15. Dilema

24 9 0
                                    

Setelah keterpurukan bertubi-tubi yang dihadapinya, Santosa akhirnya memutuskan untuk melanjutkan langkah. Peta yang tadinya jatuh terserak di bawah kaki, diambilnya kembali dan disimpan rapi ke dalam tas ransel butut temuannya di rumah tua. Si Belang yang mengekorinya sembari terpincang-pincang, tak diacuhkannya seolah makhluk itu tak pernah ada. Suara makhluk belang tiga yang biasanya selalu menarik perhatiannya kini tak ubahnya bagai embusan angin yang samar-samar.

Santosa tidak peduli lagi ke mana kakinya melangkah. Berdasarkan peta yang ditemukannya secara misterius di rumah kosong, ke mana pun tujuannya, ia tak akan pernah kembali ke Banyuwangi, ke rumah gubuknya yang barangkali telah menjadi sarang tikus dan makhluk pengerat lainnya. Akan tetapi, mengapa ia masih berpikir untuk kembali ke Banyuwangi? Bukankah harusnya dia telah mati di tangan para ninja? Atau mungkin ia belum mati? Santosa tidak yakin dengan pemikirannya sendiri.

Pada saat malam nahas di mana karirnya sebagai seorang dukun santet telah berakhir, Santosa nyaris yakin jika ia telah kehilangan kewarasannya. Kecamuk pemikiran dalam kepalanya saat ini pun sama sekali tak bisa dipercaya. Untuk itu, Santosa tak peduli ke mana langkah kaki akan membawanya. Ia hanya ingin terus berjalan, mencoba mengalihkan pikiran-pikirannya dari rasa takut dan keputusasaan.

Santosa menerobos hutan gelap yang semula ditakutkannya dengan si Belang yang mengeong gusar di belakangnya dengan perasaan hampa. Langit di atasnya sontak berubah gelap begitu memasuki rerimbunan pohon-pohon hitam besar setinggi gergasi. Semak-semak di bawah pepohonan bahkan terlihat sama pekatnya. Hanya tanah di balik ilalang dan semak belukar yang terlihat sedikit abu-abu. Tak ada suara, pun tak ada gerakan di sekitar Santosa selain pergerakannya sendiri dan si Belang yang suara mengeongnya semakin nyaring.

Semakin dalam memasuki hutan, Santosa justru merasakan sedikit kelegaan. Hutan itu begitu hening seolah tak ada apa pun yang berdiam di dalam sana, hanya suara si Belang dan deru napas Santosa sendiri yang menjadi satu-satunya pengisi keheningan. Sejauh ini, Santosa merasa pilihan asalnya adalah sebuah keputusan yang tepat. Tak terbayang jika ia memilih jalan kembali ke sisi lain rumah kosong, barangkali ia akan bertemu dengan Si boneka jerami raksasa.

Berdasarkan peta Kumal yang ia miliki, jika Santosa terus berjalan menerobos Hutan Penyesalan ini, makan ia akan dapat segera menemukan padang yang dimaksud. Meski, ia tak mengetahui berapa jarak pasti yang harus ia tempuh karena tak ada sedikit pun keterangan jarak dan lokasi spesifik yang tertera di dalam peta itu. Sempat terlintas di dalam kepalanya, bagaimana jika peta itu hanyalah buatan orang yang tak bertanggung jawab semata? Namun, segera ditepisnya kemungkinan itu jauh-jauh dari pikirannya. Cepat atau lambat ia akan membuktikannya dengan mengikuti petunjuk seadanya di dalam peta.

Setelah berjam-jam berjalan dengan pemandangan yang sama di sepanjang perjalanan, Santosa mulai merasakan lemas pada sepasang tungkai. Si Belang yang tadinya mengeong nyaring kini telah berganti dengan suara yang jauh lebih lirih. Langkahnya pun tak sekencang beberapa waktu lalu. Kucing malang itu beberapa kali mencoba meraih atensi Santosa, tetapi lelaki paruh baya itu tak mengacuhkannya.

Di hadapan Santosa, gelap masih membentang seolah tak berujung. Pengharapan Santosa akan bertemu dengan seberkas cahaya penanda jalan keluar perlahan-lahan pupus. Alih-alih menemukan terang, hutan itu justru semakin pekat seumpama malam. Garis-garis cahaya yang menembus rimbunnya dedaunan serta ranting yang saling bertaut terlihat seperti bintang di malam pekat.

Setelah tak kunjung menemukan jalan keluar, Santosa akhirnya memilih untuk beristirahat. Jika malam benar-benar tiba, maka ia memerlukan tenaga ekstra untuk bertahan hidup sebelum mencapai tempat persembunyian. Santosa lantas memilih sebatang pohon yang paling rimbun. Ia lantas bersandar pada kerasnya kulit kayu hitam pekat, tanpa melepaskan tas dari punggungnya. Duduk berselonjor sembari bersandar adalah posisi terbaik untuk tidur di alam terbuka seperti saat itu.

Setelah mereka sampai, selanjutnya si Belang melompat ke atas pangkuan Santosa dan tertidur melingkar hanya dalam hitungan detik. Suasana hutan yang hening dan kondusif menjadi pendukung, hingga membuat Santosa dengan mudahnya jatuh tertidur.

Untuk beberapa saat yang melenakan, Santosa terbuai dalam tidur nyenyak tanpa mimpi hingga suara mengeong gusar milik si Belang mengusik kesadarannya. Santosa terbangun dengan perasaan masih mengawang-awang. Refleks dirabanya pangkuannya yang telah kosong tanpa si Belang di atasnya.

Santosa sontak terlonjak dari tidurnya dengan kesadaran yang terkumpul dengan terpaksa. Pelipisnya berkedut samar. Lelaki paruh baya itu lantas dengan panik mengedarkan pandangan ke sekitar mencari-cari sosok si Belang. Namun, anehnya ia tak dapat menemukan keberadaan makhluk itu di mana pun.

"Belang!" Santosa berteriak. Dengan setengah berlari diterobosnya kedalaman hutan. Akan tetapi, teriakannya hanya memantulkan gema ke arah pendengarannya sendiri.

"Belang! Di mana kau?!"

Santosa terus berlari menerobos semak dan belukar, sama sekali tak mengacuhkan ranting-ranting pepohonan yang menggerus dan melukainya. Satu-satunya yang berada di dalam benak lelaki paruh baya itu hanyalah si Belang.

Tiba-tiba suara si Belang yang terdengar gusar kembali tertangkap pendengarannya. Santosa menjadikan suara itu petunjuk guna menemukan si Belang. Santosa berlari menerobos semak ke arah sumber suara tersebut.

Alangkah terkejutnya Santosa saat menemukan jejak merah darah yang tercecer pada permukaan hutan yang monokrom. Warna darah yang sejelas nyala api di dunia hitam putih itu membuat kegusaran meliputi parasnya. Ia tahu persis jika darah itu adalah milik si Belang karena merupakan satu-satunya makhluk berwarna di sana.

Saat si Belang kembali mengeong ketakutan, Santosa telah dapat menemukan posisi  makhluk itu. Dari balik tiga deret pohon, Santosa mengintip dengan jantung berdegup kencang.

Ketakutannya menjadi nyata saat melihat tubuh kurus si Belang berada dalam cengkeraman sesosok monster bertubuh besar dengan postur mengerikan. Santosa nyaris berteriak hingga ia harus membekap mulutnya erat-erat agar suara jeritan tak lolos.

Meski monster itu membelakangi posisinya, Santosa tahu jika makhluk itu sangat mengerikan. Namun, bayangan kengerian itu bukan apa-apa, jika dibandingkan pemandangan yang terpampang di hadapannya saat itu. Makhluk itu mencengkeram si Belang hingga kuku-kuku tajamnya menembus daging si kucing malang itu, hingga tetes darahnya menjejak jelas bahkan pada jalanan hutan berwarna abu-abu tua. Dugaan Santosa ternyata benar mengenai si pemilik jejak darah. Namun, apa yang harus dilakukan Santosa sekarang? Menyelamatkan si Belang dan mempertaruhkan nyawanya kepada monster mengerikan itu? Ataukah ia harus merelakan si Belang mati begitu saja di depan matanya?

After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang