Bagian 18

50 4 1
                                    

Kagum menatap keramaian kota. Begitu indah nan memesona. Banyak orang berlalu-lalang berbusana muslim melakukan aktifitasnya di sediap sudut kota. Tak elak bunyi lagu-lagu indah menghiasi aktivitas kota. Aku tertegun, tak pernah melihat suasana seelok ini. Berbeda jauh dengan kotaku.

Aku bingung harus memulai dari mana. Kota ini begitu besar, dengan setiap sudut yang tidak aku kenali. Untung saja kota ini masih satu Negara dengan kotaku, jadi aku tidak akan kesulitan berkomunikasi dengan mereka. Bertanya tentang orang yang aku cari, atau tempat yang akan aku tempati untuk beberapa hari ke depan.

"Permisi Pak, Assalamu'alaikum!" aku menyapa seorang Bapak yang duduk di kedai pinggir jalan sedang menikmati sarapannya.

Bapak itu menepuk kursi yang ada disampingnya menyuruhku untuk duduk. Ia masih khusyuk dengan sarapan paginya. Melirikku hanya sekejap saja.

Aku menurut untuk duduk di sampingnya, ikut memesan sarapan pagi. Kebetulan aku lapar sekali, sejak semalam aku belum makan secuil makanan apapun. Rasa nasi itu sangat nikmat, hampir sama dengan nasi gurih di kotaku. Akan tetapi, nasi ini memiliki ciri khas nya yang spesial, lebih di dominasi rasa minyak dan merica.

Setelah kami makan Bapak itu dengan segera membenarkan posisi duduknya, menikmati segelas kopi hitam. Sesekali ia melirik kearahku yang sedang mencuci tangan lalu meneguk air putih. "Kamu mau minum kopi?"

Aku menggeleng. "Saya tidak suka kopi."

"Sayang sekali jika kamu tidak merasakan kopi di kota ini. rasanya lezat sekali. Daerussalam terkenal dengan kopi hitamnya yang sangat lezat dan memiliki ciri khas yang spesial," jelas si Bapak penuh bangga. "Saya tau kamu datang dari pusat kota."

Aku tersenyum. "Bagaimana Bapak tau?"

"Kamu sangat menikmati nasi itu. Banyak turis ataupun perantau menyenangi nasi minyak. Apalagi kalau kamu merasakan kopi Daerussalam, saya yakin kamu akan menjadi pelanggan setia kedai ini."

Aku tersenyum. "Baiklah Pak. Saya pesan satu gelas kopi."

"Sur! Satu gelas kopi!" perintah si Bapak dengan entengnya. Mungkin dia sudah menjadi pelanggan setia, sejati dan sejiwa Ibu yang bernama Sur itu.

"Nah, baiklah anak muda. Kamu menyapa saya tadi jika tidak ada keperluan. Jarang sekali orang pusat kota yang suka menyapa tanpa sebab atau bahkan kenal sepertimu. Apa yang ingin kau katakana padaku?"

"Saya ingin mencari abu Arifin. Apakah Bapak kenal dengan abu Arifin?" tanyaku langsung tanpa menambah basa-basi lagi.

Si Bapak tampak mengerutkan kening. "Ada banyak abuya yang bernama Arifin disini. Jadi, abu Arifin yang mana yang kamu ingin temui?"

Aku berfikir sejenak, tidak ada banyak hal yang aku tau tentang abu Arifin, apalagi tentang Fara. Akupun tidak yakin jika bertanya tentang Fara, si wanita dingin, pendiam, dan selalu menunduk itu. Mereka tidak mungkin mengenal Fara.

"Oh, baiklah. Aku akan memberikan alamat salah satu teman baikku. Dia lebih banyak mengenal para abuya dan syaikh di kota ini," ujar si Bapak menghabiskan kopi di dalam gelasnya. Aku juga ikut menyeruput kopiku, rasanya nikmat sekali. Berbeda dengan rasa kopi-kopi yang ada di kotaku. Kopi ini jelas asli dan alami. Kata Bu Sur tadi saat menaruh gelas kopi itu di hadapanku, kopi ini langsung ditumbuk dengan penumbuk tradisional.

"Cepat habiskan kopimu anak muda! aku akan langsung mengantarmu. Nanti siang aku punya banyak sekali urusan, jadi aku tidak akan bisa membantumu. Kau bisa menikmati kopi ini kapan-kapan lagi," ujar si Bapak.

Aku langsung menyeruput kopiku sampai habis. Si Bapak tidak suka jika kopiku masih tersisa. Walau aku sanggup menghabiskannya, tapi tetap saja rasa keinginanku bertemu Fara lebih besar dari pada nikmatnya kopi di waktu pagi.

Kupu-kupu dan Senja ~TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang