"Selamat pagi Far!" sapa Morgan. Pagi-pagi begini dia sudah sangat bersemangat datang ke kelasku. Padahal tidak ada yang mengundangnya untuk datang. Aku hanya menoleh sejenak lalu kembali fokus pada bukuku. Berhubung seminggu lagi kami akan ujian nasional.
"Serius banget," katanya.
"Seminggu lagi ujian, aku tidak mau tetap berada di sekolah ini."
"Padahal kamu hanya sebulan lebih beberapa hari saja di sekolah ini. Jadi, kenapa terburu-buru untuk keluar."
Aku tidak peduli tetap membaca bukuku dengan serius. "Kamu marah padaku?" tanya Morgan penasaran. Siapa juga yang marah padanya. Tidak ada untung-untungnya marah pada orang tidak jelas seperti Morgan.
"Memangnya aku salah apa Far?"
Aku menarik nafas dalam lalu menutup bukuku. "Siapa juga yang marah padamu. Sana kembali ke kelas, sebentar lagi bel masuk kelas. Kalau mau bertemu denganku nanti saja saat sudah pulang," ujarku agar Morgan berhenti mengganggu.
"Kenapa tidak jam istirahat saja Far?"
"Aku punya kegiatan di perpustakaan."
Morgan menyeringai tersenyum lebar. "Ok," ia mengacungkan jempolnya lalu pergi meninggalkan kelasku.
Aku menarik nafas dalam. Sejak tadi aku berusaha menahan rasa sakit di bagian dadaku. Namun ketika Morgan pergi rasa sakit itu perlahan menghilang. Syukurlah, setidaknya aku bisa bernafas lega saat ini.
Walau memang itu tidak akan lama. Sepulang sekolah Morgan kembali menemuiku. Sungguh, aku tidak tau apa-apa tentang alasan sebenarnya kenapa aku bisa merasakan sakit ketika bertemu dengan Morgan. Entah itu hanya sebuah kebetulan atau apa.
"Iya Morgan. Lagi pula hari perpisahan sekolah masih dua minggu lagi. Tentang makan bersama bisa pikirkan kapan-kapan."
"Aku hanya mengajukan ideku, Far."
"Baiklah, aku mau pulang Morgan. Supirku sudah menjemput."
Morgan mengerutkan keningnya. "Baru saja beberapa detik yang lalu aku menemuimu. Apakah pak Isma'il tidak bisa menunggu sebentar lagi?"
Aku menggeleng.
"Sudahlah. Sana pulang! Lagian masih ada besok, besok dan besoknya lagi." Shaba seperti sudah melihat raut mukaku yang mulai berbeda. Di dalam kerudungku yang panjang, tanganku sibuk menekan bagian dadaku.
Morgan menghela nafas tidak suka, tapi ia tetap mengalah. "Baiklah aku pulang. Berhati-hatilah di jalan Far! Kau juga Shaba." Dia menyeringai tersenyum kearah Shaba, lalu kearahku. Aku selalu suka senyum itu, selalu saja suka. Senyum itu menggambarkan ketulusan, bukan mengada-ngada. Senyum yang menggambarkan kalau ia benar-benar tidak paham apa-apa tentang perasaanku. Yang aku saja tidak bisa memahaminya sendiri.
Shaba menatapku, lalu mempertanyakan apakah aku baik-baik saja.
Aku menggeleng, "Dadaku kembali sakit Shaba. Organku serasa diremas."
Jawaban itu jelas membuat Shaba khawatir. Ia memaksa untuk mengantarku pulang dan menyuruh asisten rumah tangganya untuk menjemput Zay. Ia tidak mau kalau aku kenapa-napa. Dan ingin memastikan aku baik-baik saja.
Shaba sedang menemaniku di atas kasur. Walau sudah ku pastikan padanya kalau aku tidak kenapa-napa lagi. Tapi Shaba memaksa menemaniku. Dia selalu saja khawatir dan mencemaskanku. "Kenapa tidak mau memberi tahu umimu, Far?"
Aku hanya menjawab dengan gelengan.
"Kenapa?"
"Aku tidak mau menyusahkan mereka. Banyak hal yang harus mereka urusi bukan hanya aku," jawabku pada akhirnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu-kupu dan Senja ~TAMAT
Teen FictionFarasya Rimasenja, masuk ke sekolah elite di pusat kota.Ia berasal dari kota Daerus, kota yang terkenal kental dengan syari'at Islam. Sedangkan di sekolah barunya, hanya ada hitungan jari yang beragama Islam atau bahkan mungkin tidak ada sama sekali...