23. Berubah

20 7 0
                                    

Santosa seolah bermimpi tentang masa kanak-kanak yang dilaluinya di tengah hutan belantara, jauh dari pemukiman warga. Tidak seperti anak-anak lainnya di desa terdekat, Santosa tidak bersekolah. Ibunya dengan  sabar mengajari Santosa kecil hingga mampu membaca dan menghitung dengan lancar, sebelum kematian tiba-tiba merenggut nyawanya.

Santosa kecil mulanya tidak mengetahui penyebab dari kematian sang ibunda. Namun, seiring bertambahnya usia, Santosa kemudian mengetahui jika ibunya menjadi tumbal dari salah satu pesugihan yang dilakukan sang ayah. Beranjak dewasa, Santosa telah berubah. Ia tak begitu peduli lagi bagaimana sang ibu bisa mati. Baginya, hal terpenting yang harus dicapai dalam hidup adalah menguasai ilmu klenik dari ayah dan kakeknya.

Untuk itu, Santosa membiarkan saja sang istri yang pergi meninggalkannya. Bukan, bukan karena ia tak mencintai sang istri. Akan tetapi, ia tak ingin sang istri berakhir tragis seperti ibunya. Sejak saat itu, Santosa selalu sendirian. Satu-satunya makhluk yang ia biarkan masuk ke dalam hidupnya yang sepi hanyalah si Belang.

Akan tetapi, setelah sekian lama berdiam dalam kesepian, Santosa lantas merindukan masa kanak-kanaknya bersama sang ibu malam itu. Ibunya bahkan seolah-olah hadir dan membelai kepalanya, meski ia bukan anak-anak lagi.

Namun, saat kesadaran perlahan-lahan menyusup di kepalanya, Santosa segera memahami jika segala sesuatu yang datang silih berganti dalam kepalanya hanyalah mimpi. Puncak dari kesadarannya yang kembali utuh adalah rasa sakit menusuk-nusuk sekujur tubuhnya, hingga membuatnya mengerang jeri.

Sebagai respon dari rasa sakit itu, Santosa sontak terlonjak dari posisinya. Kelopak matanya membuka cepat, sementara napasnya memburu gelisah.

Pemandangan pertama yang tertangkap netranya adalah langit abu-abu terang yang terlihat mendung. Sejauh mata memandang, tak ada bola putih yang biasanya bertakhta di langit memancarkan cahaya. 

Setelah beberapa saat tercenung menatap langit, Santosa segera menyadari rasa sakit di sekujur tubuhnya. Susah payah, ia mengangkat punggungnya hingga berada dalam posisi duduk. Namun, sedetik kemudian, matanya membelalak kala melihat pemandangan di sekitarnya. Tumpukan kayu dan reruntuhan rumah yang gosong dilahap api dengan lidah-lidah api yang masih menyala di beberapa titik. Bau hangit dan daging terbakar segera menyeruak mengganggu penghidunya. 

Punggung Santosa sontak menegang begitu menyaksikan kekacauan di sekitarnya. Memorinya langsung menghadirkan kejadian semalam saat ia melemparkan batang korek api menyala ke dalam gudang bensin.

"Rumah itu terbakar?!" Santosa tersentak akan ingatannya sendiri.

Di balik reruntuhan dan sisa-sisa  pembakaran, mayat-mayat gosong dengan rupa mengerikan menyembul di beberapa sudut, nyaris terlihat seperti tanah pekat di bawahnya. Anehnya kebakaran itu tak merembet ke mana pun, bahkan ke arah hutan dan semak ilalang di sekitarnya. Pohon tempat si Belang terkubur yang berjarak hanya beberapa meter dari lokasi rumah itu masih berdiri kokoh, tak tersentuh sedikit pun oleh lidah api.

Dengan panik, Santosa lantas bangkit dengan berpegangan dengan tonggak kayu hangus yang tersisa di sisinya. Entah mengapa, kali ini Santosa rasanya memerlukan tenaga ekstra untuk menopang tubuhnya. Otot-otot tungkainya terasa kaku dan sulit digerakkan, sehingga langkahnya menjadi aneh dan janggal.

"Apa yang ... terjadi denganku," keluhnya lirih. Langkah kakinya terasa berat. Meski ia telah berupaya untuk bergegas, tetapi gerakannya justru semakin melambat seolah terdapat perekat tak kasat mata yang mengikat anggota geraknya.

Dengan frustrasi, Santosa akhirnya menghentikan langkah, lalu memeriksa anggota tubuhnya dengan rasa ingin tahu. Luka-luka di sekujur tubuhnya menghitam, tak ada lagi yang mengeluarkan darah segar. Beberapa bagian dagingnya bahkan terlepas dari rongganya. Semula, Santosa mengira jika tubuhnya hangus akibat kebakaran, tetapi alih-alih tercium bau hangit, luka itu justru berbau busuk.

Seketika rasa takut menyusupi benak Santosa. Meski ia tak melihat melalui cermin, menilik dari luka-luka di sekujur tubuhnya dan otot-ototnya yang sulit digerakkan, Santosa teringat akan mayat-mayat hidup yang menyerangnya. Apakah ia akan berubah seperti mereka sebagaimana ucapan makhluk pertama yang ditemuinya di dunia antah berantah itu?

Segera saja Santosa menepiskan pemikiran bodoh itu dan meyakinkan dirinya bahwa hal semacam itu tidak akan mungkin terjadi. Dipaksanya sepasang tungkainya melangkah meski kekakuan otot menyulitkannya. Ia bahkan tak bisa menekuk persendiannya. Namun, bukan Santosa namanya jika ia menyerah begitu saja.

Perjuangan beratnya membuahkan hasil. Santosa akhirnya berhasil keluar dari lokasi kebakaran, melewati pagar tinggi yang sebagiannya hancur dan gosong. Beberapa meter di hadapannya, hutan lebat terbentang, hingga sempat membuatnya ragu. Santosa pun sedikit menyesal karena kehilangan peta di dalam insiden kebakaran tersebut.

Berbekal ingatan samar mengenai lokasi di dalam peta usangnya, Santosa akhirnya memutuskan untuk menempuh hutan itu. Jika ia tak salah mengingat, maka hutan yang terbentang di hadapannya akan berujung pada sebuah Padang terbuka yang mungkin saja akan menyelamatkan hidupnya.

Santosa menguatkan tekadnya seraya berjuang sekuat tenaga menyeret tubuh kakunya menyusuri jalanan yang terasa lebih jauh dan berat dari sebelumnya. Meski keraguan dan ketakutan sempat terlintas di kepalanya, tetapi Santosa berusaha mengabaikannya. Hutan gelap yang pastinya menyimpan beragam makhluk mengerikan dan brutal itu akan ia tempuh demi sebuah kesempatan terakhir untuk keluar dari seluruh kengerian ini.

After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang