Bagian 2

70 9 2
                                    

Bagian 2


Jam istirahat berbunyi. Aku memasukkan buku-buku yang ada di atas meja ke dalam tasku. Lalu mengeluarkan buku novel untuk kubaca. Sejak dulu aku memang senang membawa novel ke sekolah. Apalagi aku tidak berselera sama sekali untuk keluar kelas. Menghadapi para fans yang malah menatapku sinis bukan menatapku takjub.

"Kamu tidak mau ke kantin, Far?"

"Lebih baik aku di sini saja. Aku takut jika harus bertemu dengan manusia-manusia yang menatapku aneh," jawabku memberi alasan pada Shaba. Aku hanya tidak suka saja ditatap aneh seperti mereka.

"Tenang saja Far, ada aku. Kalau mereka berani mengataimu, biar aku yang melawan."

Aku menggeleng. "Tidak perlu Shaba, lebih baik aku di kelas saja."

"Ini hari pertamamu sekolah, tidak baik berada di kelas. Kamu harus ikut aku ke kantin." Fara langsung menarik tanganku. Membawaku secara paksa ke kantin sekolah. Aku terpaksa menurut. Lagi pula aku tidak punya pilihan juga kalau sudah ditarik begini oleh orang yang baru aku kenal. Yang ada nanti aku malah merasa tidak enakan padanya.

"Kamu mau makan apa, Far?" tanya Shaba sambil tersenyum. Teman baruku ini amat suka tersenyum. Untung saja aku bisa sekelas plus sebangku dengannya. Atau jika tidak, aku tidak akan menemukan teman sama sekali di sekolah ini.

"Apa saja, yang penting halal."

"Tenang saja, sekolah ini tidak menyediakan daging babi. Lagi pula kita di batasi hanya menghabiskan uang jajan lima belas ribu perhari. Kita hanya bisa jajan dengan kartu ini di kantin sekolah." Fara memperlihatkan kartu khusus untuk membayar makanan yang kami beli. Di sekolah ini tidak menerima uang tunai. Dan aku juga memiliki kartu itu. Guru yang pertama kali aku temui tadi sudah memberikan kartu itu padaku. Kartu serba guna, seperti untuk membeli jajan di kantin, membayar uang sekolah, meminjam buku di perpustakaan, dan entahlah apa lagi fungsinya.

"Aku pesan bakso saja," ujarku pada Shaba.

"Biar aku yang ambilkan." Shaba menghampiri penjual kantin dengan antrian lumayan panjang. Dia terpaksa mengantri. Sama seperti di sekolahku, anak-anak di sini banyak yang menggemari bakso.

Aku tetap menunduk. Bingung juga harus melakukan apa. Aku tidak membawa ponselku ke sekolah. Padahal, setidaknya aku bisa melihat ponsel genggamku itu agar tidak terlihat sendirian saja.. Aku tidak tau kalau ternyata sekolah ini membolehkan membawa ponsel genggam asalkan tidak di operasikan di dalam kelas. Berbeda dengan sekolahku yang melarangnya. Itu adalah pelanggaran berat.

"Hay cantik!" Aku tersentak. Menoleh kearah panggilan sejenak. Namun aku langsung menunduk takut. Ada manusia menyeramkan dihadapanku. Kenapa juga si laki-laki di koridor tadi yang mengatai pakaianku musim dingin malah menghampiriku kembali. Memangnya dia juga anak wali kota? Tidak takut melanggar fasal 3 ayat 2.

"Kenapa malah diam? Kau tidak perlu takut padaku. Aku hanya iseng saja mengataimu tadi," ujar lelaki itu. Mau iseng ataupun tidak, aku tetap tidak suka dengan makhluk yang bernama laki-laki. Apalagi dia sudah membuat tawa anak-anak pecah di koridor karna melihatku.

"Lihatlah ke depan!" lelaki itu malah memegang daguku mendongakkan kepalaku ke arahnya. Dengan cepat aku menepis tangannya. Enak saja dia memegang daguku yang masih perawan. Tidak ada lelaki yang pernah menyentuhku. Tapi seenaknya dia malah menyentuh daguku.

"Selain pemalu, ternyata kau adalah wanita yang galak." Lelaki itu menertawaiku, di susul oleh teman-temannya.

"Ngapain kamu di sini?" Suara Shaba menghentikan lelaki itu.

"Hay Shaba! Ternyata wanita ini temanmu. Aku hanya ingin berkenalan dengannya. Tidak lebih," jawab lelaki itu tersenyum sok akrab sepertinya. Karna jelas-jelas Shaba tidak akrab dengannya.

Kupu-kupu dan Senja ~TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang