Prolog

11.8K 1.1K 13
                                    

Copyright Moonlight-1222
Vote setelah baca atau baca setelah vote. Jangan lupa :)

Scarlett & Lord Etton
.
.
.

Grenville Hills, Cornwall
3 Juli 1794

Tidak seperti biasanya Mama memintaku sedikit berdandan ketika mengantarkan makan siang Papa di pabrik. Porsinya pun bahkan lebih dari empat orang. Tapi aku tetap melakukannya tanpa perasaan curiga---meski tetap mengeluh karena merasa tidak nyaman. Lagipula selain tubuhku kotor sehabis menyiapkan makan siang, Papa memang biasa memiliki tamu dari kota.

Kakiku terayun santai di jalanan setapak yang kini sudah sangat familiar bagiku. Melalui deretan cottage beratap cornish dengan cerobong asap dan dinding kayu bercampur batu yang dicat putih. Setiap pondok berpagar kayu dan memiliki pekarangan masing-masing yang dihias beragam buah dan sayuran---yang selalu mereka bagikan kepada kami setiap panen.

Hidungku menyesap aroma hijau padang rumput dan pepohonan yang tersebar di lembah ini. Nuansa asri yang menyejukkan jiwa. Rasanya seperti baru kemarin keluargaku menginjakkan kaki ke desa kecil ini, dan tidak terasa sudah berlalu selama tiga tahun. Desa ini bernama Grenville Hills, sekitar lima puluh meter dari desa Bohetherick. Sepuluh tahun lalu, Papa membeli tanah di lembah Tamare yang berada di luar kawasan Bohetherick. Papa ingin membangun pabrik tekstil dengan menggunakan tenaga kincir air yang bisa didapatkan dari sungai Tamare.

Demi mendukung kemudahan dan kesejahteraan para pekerja, Papa membangun tempat tinggal yang akhirnya berkembang menjadi sebuah desa. Sebenarnya membangun tempat tinggal bagi para pekerja sudah menjadi strategi umum para pemilik pabrik, tapi Papa berusaha membuatnya tidak ala kadarnya. Papa juga menambahkan fasilitas rumah sakit dan sekolah dengan fasilitas yang memadai.

Mula-mula jumlah pekerja hanya sekitar lima puluh orang, tapi sekarang sudah mencapai tiga ratus lebih. Hampir semuanya berasal dari lingkungan kumuh kota-kota besar seperti London dan Manchester. Aku merasa bangga dengan cara Papa mengelola bisnisnya. Saat kau memberi kebahagiaan dengan semua pekerjamu, mereka pasti akan melayanimu dengan sukarela.

"Scarlett!"

Mrs. Baker berdiri di teras lantai dua toko rotinya masih dengan memegang penggiling adonannya. "Hello, Mrs. Baker!"

"Aku baru saja membuat pie favoritmu dan Harry. Ambil setelah pulang dari pabrik."

"Akan segera dilakukan. Terima kasih untuk ke sekian kalinya, Mrs. Baker," sahutku sambil tertawa lebar lalu melanjutkan tujuanku.

Mr. dan Mrs. Baker adalah pendatang di desa ini. Tinggal berdua saja karena tidak memiliki anak. Mr. Baker adalah seorang pengacara sukses yang memilih pensiun dan menghabiskan hari tua di pedesaan. Isterinya memutuskan membuka toko roti demi menyalurkan bakat terpendamnya, meski seringkali rotinya habis dibagikan dengan anak-anak disini.

Di desa ini kami memang seperti keluarga dan ikatannya terus terjalin semakin kuat. Meski hidup sederhana, tapi kami sangat bahagia.

Bangunan pabrik yang besar dan luas mengadaptasi arsitektur kastel abad pertengahan, berdiri angkuh di pinggir sungai Tamare bersama tiga kincir air besar. Pintu kayu gandanya terbuka lebar dan dari posisiku ini sudah terdengar suara mesin yang ribut dan debu dari kapas terlihat memenuhi tempat itu. Demi mengatasi resiko gangguan pendengaran dan pernapasan yang kerap menghantui para pekerja, Papa membuat penutup mulut dan telinga dari kain putih yang bentuknya menyerupai topeng.

Aku membalas semua sapaan mereka---yang lantas menghentikan pekerjaan ketika melihat kedatanganku. Tapi sesampainya di depan ruangan Papa yang berada di lantai dua, aku mendapatinya sedang bersama seorang pria muda yang berpakaian necis ala masyarakat London kelas atas. Seketika suasana hatiku muram sekali setelah menyadari keakraban Papa dan pria itu serta sikap aneh Mama.

Pria itu kemungkinan besar adalah calon suamiku.

Aku masih berdiri pada posisiku, bertahan agar tidak menginterupsi mereka, tapi satu eksistensi yang luput dari jangkauan mataku---akibat tubuhnya yang mungil---mengejutkanku dengan suaranya yang ceria.

“Mama!”

Seorang anak laki-laki berambut cokelat sepertiku dengan sepasang permata lapis lazuli berlari menujuku. Tubuhnya gembul dengan pipi bulat yang merona menggemaskan. Tapi mataku hanya mengerjap sambil menatap bocah yang tengah memeluk pahaku ini dengan sinar konyol. Dia mendongak untuk memamerkan wajah cerahnya bersama barisan gigi putih yang rapi.

Aku shock sekali sampai kehilangan lidah. Aku bahkan belum menikah. Bagaimana bisa sudah memiliki anak sebesar ini?

“Mama! Ethan dan Papa sangat merindukan Mama!”

Aduh, kepalaku mendadak pusing. Aku tidak masalah dengan suara nyaring anak kecil, tapi kalimat bocah ini sungguh meresahkanku. Bagaimana kalau semua pekerja mendengarnya? Ini akan menjadi skandal besar. Tidak bisa dibayangkan. Aku baru tujuh belas tahun dan usia bocah laki-laki ini kupastikan sekitar enam atau tujuh tahun. Mana mungkin aku bisa memiliki anak yang usianya hampir setengah dari usiaku!

Kemudian pria itu mendekati kami dan meraih bocah itu. Aku tertegun melihat sosoknya yang tampak berwibawa meski garis wajahnya masih sangat muda. Dan seperti ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku tertarik. “Maafkan atas sikap putera saya, Miss Green.”

“Kenapa Papa memanggil Mama bukan dengan Mama?”

Karena saya memang bukan mamamu. Aku sangat ingin menjawab ketus seperti itu, tapi Papa sudah menginterupsiku dengan perkataan ngawurnya.

“Kakek senang melihatmu bahagia bertemu mamamu."

Sementara aku semakin shock, Papa membiarkanku dan terus tertawa dengan bocah tidak jelas itu. Apa-apaan ini?

Lalu Papa menepuk bahuku dan mendekatiku. "Papa hanya bercanda, Sayang," bisiknya jahil sebelum berdiri tegap kembali. "Scarlett, ini adalah Earl of Etton dan puteranya, Ethan. Lord Etton ini adalah rekan bisnis ayah sekaligus calon suamimu.”

Tidak! Hatiku menjerit dan menatap Papa tidak percaya. Papa tega menikahkanku dengan seorang duda? Sebenarnya bukan masalah dengan dudanya, tapi kalau bisa memilih aku menginginkan pria yang belum menikah---karena hidup dalam bayangan isteri pertama bisa membuatku mati cemburu setiap hari.

“Kakek, kenapa calon suami? Mama dan Papa sudah menikah. Dan Ethan bukan hanya putera Papa, tapi juga Mama.”

Papa tertawa canggung sebelum membenarkan celotehan bocah itu. Lagi? Aku semakin frustasi. Kenapa bocah ini terus seenaknya mengakuiku sebagai mamanya? Apa ini adalah sejenis konspirasi yang dibuat oleh ayahnya karena aku memiliki wajah yang mirip dengan mendiang isterinya? Oh, lucu sekali.

“Mama, Ethan baru saja ulang tahun yang ke tujuh, tapi Ethan sudah bisa melukis wajah mama. Papa perlihatkan hadiah Ethan untuk Mama.”

Aku terdiam dan meremehkan. Bagaimana bocah ini bisa membingkai wajahku sementara kami baru saja bertemu? Lagipula gambar seperti apa yang bisa dihasilkan oleh bocah usia tujuh tahun?

Pria itu mengambil sebuah gulungan kanvas yang disandarkan di dinding. Jemari Ethan yang gemuk mulai melebarkan lukisan tersebut dan aku tertegun. Lukisannya sangat bagus sekali, bahkan terlalu detil sampai aku mengira sedang bercermin. Wajah wanita itu bukan hanya memiliki kemiripan tanpa cela denganku, tapi aku juga mengenalinya sebagai lukisanku saat ulang tahun ke tujuh belas---dan itu sekitar sebulan yang lalu.

OOOOO

Aloha~
Moon kembali dengan cerita historical baru, kali ini settingnya era georgian. Semoga kisah ini bisa menjadi salah satu list bacaan kalian di wattpad. Selagi menunggu update cerita Moon yang lain, silahkan dibaca. Makasih. Jangan lupa vote dan komentarnya tentang cerita ini, ya.

Scarlett & Lord Etton [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang