25. Padang Penantian

68 8 1
                                    

Santosa tak dapat berbuat apa pun, ketika makhluk itu menempel ketat di punggungnya seumpama anak kecil. Kedua tangannya yang berkuku tajam mencengkeram dada Santosa kuat-kuat hingga membenam ke dalam daging yang anehnya tak mengeluarkan darah setetes pun. Santosa meringis Saat merasakan beban di punggungnya yang kian bertambah, sementara langkahnya semakin berat. Ia bahkan tak bisa menggerakkan bahu untuk membuat makhluk yang menumpang di punggungnya jatuh.

“Kenapa kau lakukan ini?” erang Santosa masih terus berusaha berjalan.

Wening Ayu terkikik memuakkan. “Aku harap kau tidak melupakan rupa kematianku waktu itu, Santosa. Bukankah itu kesalahanu? Kau bersekongkol dengan Yono untuk menghancurkan hidupku. Maka dari itu, aku tidak akan membiarkanmu kembali dengan tenang. Kau harus terjebak di dalam tempat ini bersamaku, menjadi makhluk penasaran!”
Makhluk itu mencekik leher Santosa hingga lelaki paruh baya itu berteriak kesakitan dan nyaris kehabisan napas. Namun, selanjutnya, Wening Ayu mengendurkan cekikannya saat melihat rupa Santosa membiru. Tidak, bukan karena ia berwelas asih, tetapi ia ingin Santosa tersiksa lebih lama lagi.

“Tenang saja, kau tidak akan mati dua kali,” ejeknya diiringi suara tawa mengejek.

“Aku memang belum mati!” bantah Santosa dengan napas tersengal.

Wening Ayu kembali terkekeh di atas punggung Santosa. “Jadi kau tak menyadari kematianmu dibunuh para ninja?”

Santosa bungkam. Pikirannya berkelana pada hari pertama kedatangannya di dunia hitam putih ini setelah diserang para ninja pada malam sebelumnya. Terlebih, peringatan makhluk mengerikan yang muncul dari semak-semak, menyambut kedatangannya. Seketika, semuanya membuat tali penghubung tak kasat mata yang menyengat perasaan dan kesadaran Santosa. Selama ini ia berpikir jika dirinya masih hidup dan Padang Penantian adalah satu-satunya harapan agar dapat tetap hidup di antara semua kegialaan yang dihadapinya.

“Kau pasti berbohong!” Santosa tergugu dengan suara bergetar. Lututnya lemas hingga jatuh berlutut menghantam semak. Tubuhnya gemetaran menahan tangis, tetapi Wening Ayu tak juga melepaskan diri dari punggungnya.

Wening Ayu terkikik dengan suara meninggi. “Kalau kau ingin membuktikan perkataanku, teruslah berjalan hingga penghujung hutan ini. Itu pun jika sisa kemanusiaanmu masih tertinggal sampai di depang Gerbang Padang Penantian.”

“A-apa maksudmu?”

Suara kikikannya terdengar lagi. Wening Ayu lantas mendekatkan mulutnya ke telinga Santosa dan berucap dengan setengah berbisik. “Kemanusiaanmu sudah nyaris terkikis. Jika kemanusiaanmu benar-benar menghilang sebelum mencapai gerbang Padang Penantian, maka kau akan tinggal bersamaku di sini, bersama para mayat hidup menjadi makhluk penasaran.”

Kata-kata Wening Ayu barusan sontak memupuskan pengharapan Santosa. Air mata jatuh tak terbendung lagi, bergulir silih berganti di pipi Santosa. Namun, tangisnya tentu merupakan kesia-siaan belaka. Fakta pertama yang menampar kesadarannya adalah kenyataan bahwa dia sudah mati, bukan tersesat. Hal itu berarti dunia tempatnya berada saat ini adalah alam setelah kematian. Fakta kedua adalah ia baru mengetahui mengenai semua itu di saat kemanusiaannya hampir habis, dan itu berarti ia tak memiliki cukup banyak waktu untuk memperbaiki semuanya.

Santosa terpuruk dalam sujudnya di atas timbunan semak yang rebah di bawah kakinya. Tubuhnya gemetaran, tangisnya pecah tak terkendali. Sementara, Wening Ayu tersenyum puas di atas punggungnya. Santosa kembali mengingat perilakunya semasa hidup sebagai seorang dukun santet. Detik itu juga, Santosa untuk pertama kalinya menyesali keputusannya untuk menjadi dukun seperti ayah dan kakeknya. Seketika, segala borok tentang profesi kelamnya terkuak di dalam pandangannya. Santosa tersadar jika jalan yang ia ambil semasa hidup adalah kesesatan. Saat ia mengira masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki segalanya, ternyata Santosa salah. Waktunya telah habis. Hal terburuk yang mungkin dihadapinya adalah tak dapat kembali kepada Sang Penciptanya.

Akan tetapi, sebuah pemikiran logis seketika berkelebat dalam benat Santosa. Bagaimana jika ia berhasil mencapai gerbang Padang Penantian sebelum kemanusiaannya habis? Bukankah padang itu berada di penghujung hutan yang letaknya tak begitu jauh lagi? Meski ia telah melakukan hal-hal buruk di dunia, ia tetap ingin bisa kembali kepada Penciptanya, bukan malah menjadi makhluk tersesat di tempat ini. Berbekal sedikit keyakinan dan sisa tenaga kemanusiaan yang dimilikinya, Santosa bangkit. Susah payah, ia meluruskan tungkainya untuk menopang tubuh. Wening Ayu yang setia bergelantungan pada punggungnya menambah beban dan kesulitan Santosa dalam melangkah. Akan tetapi, Santosa menolak untuk menyerah.

Hutan gelap nan pekat ia lalui perlahan, langkah demi langkah, meski punggunya terbungkuk dan tak dapat diluruskan lagi. Sepanjang perjalanan yang nyaris buta arah itu, Santosa berpapasan dengan beberapa mayat hidup yang mengabaikannya, seoalah dirinya adalah bagian dari mereka. Namun, Santosa tetap tak patah semangat. Ia telah bertekad untuk berhenti saat mencapai gerbang yang dituju.

Perjalanan itu terasa lama dan sangat berat. Tubuh Santosa pun semakin terbungkuk, hingga pada satu titik di dalam kegelapan hutan, tubuh Santosa ambruk dan jatuh menghantam tanah hutan yang lembab. Kakinya tersandung akar besar yang menyembul di atas peermukaan tanah hingga tak dapat bangkit lagi.

Santosa nyaris mengira jika perjuangannya telah berakhir, saat sebuah cahaya terang mendadak menyorotnya dari kejauhan kedalaman hutan. Bersamaan dengan cahaya itu, Wening Ayu melolong jeri. Hal terakhir yang Santosa rasalah adalah punggungnya menjadi jauh lebih ringan. Namun, kelegaan itu tak berlangsung lama, Santosa yang kehabisan tenaga akhirnya kehilangan kesadaran.

***

Terkadang yang menjadi penolong di saat-saat paling kritis, bukanlah berasal dari kekuatan sendiri. Penolong paling tak terduga terkadang berasal dari kebaikan hati yang pernah ditanam, bahkan jauh sebelum kesulitan dialami. Hal itu pun terjadi pada Santosa. Santosa tak pernah mengira jika Si Belang yang pernah ditolongnya di dunia, justru menjadi penolongnya di saat-saat paling kritis.

Dalam kegelapan pandangannya yang nyaris kehilangan kesadaran, samar-samar Santosa mendengar suara mengeong familier. Santosa sangat ingin membuka mata, tetapi ia tak mampu melakukannya. Tenaganya benar-benar telah habis. Meski demikian, Santosa masih dapat menilai dengan jelas perubahan keadaan di sekitarnya melalui pendengarannya yang masih terjaga.

Setelah beban di atas punggungnya terangkat, Santosa lantas merasakah keseluruhan tubuhnya perlahan-lahan menjadi lebih bertenaga. Bermula dari sepasang tungkainya, energi itu menjalari tubuhnya melalui punggung hingga kepala. Santosa lantas merasakan kesadarannya mulai terkumpul, sehingga perlahan-lahan ia membuka kelopak matanya.

Cahaya terang yang menerobos netra Santosa tanpa peringatan sontak membuatnya mengernyit dan memejamkan kembali kelopak matanya. Setelah beberapa detik, Santosa lantas membuka kembali kelopak matanya perlahan.

“Di mana aku?” Santosa tercengang. Tubuhnya sontak terlonjak dari posisi berbaring saat mendapati pemandangan penuh warna di sekitarnya. Sebuah padang rumput hijau terhampar sejauh mata memandang, sementara langit biru cerah menjadi penaung di atas kepalanya. Belum hilang keterkejutan Santosa, sebuah suara lantas menyapanya.

“Santosa, selamat datang di Padang Penantian!”

Santosa menoleh dan mendapati seorang lelaki tua dengan seekor kucing belang tiga berdiri dalam jarak begitu dekat dengan dirinya. Santosa mengernyit saat mengenali sosok si kucing yang terasa familier. “Si Belang?” tanyanya meyakinkan.

Alih-alih mengeong, makhluk elang tiga itu mendadak berbicara. “Terima kasih karena masih mengingatku, Mbah,” sahut  makhluk itu dengan suara serupa bocah laki-laki.

“Kau bisa bicara? Bukankah kau sudah mati, Belang?” Santosa diliputi keheranan.

“Kalian semua memang sudah meninggalkan dunia fana, bukan? Sosok lelaki tua yang berdiri di samping si Belang menyahut dengan senyum ramah.

Santosa tertunduk. Seketika ia memahami apa yang terjadi dengan dirinya. “Jadi, aku selamat?”

“Si Belang yang menyelamatkanmu. Kebaikan hatimu padanya membuat dirimu terselamatkan,” jawab si pria tua.

Santosa kembali tertunduk. Kali ini atensinya tertuju pada tubuhnya yang segar dan sehat, tidak seperti di hutan dunia hitam putih beberapa waktu lalu. Pakaian yang dikenakannya juga bersih dan sepenuhnya berwarna putih. Santosa lalu jatuh tersungkur dalam sujud panjang penuh kesyukuran, dan untuk beberapa saat lamanya, Kakek Tua dan Si Belang membiarkannya dalam posisi seperti itu.

Kelegaan memenuhi seluruh benak Santosa. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia mengakui sesuatu yang sangat besar dan Maha Segalanya merupakan sosok yang menciptakan kehidupannya. Meski segala sesuatunya sudah terlambat, tetapi Santosa bersyukur karena pada akhirnya dapat kembali ke jalan yang semestinya.

“Mbah. Ayo kita berkumpul di sana seperti yang lainnya.” Si Belang menghampirinya dan menyentuh punggung tangannya lembut.
Santosa mengangkat wajah untuk melihat keramaian di kejauhan. Orang-orang berpakaian serba putih berkumpul di tengah-tengah padang dalam barisan rapi. Santosa lantas mengangguk dan beranjak dari posisinya. Diikutinya sang kakek tua dan Belang dengan langkah mantap menuju keramaian tersebut. Apa pun yang akan dihadapinya, Santosa telah siap karena baginya yang terpenting sekarang adalah dapat kembali kepada Sang Pencipta.


TAMAT

After the Death (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang