BAGIAN 6: INGATAN (1)

22K 1.1K 31
                                    

Erica melirik pada jam besar di dinding. Pukul sembilan pagi. Dunant sudah tak sadarkan diri selama kurang lebih dua jam. Dan Erica belum bergeming kemanapun. Erica terus menunggu di samping Dunant yang masih terbaring. Dan hanya bisa memandangi wajah Dunant.

Erica baru menyadari, banyak bekas luka jahit yang lebih kecil di sekitar leher Dunant, lengan dan jemarinya. Erica mulai membayangkan, masa lalu macam apa yang Dunant lewati...

Erica menggelosorkan dirinya untuk turun dari ranjang dan menoleh sekali lagi pada Dunant, sebelum ia melangkah keluar dari kamar. Dunant tampak tak bergeming. Erica pun meneruskan niatnya. Ia ingin menjelajahi villa ini. Ia ingat, villa ini miliknya...

Erica pun sudah menapakkan sepasang kakinya yang hanya bersandal jepit, menuruni anak-anak tangga. Keadaan begitu sepi. Erica mempercepat langkahnya. Ia terus menapak hingga tiba ke lantai bawah dan menyeberangi ruang makan hingga tiba ke teras belakang. Lalu menyeberangi taman hingga tiba ke pintu gebyok. Ia mencoba membuka salah satu daun pintu itu. Tetapi terkunci. Begitupun dengan yang di sebelahnya. Erica mendengus kecil lalu memutar tubuhnya untuk kembali menapaki taman, berlanjut ke teras belakang hingga melewati pintu sorok berkaca mozaik.

Dan teringat...

Erica pernah duduk di ruangan ini. Ia melihat seseorang duduk bersamanya. Dunant. Dunant sedang berusaha mendekatinya. Dan Erica mengingat kalau ia mengabaikan Dunant. Ia tidak menyukai Dunant yang gerak-geriknya selalu kasar.

Erica pun melangkahkan kakinya ke ruangan lain. Hingga tiba ke ruang besar yang menyerupai aula. Dengan sofa-sofa besar yang bertekstur dan bergaya eropa. Lampu kristal besar terpasang menjuntai di langit-langit. Di sudut-sudut ruangan, terpajang banyak patung kayu berbentuk penari Bali.

Erica ingat. Villa ini dimiliki keluarganya secara turun-temurun. Keluarganya adalah pemilik beberapa perkebunan teh dan kopi di lintas jalur Jonggol antara Cisarua sampai ke Cianjur.

Erica melangkah keluar lagi dari aula itu. Ia tiba ke sebuah ruang kerja yang luas. Dengan meja-meja jati berukir dan kursi berlapis kulit. Dan Erica melihat banyak foto Jevan terpampang besar-besar hampir di seluruh ruangan. Erica memicingkan matanya dan mengerut-ngerutkan dahinya lalu merasa nyeri di keningnya, di bekas luka jahitannya. Kepalanya mencoba mengingat-ingat. Ia mengingat, kalau seharusnya ada foto papanya di ruangan ini. Bukan foto Jevan.

Erica mulai meraih beberapa album foto yang tersisip di lemari buku besar di seberang meja kerja. Semuanya hanyalah album yang berisi foto-foto Jevan dengan keluarganya. Tetapi tidak ada foto Dunant. Tidak satu pun. Juga tidak ada foto Erica dan keluarganya. Sisanya, hanyalah buku-buku hukum dan buku bisnis.

Erica menemukan ingatannya kembali saat memegang salah satu buku hukum tersebut... Jevan... adalah pengacara keluarganya. Kepercayaan papanya. Almarhum...

Erica baru teringat kalau orang tuanya sudah almarhum. Dan Erica lah pewaris tunggal dari semua aset yang di miliki oleh keluarganya secara turun menurun. Nenek moyangnya masih berdarah Belanda. Di jaman VOC, kakek moyangnya menikahi gadis pribumi berdarah Sunda. Dan memiliki tanah di jaman itu hingga turun-temurun. Dan kepemilikan itu sempat mengalami pergolakan karena keluarganya di anggap masih keturunan orang asing.

Erica memutar tubuhnya untuk keluar dari ruangan. Dan menabrak tubuh menjulang yang sudah berdiri di hadapannya. Dunant.

"Dunant!" Erica mulai terbiasa untuk selalu terperanjat bila melihat sosok Dunant. Memperlihatkan rasa tidak amannya di waktu-waktu tertentu. Apalagi bila melihat wajah Dunant yang mendadak... marah.

Erica mulai melangkah mundur. Wajah Dunant sudah memicing. Ia menggerak-gerakkan tangannya dengan menghentak-hentak...

Jangan ingat. Atau kita tidak bisa bersama lagi.

DUNANTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang