Copyright : Moonlight-1222
Vote sebelum baca atau baca dulu baru vote. Jangan lupa :).
.
.Aku seharusnya anak kesembilan dari sepuluh bersaudara kalau saja tiga saudara laki-laki tertuaku---yang malang---tidak meninggal saat masih kecil. Kini empat kakak perempuanku sudah menikah dan hidup bahagia bersama keluarga kecil mereka. Di atasku ada seorang kakak laki-laki yang saat ini, tentu saja sedang berdiri di hadapanku, Thomas. Padahal dia hanya lebih tua dua menit dariku, tapi dia selalu memperlakukanku seperti Harry. Kami kembar tapi tidak identik dan aku sangat bersyukur atas fakta itu. Lalu yang terakhir adalah Harry yang baru berusia sepuluh tahun.
"Scar---"
"Jangan mendekat!" Ethan membangun aura permusuhan dengan Thomas melalui tatapannya yang tajam. Lalu kembali mengagetkan kami dengan histeris memanggil papanya. "Papa! Papa! Papa!"
"E-Ethan." Aku kelabakan sementara Thomas mematung dengan muka bodoh. "Kau salah paham. Pria ini---"
"Dia ingin merebut Mama dari Papa." Setelah mengucapkan hal yang mengejutkan itu, bocah itu kembali menjerit memanggil papanya. Aduh kepalaku pusing. Kenapa bocah ini bisa bertingkah seperti ini? Aku bahkan bukan ibu kandungnya.
"Hei, Nak." Thomas menggaruk rahangnya. Dia pasti merasa sangat aneh dengan tingkah Ethan. Jangankan dia, aku saja masih harus beradaptasi. "Kau tidak perlu takut. Aku ini kakak mamamu yang ingin bertemu denganmu. Ternyata kau lucu sekali."
Thomas tersenyum jahil sambil melirikku, membuatku harus menahan diri untuk tidak memukul kepalanya yang besar itu. Semua ini pasti ulah Papa. Kehadiran Thomas adalah pertanda kalau sebentar lagi semua kakak perempuanku akan pulang. Berat sekali karena itu adalah waktu untukku bertahan dengan semua celotehan mereka.
"Paman?"
Thomas mengangguk sambil tersenyum lebar. "Benar. Aku adalah Pamanmu. Clever boy."
Setiap anak yang mendapatkan pujian pintar biasanya akan merasa bangga, tapi ekspresi murung Ethan malah terlihat seperti terbebani.
"Ethan memang pintar." Nadanya yang rendah jelas bukan bentuk kesombongan. "Papa, semua tutor, paman, dan bibi dari keluarga Papa selalu berkata seperti itu. Ethan anak pintar." Wajahnya tertunduk. "Ethan harus jadi anak pintar kalau ingin bertemu Mama. Papa bilang Mama tidak suka anak yang bodoh."
Rasanya ada yang memukul dadaku. Sampai hati Lord Etton mengucapkan hal seperti itu. Padahal sosok pria itu terlihat seperti orang bijak di usia muda. Inilah alasan untuk tidak hanya menilai seseorang dari sampulnya saja.
Dari awal aku sudah menyadari kalau Ethan memang berbeda dengan anak-anak sebayanya. Apa itu istilahnya, aku lupa. Tapi kenapa harus menjadi pintar dahulu baru bisa bertemu dengan ibunya yang bahkan sudah meninggal? Apa itu bentuk dari strategi Lord Etton agar bisa membuat Ethan dengan mudah melupakan mendiang ibunya? Tapi bukankah itu keterlaluan sekali?
"Ethan pasti sudah berhasil jadi anak pintar karena sekarang Mama ada dihadapan Ethan." Dia memeluk leherku, membuatku semakin dikejar rasa bersalah.
Sekarang aku paham kenapa Ethan selalu menempel denganku dan sangat takut kehilanganku. Dia sudah berusaha memenuhi tuntutan Lord Etton agar bisa meraih hadiah yang dijanjikan untuknya: berkumpul bersama ibunya.
Tapi aku bukan... ibunya.
Thomas menatapku simpati sebelum duduk di sampingku dan mengusap kepala Ethan. "Iya. Ethan anak pintar. Mau mencoba bermain dengan paman?"
"Main? Melukis? Catur?"
Thomas terdiam sebelum melihat kanvas yang berdiri di jendela yang menghadap padang rumput dan pegunungan lembah Tamare. Dia tahu kalau aku tidak suka melukis dan aku bisa melihat kekagumannya dengan mahakarya di atas permukaan kanvas. Aku tertegun saat Thomas kesana untuk menghadapkan lukisan itu padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scarlett & Lord Etton [On Going]
Historical Fiction[Historical Fiction - Mystery] The Secret in His Eyes Scarlett Selina Green baru saja berusia tujuh belas tahun saat seorang anak laki-laki bernama Ethan---yang berusia hampir setengah dari umurnya---memanggilnya mama. Ia shock sekali, terlebih lagi...