Bagian 13

52 3 2
                                    

Aku duduk berseberangan dengan Morgan. Morgan menawarkan minuman dan makanan yang ada di atas meja. Aku mengangguk, mulai meminum teh yang disediakan untukku. mengucapkan terimakasih.

"Kenapa Dinka bisa seperti itu?" tanyaku memotong kesunyian, lagi pula aku juga penasaran.

"Awalnya Dinka hanya ketakutan saja, mengurung diri di kamar. Dia takut dengan rencana pembunuhannya. Dia takut kamu melaporkan kejadian kemarin ke pihak kepolisian. Lalu, tiga hari setelah kejadian itu ayah Dinka meninggal dunia, karna penyakit pembengkakan jantung. Dia semakin stress tidak menerima kenyataan itu. Dinka hanya punya satu orang yang ia terima di hidupnya, yaitu ayahnya. Namun, mau bagaimana lagi itu sudah menjadi takdir. Dan sekarang gangguan mentalnya semakin parah. Mama dengan telaten mengurusnya disini dengan dokter psikolog pribadi. Mama tidak mau membawa Dinka ke rumah sakit jiwa," jelas Morgan.

Aku menunduk sedih. Kasihan dengan keadaan Dinka saat ini. Ia pasti sangat terpukul dengan kehidupannya sendiri. Setelah dipisahkan sejak bayi dengan ibunya, ia membenci ibu kandungnya. Lalu harus jatuh cinta pada saudaranya sendiri. Sehingga mengalami gangguan mental. Sekarang ia malah kehilangan ayahnya yang merawatnya sejak kecil. Aku tidak tau bagaimana perasaanku jika hal itu terjadi padaku. Mungkin aku akan lebih menderita dari pada Dinka.

"Jangan dipikirkan, Far! Insya Allah Dinka akan sembuh. Dia hanya butuh perawatan khusus. Aku yakin akan hal itu Far. Biar bagaimanapun aku sangat menyayangi Dinka. Dia adalah saudaraku satu-satunya.

Aku menghapus air mataku yang mulai mengalir. Yah, kenapa aku malah jadi cengeng begini. Aduuh... didepan Morgan pula.

Morgan malah tertawa kecil. "Tidak perlu nangis juga, lebih baik kamu bantu mendo'akan Dinka dari pada harus menangis tidak jelas begitu."

Aku melototi Morgan ala-ala Shaba. "Siapa juga yang nangis," aku membantah.

Morgan tertawa kembali. "Persis seperti kupu-kupu senja."

Aku mengerutkan keningku. "Kupu-kupu senja?"

"Namamu kan Farasya Rimasenja. Farasya artinya kupu-kupu, lalu Rimasenja. Nah, jadinya kupu-kupu senja," jawab Morgan mengangkat sebelah alisnya. Ceritanya dia sedang sombong karna tau hal itu.

"Dari mana kamu tau?"

"Oh, namanya juga Morgan," ia mengusap poninya ke belakang.

Huwek. Cuma tau begitu saja gayanya sudah selangit. Padahal hanya tau arti namaku saja. Untung dia tidak seperti Alan yang mengartikan namaku seperti nama-nama hewan. Kalau tidak sudah kubunuh Morgan. Mumpung tidak ada satu orangpun yang melihat.

"Kamu itu seperti kupu-kupu senja. Kupu-kupu adalah makhluk yang indah, menawan. Ia menghidupkan berbagai macam bunga. Sama sepertimu yang selalu saja indah. Sedangkan senja, senja itu menedukan. Ia selalu memberikan kehangatan bagi para pencintanya. Membuat orang yang melihatnya terdiam, menatap tak berkedip. Sama sepertimu yang selalu saja menunduk, dingin, sehingga melahirkan keelokanmu yang tersendiri," jelas Morgan tersenyum padaku.

"Berlebihan." Aku menatap Morgan jijik. Dia terlalu sok tahu. Walaupun artinya memang lumayan benar, tapi tidak perlu di puitiskan.

Tiba-tiba telfon genggamku berbunyi. Aku melihatnya, tertera nama Shaba disana. Tanpa berfikir panjang aku mengangkat panggilan tersebut. "Kamu kemana sih Far! Jangan-jangan kamu jalan-jalan ya sama Morgan."

Aku menjauhkan telfon genggamku dari telinga. Suara Shaba memekakkan telingaku. Kebiasaannya tidak bisa berbicara santai sedikit saja. Kan kasihan nasib telingaku ini. Lagi pula aku tidak tuli jadi dia tidak perlu meneriakiku.

"Pelan-pelan bicaranya Shaba."

"Aku di rumahmu. Mamaku keluar kota bersama Zay. Jadi aku tidak punya teman. Aku akan menginap dirumahmu malam ini."

Kupu-kupu dan Senja ~TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang