kemudian sebagai langkah terakhir diperiksanya pintu masuk utama rumah itu. Setelah yakin jika tak ada jalan masuk yang memungkinkan para monster brutal itu merangsek ke dalam, Santosa lantas berniat menjelajahi rumah itu untuk menemukan barang-barang yang dapat dijadikan bekal perjalanan.

Malam telah tiba saat Santosa tiba kembali di dapur. Aroma bahan bakar yang kental menuntunnya ke tempat itu. Seperti pada rumah besar sebelumnya, Santosa menggeledah setiap laci, lemari dan celah yang memungkinkan untuk mencari pemantik api. Sebagaimana pengalaman buruknya di rumah kosong sebelum ini, ia belajar sesuatu jika para mayat hidup takut kepada cahaya.

Namun, setelah beberapa lama mencari, Santosa tak kunjung menemukan yang ia cari. Laci-laci dan kemari di rumah itu agaknya telah disatroni seseorang seperti dirinya sebelum ini, sehingga menyisakan kekosongan yang dipenuhi kotoran serangga dan tikus.

Santosa mengembuskan napas gusar, terlebih samar-samar ia dapat mendengar suara raungan mayat hidup di kejauhan. Makhluk-makhluk itu pastilah tengah berburu di dalam kegelapan di sekitar rumah. Seketika itu, Santosa merasa berpacu dengan waktu. Para mayat hidup itu bisa menerobos tempat perlindungannya kapan saja, hanya perkara waktu.

"Si al!" Santosa mengumpat saat seekor tikus besar mendadak melintas di atas kakinya. Tubuh rentanya gemetaran karena kaget dan ketakutan yang menyergap bersamaan. Setelah mengatur napasnya yang memburu, Santosa lantas mencoba menenangkan pikiran.

Bau yang sedari tadi mengganggu penghidunya sekarang menjadi pengalih atensi dari rasa takut. Santosa berusaha sekuat tenaga mengabaikan rasa takutnya, tak mengacuhkan suara-suara mayat hidup di balik tembok rumah, ia harus tetap bergerak dan menemukan sesuatu. Setelah sedikit tenang, akhirnya Santosa memutuskan untuk membiarkan bau itu menuntunnya.

Dari dapur, Santosa berjalan ke arah timur beberapa langkah sembari meraba dalam kegelapan. Bau yang melingkupi udara tercium semakin pekat seolah asalnya tak jauh dari tempat itu. Berbekal asumsi di kepalanya, Santosa lantas melanjutkan langkah mengikuti aroma bahan bakar.

Langkah Santosa kemudian berhenti tepat di depan sebuah pintu kayu tertutup. Santosa yakin, jika dari balik pintu itulah, aroma pekat mirip bensin itu menguar. Diraihnya gagang pintu, kemudian diputarnya beberapa kali, tetapi daun pintu tak kunjung terbuka.

Akan tetapi, Santosa tak patah arang. Dalam kegelapan yang nyaris sempurna, disisirnya keadaan sekitar hingga matanya menemukan kilat cahaya linggis yang terpantul oleh cahaya samar dari jendela yang tak tertutup tabir. Dengan gegas, Santosa meraih benda tersebut, mengayunkannya sekuat tenaga pada pegangan pintu hingga terlepas. Suara sebum nyari memecah sunyi tempat itu, menimbulkan reaksi dari makhluk-makhluk di sekitar rumah.

Rasa takut sempat kembali menguasai Santosa saat suara raungan marah bersahut-sahutan di kejauhan. Namun, lelaki paruh baya itu segera tersadar akan tujuannya. Ia mendadak teringat sesuatu yang mungkin dapat membantu penglihatannya saat itu. Segera ia menggeledah tas udangnya, menemukan kotak persegi yang hanya berisi beberapa pemantik api, sebelum mendorong daun pintu hingga dapat terbuka dengan leluasa.

Dinyalakannya pemantik hingga sedikit cahaya membantunya melihat sekitar lebih jelas. Meski Santosa harus mengernyit beberapa kali akibat silau menerpa netranya yang telah terlampau terbiasa akan kegelapan. Di balik kegelapan samar di dalam ruangan itu ternyata tersimpan berderet-deret drum yang Santosa yakini sebagai tempat penampung bensin.

Santosa melangkah mundur, sembari meniup batang pemantik yang semula menyala. Ia takut jika secara tak sengaja menjatuhkan benda itu di dalam ruangan penuh bahan bakar.

Setelah, nyala kecil itu padam, tinggallah aroma bensin menyergap penghidunya dengan ketajaman yang tak ia antisipasi sebelumnya. Santosa refleks bersin dan batuk, sebelum akhirnya dapat terbiasa dengan bau itu. Kegelapan yang lebih pekat pun segera menyambut pandangannya. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Seberkas cahaya dari sepotong langit dari jendela tanpa tirai segera memberi sedikit penerangan samar.

Setelah menyadari jika tak ada apa pun di sana selain bahan bakar, Santosa lantas berbalik, melanjutkan pencariannya. Akan tetapi, tiba-tiba, sebuah suara perempuan yang parau dan dalam menyapa pendengaran Santosa, seolah berada sangat dekat dengannya.

"Santosa ....!"

Buku kuduk Santosa sontak meremang. Dengan gelisah, ia meraba sekitar berusaha mencari seseorang di dalam kegelapan yang memanggil namanya. Namun, permukaan telapak tangannya hanya menjangkau udara kosong yang seketika terasa mendingin.

"Santosa ...."

Panggilan itu berulang. Kali ini terdengar lebih dekat, seolah tepat berada di depan lubang pendengarannya. Santosa bergidik ngeri, membayangkan apa pun yang ada di balik kegelapan itu. Sesuatu yang tak terlihat dan tak terjangkau sangat meresahkan jiwanya.

"Siapa kau? Tunjukkan dirimu?" Dengan sisa-sisa keberanian, Santosa menantang kegelapan yang menyimpang berjuta misteri di sekitarnya. Suaranya bergetar dan terdengar goyah bahkan di dalam pendengarannya sendiri.

Hening. Tak ada jawaban. Tubuh Santosa menegang menanti kejadian selanjutnya.

"Apa kau tak mengingatku?" Suara itu terdengar lagi. Kali ini seolah terdengar sangat jauh pada suatu tempat di luar rumah itu.

Santosa memutar langkah dengan waspada hingga tatapannya menumbuk pada sekelebat bayangan putih yang menggantung di atas pintu dapur. Pria tua itu gemetaran, sepasang tungkainya seolah terpaku pada lantai batu di bawah kaki.

Sesosok wajah pucat di antara tirai rambut kusut itu menyeringai dengan gigi-gigi bertaring. "Tidakkah kau mengingatku Santosa? Aku Wening Ayu."

After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang