Copyright : Moonlight-1222
Silahkan apreasiasinya. Masih sama, minimal 200 votes sebagai jadwal update, lebih tambah bagus :D
Silahkan follow Moon & selamat membaca, ya :).
.
.
Aku... merasa seperti sudah mengingat semuanya. Namun di sisi lain, semua ingatan itu terasa asing. Sangat asing sampai aku berpikir itu hanyalah permainan dari kesedihan. Tapi---
"Scarlett!" Jeritan itu disusul dengan tubuhku yang tertarik ke belakang. Sakit pada lenganku semakin terasa ketika Edmund mengguncangnya tanpa berniat mengendurkan cengkraman. "Apa yang sedang kau lakukan!"
Aku menatapnya tidak percaya. "Seharusnya itu menjadi pertanyaanku. Apa yang sedang kau lakukan, huh?" Tiba-tiba saja menyergap dengan begitu kasar dan nada tinggi. "Apa aku bahkan tidak diperbolehkan untuk..." Suaraku melemah saat tersadar dengan sekelilingku yang gelap gulita.
Huh? Hanya ada beberapa cahaya yang berasal dari belakang Edmund. Apa yang terjadi? Bagaimana bisa aku sudah berada di luar seperti ini? Bukankah seharusnya aku berada di kamar Ethan?
"Kalau memang ingin pergi secepatnya...," Suaranya bergetar dengan napas memburu. Cengkaramannya di bahuku bertambah kuat, sementara wajahnya yang tertunduk menyembunyikan semua emosi. "...setidaknya jangan dengan cara diam-diam seperti ini."
Tidak heran bila Edmund salah paham tatkala melihatku yang sudah cukup jauh meninggalkan kastel Alabaster. Bahkan beberapa meter lagi kakiku sudah mencapai gerbang.
"Aku..." Wajahku penuh kebingungan, terutama suara yang ragu-ragu tersendat dalam tanya: Apa aku berjalan sambil melamun? Tapi aku tidak memegang kunci apapun, terlebih lagi ada penjaga di pintu utama. Bagaimana aku bisa berada di luar seperti ini? Apalagi mereka tampaknya membutuhkan waktu untuk tersadar atas kehilanganku---setelah melihat jarak yang sudah kutempuh.
Kemudian aku tersadar bahwa Edmund tidak mencariku sendirian. Selain kepala pelayan yang berdiri tepat di belakang Edmund, masih ada lima pria lainnya. Cahaya yang kulihat berasal dari lilin di tangan mereka, yang lantas menurunkan mata ketika bertemu pandang denganku. Ludah yang tertelan terasa pahit.
Aku kembali membuat diriku dan Edmund menjadi bahan gosip para pelayan.
Tanpa basa-basi mengalungkan tangan ke leher Edmund setelah merapatkan tubuh padanya. "Aku minta maaf atas keributan ini," bisikku penuh kesungguhan. "Tapi kau sepenuhnya salah paham." Dia masih menatapku tidak percaya meski kurasakan kakiku sudah terangkat. Lalu membawaku pulang dalam diam. Kuamati wajahnya yang mengeras dalam kebisuan. Peluh membasahi dahi, pelipis, dan lehernya, bahkan kemejanya terasa lembab.
Rasa bersalah semakin subur seiring langkah Edmund yang terasa berat menuju kamarku.
"Berapa lama kau berada di luar?" Dia berlutut setelah mendudukkanku di sofa dekat perapian. Tanpa menatapku. Hanya meletakkan kakiku yang terasa membeku di pahanya sebelum membungkusnya dengan kain tebal dari Mr. Howard. Aku bahkan baru sadar kalau tubuhku menggigil.
"Aku baik-baik saja." Kuturunkan mata ketika dia memberi tatapan putus asa. Lalu sambil meremas jari, kuutarakan isi hatiku dengan lebih tegas, "Seperti yang kubilang tadi. Aku tidak berniat pergi sama sekali. Apalagi secara diam-diam seperti tadi."
Mr. Howard berlalu tanpa suara. Memberi kami ruang untuk saling meluruskan masalah.
"Penjaga di pintu utama ketiduran." Suaranya yang terdengar tidak sabaran seperti diburu amarah. "Kau yang melihat kesempatan itu mengambil kunci yang tergantung di dinding. Kalau saja pekerja tidak becus itu tidak terbangun oleh hembusan angin malam yang dingin..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Scarlett & Lord Etton [On Going]
Historical Fiction[Historical Fiction - Mystery] The Secret in His Eyes Scarlett Selina Green baru saja berusia tujuh belas tahun saat seorang anak laki-laki bernama Ethan---yang berusia hampir setengah dari umurnya---memanggilnya mama. Ia shock sekali, terlebih lagi...