Bagian 12

49 4 1
                                    

"Saat itu pula Dinka mulai stress. Mentalnya terganggu. Ia tidak terima dengan kenyataan tes DNA kalau dia adalah anak mama. Bahkan sampai saat ini dia masih belum bisa menerimannya. Dia akan melukai wanita manapun yang dekat denganku. Itulah kenapa aku tidak pernah mendekati wanita manapun setelah tiga tahun itu kecuali dengan kamu," ujar Morgan tersenyum manis padaku."

"Bukannya kamu sering mengganggu siswi baru?" Aku menatapnya mengintimidasi.

Morgan menyeringai. "Tapi tidak sebetah mengganggumu Shaba. Biasanya aku hanya akan melakukan itu selama dua hari."

Aku mengangguk paham tidak membantah. "Lalu bagaimana kamu tau Dinka akan mencelakaiku?"

"Aku tau itu dari Alan. Kemarin Alan mendatangiku menyuruhku untuk menjauhimu. Dia bilang kalau aku tidak menjauhimu maka Dinka akan melakukan apapun untuk melukaiku. Tapi, bukan Morgan jika ia malah dengan lapang dada menjauhi orang yang dia suka tanpa melakukan sesuatu apapun. Itulah kenapa aku mengikutimu saat pulang sekolah. Aku takut Dinka malah melukaimu. Bahkan aku juga menguntitmu saat di sekolah tadi," jelas Morgan. Ia meneguk jus jeruk yang ada di atas meja. Sebelum Morgan mulai membuka ceritanya, seorang asisten rumah tangga datang membawa nampan berisi dua gelas minuman. Juga membawa makanan ringan keatas meja di ruang tamu.

Seketika pipiku memerah, tapi dengan cepat aku merubah ekspresiku. "Kenapa harus menguntit?" tanyaku.

"Kalau tidak menguntitmu, nanti kamu malah nyarisgame over."

Aku memanyunkan bibirku, dia senang sekali menyindir tentang jasanya itu. "Apa yang akan terjadi pada Dinka?"

Morgan menggeleng. "Aku tidak tau, mungkin dia akan stress mengingat apa yang dia lakukan. Apalagi dia tidak tau bagaimana keadaanku membentur trotoar saat menolongmu. Tadi dia sempat melihatku dan menatapku khawatir. Aku tidak tahan dengan rasa sakit di kepalaku, jadi kupejamkan saja mataku. Bisa jadi Dinka mengiraku sudah mati, berarti dia salah sasaran," jelas Morgan kembali.

"Itu akan menambah gangguan mental Dinka. Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Dinka?" aku bertanya khawatir. Membayangkan Dinka akan melajukan mobilnya cepat lalu menyebabkan kecelakaan mematikan. Seperti yang biasa terjadi di flm-flm yang sering aku tonton di TV.

"Dia hanya akan mengurung dirinya di kamar Far. Kamu tenang saja. Lagi pula Mama akan menemuinya. Walaupun dia benci pada mama tapi dia selalu merasa hangat ketika mama memeluknya."

Aku menghela nafas lega. "Alhamdulillah. Semoga Dinka baik-baik saja," ucapku penuh harap.

"Kamu belum makan siang kan?"

"Eh, iya belum."

"Makan dulu disini. Setelah itu baru pulang," tawar Morgan padaku.

Aku menggeleng sambil tersenyum padanya. "Tidak perlu, kapan-kapan aku akan menumpang makan. Aku harus pulang, umi pasti menungguku."

"Sekarang?"

"Iya Morgan. Kapan lagi?" Aku mengambil tasku lalu menyampirkannya di pundak.

"Emmm... terimakasih sudah mendengar ceritaku," ucap Morgan tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya, "Sama-sama." Lalu berlalu meninggalkan Morgan untuk pulang.

Cerita Morgan kembali terbayang di ingatanku. Sekarang aku murni bisa berfikir positif tentang Dinka. Dinka adalah anak yang baik. Dia hanya memiliki gangguan mental karna tidak bisa menerima kalau Morgan adalah saudara tirinya. Aku hanya bisa mendo'akan semoga Dinka baik-baik saja. Dan dia akan sembuh dari penyakitnya itu. Semoga dia bisa menerima bahwa Tante Fee adalah ibunya dan Morgan adalah saudara tirinya.

~oo~

Morgan membawakan dua mangkuk bakso ke atas meja kantin, untuknya dan untukku. Di susul oleh temannya yang bernama Keran membawa dua mangkuk bakso juga, untuk dirinya dan untuk Shaba.

Kupu-kupu dan Senja ~TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang