Copyright : Moonlight-1222
Silahkan, apreasiasinya Moon tunggu. Masih sama, minimal 200 votes, lebih tambah bagus :)
Vote bagian yang (a) juga jangan lupa, hoho.Part 2nya sedikit molor. Langsung nyambung aja. Selamat membaca :)
.
.
.
Tidak ubahnya tersangkut di semak berduri, dadaku yang sesak mulai berdarah-darah.
"Aku memberitahumu ini agar kau lebih sedikit memikirkan Ethan."
Memanfaatkan Ethan dan air mata untuk mengekangku. Mencari rasa iba dalam diriku demi menenggelamkanku dalam penyesalan abadi. Dan perut sialan ini kembali berdenyut sakit. Hentikan! Aku berontak dalam pelukannya dan berdiri. Berniat pergi saat Edmund menahanku. Mataku melebar menyadari gerakan tanganku. Bisa kulihat kekagetan yang sama menyebar di wajahnya.
Tenaga yang terkumpul dari perasaan frustasi dan marah membuahkan dorongan yang kuat. Dia terduduk di rumput dengan menyedihkan. Padahal badannya jauh lebih besar dariku, apa dia tidak memiliki pertahanan diri sedikitpun? Mataku menghindari tatapan terlukanya yang menjadi semakin perih saat aku tidak mengulurkan tangan sama sekali. Jemariku bersatu, saling meremas penuh kebingungan. Saat ada keheningan, aku seharusnya sudah meninggalkan taman kalau saja Edmund tidak sigap menahanku.
"Apa yang kau lakukan?" Dia berlutut selayaknya terdakwa yang siap menerima hukuman penggal. Masih dengan memegangi kedua tanganku, menahanku tetap berpijak di tempatku. Sementara wajahnya yang tertunduk menggesek rok gaunku. "Berdiri sekarang juga." Mataku mengawasi pilar-pilar koridor, berharap tidak ada siapapun disana.
"Aku belum selesai. Kau harus mendengarkan semuanya agar berhenti menyalahkan diri sendiri."
"Berdiri atau semua pelayan akan melihatmu dalam posisi memalukan ini." Aku dipenuhi kegusaran. Balik menggenggam tangan Edmund jauh lebih erat.
"Aku tidak perduli Scarlett," suaranya meninggi dalam geraman. Hari ini aku tidak mengenakan hoopskirt, itu memudahkannya untuk memelukku. Wajahnya terbenam di perutku, membasahi gaunku. "Aku tidak perduli. Mereka membutuhkanku dan aku membutuhkanmu."
Air mataku yang jatuh segera kutepis. "Aku akan mendengarkanmu." Kuraih bahunya, berusaha membantunya. "Jadi berdirilah dan kita bicarakan ini di kamar."
Dia mendongak. Menatapku dengan wajah sembab dan berantakan, sebelum menggendongku untuk duduk di pangkuannya dalam posisi menyamping.
"Lepaskan aku." Dia membuatku frustasi setelah memelukku erat dan tak berjarak. Aku berusaha mendorong bahunya menggunakan lengan dan sikuku, tapi Edmund seakan berubah menjadi dinding.
"Dalam situasi yang menyedihkan seperti ini saja kau tidak bisa luluh. Mempertahankan harga diri hanya akan membuatku kehilanganmu lebih cepat. Aku tidak mau lagi menderita sendirian karena enggan bersikap jujur. Ketika pria merasa terhina saat bersikap lemah, maka penyesalan akan selalu menjadi akhirnya. Aku bersedih dan merana. Inilah kondisiku selama ini."
Aku terhenyak sebelum berpaling dengan mata yang panas. Pada akhirnya semua orang akan semakin berpikir aku ini perempuan yang tidak tahu diri.
"Aku sangat memahami bahwa kekacauan yang terjadi ini disebabkan olehku. Seandainya saja aku tidak berpikir pendek." Dia memulai setelah aku terlihat tenang. "Ini merupakan penyesalan terbesarku. Aku selalu bertanya apakah akhirnya akan berbeda bila seandainya aku memberimu lebih banyak waktu untuk berkabung? Seandainya saja aku lebih bersabar. Seharusnya aku memahami bahwa anak yang lain tidak akan bisa menyembuhkan kesedihanmu. Tidak akan ada yang bisa menggantikan alasan sebuah duka ketika kita belum bersedia melepaskannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Scarlett & Lord Etton [On Going]
Historical Fiction[Historical Fiction - Mystery] The Secret in His Eyes Scarlett Selina Green baru saja berusia tujuh belas tahun saat seorang anak laki-laki bernama Ethan---yang berusia hampir setengah dari umurnya---memanggilnya mama. Ia shock sekali, terlebih lagi...