Copyright : Moonlight-1222
Teruntuk readers yang masih terus mendukung sampai saat ini, terima kasih banyak. Jangan lupa votes & komennya :)
Silahkan follow Moon dan baca cerita yang lain juga. Makasih :).
.
.
Edmund tidak berhenti mengawasiku sejak ke luar dari Alabaster. Kebisuanku sudah membuatnya berpikir ada yang salah denganku. "Kau tidak apa-apa?" Tanyanya setelah kami semua duduk rapi di kereta. "Apa kau masih memikirkan nasib mereka?" Dia menyentuh lututku, mengusapnya. "Jangan terlalu bersedih. Aku akan memastikan Robin menerima ganjaran dari perbuatannya. Semuanya akan baik-baik saja."
Aku tidak bergeming. Terus melihat ke jendela sambil bertopang dagu. Tubuhku menjadi semakin panas sampai ke ubun.
"Mama." Ethan yang duduk di pahaku mencoba meraih perhatianku dengan mengubah posisi menjadi menyamping, bersandar ke jendela, sepenuhnya memberikanku pemandangan wajahnya.
"Ada apa?" Aku menghela napas. Ethan tidak boleh terkena imbas dari kemarahanku.
"Ini juga pertama kalinya Ethan berkeliling estate." Dia beralih ke jendela. Jari telunjuknya menggambar abstrak di kaca yang berembun.
Aku tersenyum melihat betapa menggemaskannya tingkah puteraku. Kehadirannya seakan angin sejuk yang memadamkan panas di hatiku. "Kita akan bertemu banyak orang dan melihat banyak hal nanti." Namun saat mataku bertemu Edmund yang tersenyum, tanjakan turun lantas merosotkan kebahagiaanku. "Hentikan kereta. Aku ingin berjalan kaki."
"Tapi kau akan kelelahan."
"Aku ingin melakukannya, Etton." Kali ini dengan lebih tegas. Tempat sekecil ini membuatku sulit bernapas.
Dia terdiam dengan biru yang membola, lalu menjauh. Sekarang dia sudah sadar bahwa aku sedang marah padanya.
"Kalian bisa tetap di kereta."
"Kita akan jalan bersama," timpalnya setelah memukul-mukul dinding kereta dengan menahan kesal.
"Jangan perdulikan aku. Kita ini berbeda. Aku sudah terbiasa berjalan kaki di lembah Tamare. Aku tidak ingin kau jatuh kelelahan karena harus mengimbangiku. Jadi tidak perlu merisaukan pandangan orang ataupun etika."
Alisnya menyatu tajam. "Memperlakukan perempuan secara istimewa merupakan etika para pria. Bila para pria saja diharuskan berperilaku sopan pada perempuan lain, bukankah hal seperti itu sudah menjadi sebuah kewajiban terhadap isteri mereka?" Lalu menambahkan dengan sedikit penekanan, "Aku bahkan sanggup berjalan kaki sambil menggendongmu dan Ethan."
Apa? Padahal aku sedang tidak meremehkannya. "Terserahmu sajalah," sahutku ketus.
Edmund melompat turun. Kuterima uluran tangannya dengan terpaksa. Jemariku sedikit diremasnya saat mataku hanya tertuju ke jalan. "Sebenarnya ada apa denganmu?" bisiknya dengan tatapan sendu.
"Mama, kenapa berdiri menghalangi pintu?" Suara Ethan menarik buyar suasana aneh di antara kami. "Ethan tidak bisa ke luar," keluhnya.
"Ethan sebaiknya tetap di kereta saja."
"Tapi Ethan juga ingin berjalan kaki." Dia menatapku tidak percaya.
"Tidak boleh," suaraku tegas. "Ini melelahkan."
Wajahnya mulai merengut menahan tangis. "Kenapa selalu Ethan yang tidak diikutsertakan? Ethan juga kuat seperti Papa."
Aduh. "Bukan seperti itu, Sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Scarlett & Lord Etton [On Going]
Historical Fiction[Historical Fiction - Mystery] The Secret in His Eyes Scarlett Selina Green baru saja berusia tujuh belas tahun saat seorang anak laki-laki bernama Ethan---yang berusia hampir setengah dari umurnya---memanggilnya mama. Ia shock sekali, terlebih lagi...