14. Membusuk

28 8 2
                                    

Malam itu, Santosa menjadi sakti atas sebuah perjanjian yang harusnya terlarang antara manusia dan iblis. Santosa tahu persis jika yang dilakukan Yono sebetulnya tak hanya berbahaya, tetapi juga terlarang. Tidak akan ada perjanjian antara manusia dan setan yang membawa kebaikan, seindah apa pun terlihat di awal. Santosa tahu jika sejak zaman manusia pertama tercipta, iblis telah bersumpah untuk terus menyesatkan umat manusia. Maka, jika manusia yang terikat kontrak dengan iblis jelas-jelas telah melanggar ketentuan Sang Pencipta.

Namun, malam itu Santosa diam saja. Kesesatan telah mendarah daging dalam dirinya, bahkan jauh sebelum dia lahir ke dunia. Melihat penderitaan yang dialami Yono akibat permulaan perjanjian dengan iblis itu tak sedikit pun membuatnya iba. Lelaki paruh baya itu malah menarik sudut-sudut bibirnya puas atas kesesatan yang diberikannya meski awalnya ia memang sempat merasa sedikit takut.

Nyaris sepanjang malam, Yono terlihat kesurupan dengan perilaku yang berbeda-beda. Kadang pemuda kurus itu terlihat kejang, kadang terlihat menggeram, bahkan tak jarang marah-marah. Tubuh kurus itu dibaluri titik-titik keringat, meski hujan tengah malam menebarkan udara dingin yang menusuk tulang. Namun, Santosa sedikit pun tak merasa iba.

Ritual sesat itu akhirnya rampung tepat saat ayam jantan pertama berkokok di kejauhan. Hujan yang mengguyur sepanjang malam telah berhenti menyisakan gerimis tipis dan embun yang membekukan siapa saja yang nekad keluar rumah.

Yono terlihat kehabisan tenaga. Tergeletak lunglai, meski dadanya masih bergerak turun-naik, satu-satunya penanda jika pemuda itu masih hidup. Santosa tak hendak membangunkannya sesegera mungkin. Oleh karena itu, diselimutinya tubuh kurus yang bermandi keringat itu dengan sehelai kain panjang. Rupanya masih terbit sedikit rasa iba di hati sang dukun.

Setelahnya, Santosa menyiapkan barang-barang yang diperlukan Yono untuk menjadi media santetnya. Iblis yang menyatroni tubuh Yono malam tadi barangkali telah mengambil tempat ke dalam buhul pengikat milik Yono. Sebagai sentuhan terakhir, Santosa hanya perlu merendamnya dengan sedikit darah ayam dan merabunnya di atas kepulan asap kemenyan.

Bagi Santosa hal-hal itu sangat mudah baginya, terlebih karena ia telah terbiasa melakukan ritual tersebut. Namun, ia tak pernah tahu jika perbuatannya tersebut merupakan cikal bakal dari segenap petaka yang akan menimpa orang-orang yang terlibat di dalamnya. Hal itu juga termasuk petaka yang juga akan menimpanya di kemudian hari. Santosa tidak paham dan tidak mau mengetahuinya hingga ia terjebak dalam karma buruk yang pernah ia lakukan di dunia antah berantah.

***

Di antara semua tulisan yang tercetak pada kertas kasar nan keras berwarna abu-abu kusam itu, entah mengapa tulisan 'Padang Penantian' menjadi sesuatu yang seolah berpendar di dalam kegelapan. Kata-kata itu tertangkap lebih dulu oleh penglihatan Santosa hingga serta-merta membuatnya gemetaran.

Ada sesuatu tentang 'Padang Penantian' yang membuat Santosa merasa ditunggu. Mendadak hal-hal buruk yang selama ini dilakukannya membayang di pelupuk mata bagai layar tancap yang tengah diputar di balai desa. Santosa serta merta menjatuhkan peta itu. Andai pucat memiliki arti dalam dunia hitam putih itu, maka wajah Santosa pasti terlihat demikian sekarang.

Si Belang mengeong lirih di pangkuannya, sementara satu kakinya mengais peta yang terserak begitu saja. Namun, kali ini Santosa sama sekali tak menggubrisnya. Bayangan masa lalu lebih jelas terlihat dari pada si kucing kurus di depan mata.

Tiba-tiba saja, kedatangan pertamanya di dunia hitam putih setelah peristiwa penyerangan para ninja kembali terkenang dalam ingatannya. Hal itu membuat Santosa semakin ketakutan. Refleks didorongnya tubuh si Belang, kemudian kedua lengannya memeluk tungkai yang ditekuk erat-erat. Tak hanya lengan, kini seluruh tubuhnya gemetaran. Santosa menangis bak orang hilang akal, tetapi tak setitik pun air mata yang mengalir dari pelupuknya.

Jika asumsi yang berkelebat di kepala Santosa benar dan ucapan makhluk mengerikan yang ditemuinya pertama kali di dunia itu adalah sebuah kenyataan, maka saat itu dirinya adalah seorang pengelana tersesat. Bagaimana jika dalam perjalanan ini, ia tak dapat menemukan jalan keluar atau jalan menuju padang yang tertulis di dalam peta? Maka, sebagaimana ucapan makhluk mengerikan itu, ia akan menjadi salah satu yang tidak akan pernah kembali. Santoso tidak menginginkan hal itu.

Setelah tangis kegilaannya mereda, Santosa lantas meraih kembali petanya. Memilik peta itu dengan pikiran yang terbuka dan ketenangan yang dibuat-buat. Diamatinya garis-garis halus yang nyaris hilang yang sepertinya menunjukkan jalan dan arah. Ia berusaha memahami posisinya sekarang sebelum melanjutkan langkah menuju di kemungkinan yang akan dipilihnya agar tetap hidup.

Santosa mulai mengabaikan serangga kecil yang berdengung seperti lalat yang mulai mengerubungi tubuh rentanya. Sekali, dua kali ditepisnya makhluk-makhluk itu dengan kibasan tangan. Namun, lama-kelamaan, makhluk-makhluk itu terasa mengganggu juga.

Disimpannya kembali peta berharga itu ke dalam ransel lusuhnya. Sekarang atentsinya teralih penuh pada makhluk terbang yang mirip dengan lalat. Berapa kali pun ia menepis makhluk itu, tetapi mereka terus berdatangan seumpama tengah mengerubungi daging busuk.

Santosa berpindah, tetapi lagi-lagi makhluk-makhluk itu mengikutinya. Didorong rasa penasaran yang memuncak, Santosa akhirnya mengamati sekujur tubuhnya guna mencari penyebab kejadian itu. Beberapa luka tampak masih menganga dengan sesuatu yang kental mirip darah berwarna satu tingkat lebih terang daripada hitam. Namun, matanya membelalak begitu mendapati beberapa luka yang terlihat mengering dengan bentuk mengerikan, menganga tanpa darah yang luar dari dalamnya. Disentuhnya luka itu untuk memeriksa. Sepotong kecil daging terlepas dari lukanya, tetapi anehnya ia tak merasakan sakit sedikit pun.

Santosa mengernyit, kemudian mendekatkan potongan itu ke hidung guna menghidunya. Bau busuk yang tajam menyeruak ke dalam lubang hidungnya, hingga membuat Santosa nyaris muntah. Baunya seperti daging busuk. Akan tetapi, kesadaran seketika menamparnya telah bersama dengan hadirnya rasa takut yang jauh lebih besar. Apakah kini ia telah mulai membusuk?

After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang