BAGIAN 21: PILIHAN (2)

14.9K 812 52
                                    

Erica mendengar suara telepon genggamnya berbunyi hingga berkali-kali. Nada getarnya terus berdengung. Ia sudah mengangkatnya. Tetapi bunyinya tidak juga berhenti. Dan tidak ada suara siapapun yang menyahutinya di seberang sana. Hanya terus berbunyi dan bergetar tanpa henti. Membuat Erica kebingungan. Lalu ia merasakan tangan besar terhempas ke dadanya.

Erica membuka matanya.

Erica baru saja bermimpi. Telepon genggamnya masih tergolek di atas buffet, masih berbunyi dan mendengungkan nada getarnya. Erica berusaha bangkit untuk meraihnya. Tetapi dadanya terasa terhimpit oleh sesuatu yang berat. Ia melihat rentangan lengan kekar sedang merelung ke dadanya. Erica membelalakkan matanya. Ia juga tidak bermimpi kalau Dunant telah kembali dan bercinta dengannya. Erica langsung menoleh ke sampingnya untuk memastikan sekali lagi...

"Dunant..." Erica bersuara dengan pelan. Ia tidak bermimpi. Ia melihat Dunant rebah dengan kepala menyamping, menghadap ke arahnya. Dengan hanya sehelai bed cover yang menutupi tubuh mereka berdua hingga ke pinggang. Erica menyibak bed cover dan benar-benar mendapatkan bukti kalau mereka memang telah bercinta semalaman. Mereka berdua tak mengenakan apapun untuk membalut tubuh mereka. Selain bed cover yang tampak robek di beberapa bagian.

Mata Erica kembali membelalak. Satu tangannya langsung menyambar telepon genggamnya yang berbunyi sebelum suaranya itu membangunkan Dunant.

Erica bergeser untuk sedikit menjauh dari Dunant dan mengangkat teleponnya. "Erica..." Suara Alex terdengar pelan memanggilnya. Erica membekap mulutnya dan langsung menggelosor turun dari ranjang sambil terus mengawasi Dunant. "Halo..." Erica berbisik. Ia langsung mengepitkan telepon genggamnya di antara telinga dan bahunya. Lalu menyambar pakaian dalam serta gaun tidurnya yang berceceran di lantai.

"Kamu kenapa?", tanya Alex di telepon.

"Gak apa-apa...", sahut Erica cepat, masih dengan suara yang berbisik. Matanya melirik ke jam besar di dinding sementara tangannya mengenakan celana dalam dan bra-nya kembali. Erica berkerenyit saat mendapati renda di bra-nya juga sudah robek. Ia melirik pada Dunant sambil mendengus kecil. Tetapi dikenakannya juga bra-nya itu. Erica juga menyarungkan gaun tidurnya dengan cepat dari atas.

"Aku 'gak bisa tidur..." Alex bersuara dengan parau. Ia terdengar letih. "Aku cuma mau check keadaan kamu aja. Aku juga kangen sama kamu."

Erica sudah memakai jubah tidurnya dan melirik lagi ke jam besar di dinding. Pukul empat subuh. "Aku..." Suara Erica sudah tercekat. Ia menelan ludahnya. "Aku baik-baik aja..." Mata Erica terus mengawasi Dunant yang masih tertidur dengan lelap. Erica menarik nafasnya dan berusaha untuk menenangkan dirinya.

Erica merasakan kalau dirinya baru saja menaiki roller coaster dan terlempar keluar dari lajunya yang cepat, di saat suara Alex menariknya kembali kepada kenyataan. Bahwa ia sudah tidak bersama Dunant lagi. Dan Alex begitu mencintainya.

"Aku... baik-baik aja...", ulang Erica. Ia menggigit bibirnya sambil membayangkan wajah Alex yang letih. Erica melirik ke Dunant lagi. Laki-laki besar itu masih tertidur dengan lelapnya seperti bayi. Wajah Dunant terlihat masih sembab. Hidungnya juga masih merah. Dan air liurnya sudah mengalir kemana-mana. Erica mengambil handuk kecil dan menyekakannya dengan perlahan ke seputar mulut Dunant. Lalu melangkah ke pintu kamar dan membuka kuncinya dengan hati-hati sementara Alex masih bersuara, "Aku khawatir banget sama kamu. Sori, bangunin kamu subuh-subuh. Aku udah sampe di jalan masuk ke villa..."

"a..." Suara Erica tergagap. "Kamu... di mana?" Ia ingin memastikan lagi saat pintu kamar sudah dibukanya dengan perlahan.

"Sekarang, aku udah masuk gerbang...", sahut Alex.

"Apa?" Erica mendengar derum mobil yang disusul oleh suara ban yang melindas pasir dan koral di luar. Erica melirik resah ke arah Dunant. Kemudian segera melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar dan menutup pintunya dengan hati-hati sambil terus mengawasi Dunant yang masih tertidur. Lalu segera menapak turun ke bawah dan menghambur ke pintu utama. Alex masih berbicara di telepon, "Bisa kamu buka pintunya, sayang? Dikunci, nih..."

DUNANTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang