Copyright : Moonlight-1222
Terima kasih untuk semua dukungannya. Seperti chapter kemarin, update setelah minimal 200 votes. Jangan males vote ya :)
Komentar kalian juga selalu ditunggu :)
Silahkan follow Moon dan baca cerita yang lain juga. Makasih :).
.
.Setelah meninggalkan Ethan di tangan pelayan, aku bergegas ke ruang kerja Edmund. Mereka, tiga perempuan muda itu terus menunduk saat aku berbicara. Namun bukan karena rasa hormat lagi, tapi takut. Tentu saja. Meski terasa hening, aku tidak bodoh untuk tidak sadar bahwa gosip tentangku sudah menyebar di telinga mereka. Pekerja lama mungkin maklum, tapi berbeda dengan mereka yang baru bekerja. Pasti shock sekali.
Mungkin mereka bergosip tentang bagaimana Edmund yang sangat sabar menghadapiku. Mereka akan mengatakan betapa romantisnya suamiku itu karena tetap menerimaku tanpa syarat. Atau... mereka sedang mengasihani suami dan puteraku.
Bagaimana pun aku ini adalah aib.
Derit pintu mengubah fokus Edmund. "Ada apa?" tanyanya saat aku menutup pintu. Dia melepas kacamata lalu mengusap matanya. Aku mendekat. Melihat lebih jelas jejak kelelahan di wajahnya. Matanya sayu dan sedikit merah. Sebelumnya dia sudah sibuk, dan sekarang isterinya membuat waktunya berantakan.
"Kenapa matamu bengkak?" Dia terdiam sesaat sebelum berdiri dan mengusap bawah mataku. "Apa kau bermimpi buruk lagi?"
Responku hanya senyum tipis sebelum merangkum dan menarik wajahnya. Lalu mencium kelopak matanya---yang spontan terpejam. "Kenapa terkejut?" Tubuhnya kaku.
"Kau..." Dia kehilangan kata. Mata kami yang bertemu membuatku bisa melihat birunya yang membola.
Apa tindakanku terlalu aneh? "Ada apa? Bukankah ini permintaanmu?" Aku menyentuh pipinya.
Matanya mengerjap sebelum duduk dan memelukku. "Tiba-tiba bersikap semanis ini..." Tatapannya berubah lembut dan tersenyum hangat. "Terima kasih. Sepertinya lelahku sudah berkurang."
Aku duduk di pahanya. Melingkarkan tangan ke lehernya. Mengamatinya yang seakan lega melihat perubahanku. "Aku sudah baik-baik saja, bukan?"
"Ya. Kau sudah baik-baik saja." Sekilas senyumnya pudar.
Kutepuk bahunya saat dia terlihat melamun. "Ethan pasti sudah selesai mandi. Aku harus kembali karena dia tidak senang dibantu pelayan. Apa kau akan sarapan bersama kami?"
"Iya," jawabannya singkat dan pelan. Kenapa sekarang dia berubah pendiam?
Kucium matanya lagi, tapi dia membalas ke seluruh sudut wajahku sebelum melepaskanku. Senyum lesung pipinya masih bertahan di wajahnya, tapi aku merasa ada yang mengganjal pikirannya.
"Kami akan menunggumu." Dia hanya memberi senyum tipis. Apa dia menyadari ada yang kusembunyikan? Langkahku pelan sebelum berhenti di hadapan moonlight sonata---yang begitu bersinar di bawah pancaran lilin. Padahal aku sudah berusaha menghindarinya, tapi mataku terus mencarinya. Sekilas aku melihat Edmund tersentak.
"Kenapa kau bisa menyukai bulan?"
"Dari sekian banyak benda di langit, aku memang paling mengagumi bulan." Edmund berdiri di sampingku. Suaranya tenang, tapi langkahnya yang tergesa tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
"Meski cahaya keemasannya saat berubah perak tampak sepucat dan sedingin mayat, dia tetaplah keindahan malam yang dinantikan bumi."
Tubuhku berputar ke samping saat dia menarik bahuku. Ekspresi kaget jelas sekali di wajahya. "Kau... mengingatnya?" Suaranya bergetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scarlett & Lord Etton [On Going]
Historical Fiction[Historical Fiction - Mystery] The Secret in His Eyes Scarlett Selina Green baru saja berusia tujuh belas tahun saat seorang anak laki-laki bernama Ethan---yang berusia hampir setengah dari umurnya---memanggilnya mama. Ia shock sekali, terlebih lagi...