|Past

533 46 2
                                    


📍Bangkok, Thailand.
10 Januari 1970.

Bangkok, 1970. Masa itu, salah satu masa dimana kota besar ini terasa sangat tentram dan damai. Saat itu Kerajaan Thailand berada dalam pimpinan Raja Adulyadej Jongcheveevat, beliau juga mempunyai nama pendek yaitu Bhumibol. Raja Adulyadej adalah raja kesembilan dari Dinasti Chakri yang berjuluk Rama IX. Raja Bhumibol naik tahta pada 9 Juni 1946.

Beliau adalah seorang raja yang sangat arif dan bijaksana, tidak pernah sekalipun satu diantara rakyat yang mengkritiknya. Sampai suatu ketika, saat sedang berkampanye beliau berkata pada rakyatnya. "Saya juga mesti dikritik. Saya tidak takut jika kritikan tersebut terkait dengan kesalahan yang saya lakukan, karena dengan begitulah saya sadar telah melakukan kesalahan. Jika Raja dikatakan tidak bisa dikritik, itu artinya Raja bukan manusia," Ucap beliau. Memang sangat pantas jika beliau menjadi Raja yang paling dihormati oleh seluruh rakyat di Thailand terutama keluarganya.

“Dimana anak ku?” Tanya sang raja pada seorang pelayan wanita.

“Pangeran sedang bersama Ibu Ratu Sirikit, Yang Mulia.” ucap pelayan itu sopan sambil menundukkan kepalanya hormat.

Raja berjalan ke tempat yang diberitahukan oleh sang pelayan, Beliau ingin menemui putra sulung nya dan berbicara tentang suatu hal.

Sebelum sampai, Raja Adulyadej mendengar suara gaduh dari dalam kamar putranya, beliau memutuskan untuk menunggu sebentar sambil mendengarkan apa yang sedang diperdebatkan oleh anak dan istrinya.

“Sudah ku bilang, jangan pernah dekati pria itu.” ucap Sang Ratu dengan nada marah tapi tetap tenang.

“Maafkan aku ibu, untuk yang satu ini aku tidak bisa mengikuti perintahmu.” Putra sulungnya menunduk setelah mengucapkan itu.

“Kau membantah perintah ku untuk rakyat biasa seperti itu?” Sang Ratu tidak habis pikir dengan putranya yang sudah dibutakan oleh cinta. Putra sulungnya tetap diam tidak menjawab, Sang Raja tampak iba melihat putranya.

“Kau—”

Istriku...” Akhirnya Raja Adulyadej memutuskan untuk melerai perdebatan mereka.

“Sebaiknya kau kembali ke kamarmu, hari ini tampak tidak bersahabat.” Raja Adulyadej mendekat dan menepuk bahu istrinya lembut.

“Tapi—”

“Siapkan pakaianku, aku akan menemui mu dikamar.” Permintaan sang raja yang lebih condong seperti perintah tidak terbantahkan. “Biarkan aku bicara dengan putraku.”

“Baiklah.” Ratu Sirikit berjalan keluar meninggalkan putra dan suaminya.

Raja Adulyadej melirik putranya yang masih merunduk, mendekatinya dan menepuk pundaknya berulang memberi semangat.

“Aku tau, kau tadi bertemu dengan kekasihmu, kan?” Tanya Raja sambil tersenyum. Putra sulungnya mengangkat kepala menatapnya heran.

“Bagaimana bisa ayah tahu?” Tanyanya tidak percaya.

“Kau tidak lupa siapa aku kan, Mew?” Raja tertawa lalu duduk dikasur milik putranya. “Kemari, biar aku mendengar ceritamu tentangnya.”

Mew menatap ayahnya lalu tersenyum. “Apa ayah tidak marah padaku? seperti yang ibu lakukan?”

Sang Raja tersenyum, “Aku tidak membenarkan tindakanmu, tapi aku juga tidak bisa menyalahkan dirimu, Putraku.”

Mew bertekuk lutut didepan Ayahnya. “Ayah, aku mencintainya, apakah aku salah?”

DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang