Erica masih terus memicingkan matanya sejak awal ia dan Dunant tiba di ruang makan. Ia terus memandangi pintu sorok berkaca mozaik yang terletak di sisi kiri maupun di sisi kanan ruangan. Ia pernah melihat pintu semacam itu. Tetapi lagi-lagi, ia tidak bisa mengingatnya...
Kapan... dan di mana...
Dunant terdengar melenguh-lenguh tak jelas. Seakan berusaha untuk memanggil Erica agar mau menoleh ke arahnya. Dunant duduk di ujung meja yang berseberangan dengan Erica. Meja panjang itu membentangkan jarak yang cukup jauh di antara mereka.
Dunant yang sudah mengenakan T-shirt hijau lumutnya, sedang bangkit berdiri dari duduknya ketika seorang lelaki setengah baya tampak tergopoh-gopoh membawakan baki besar dengan dua menu masakan di atasnya. Laki-laki setengah baya itu meletakkan masakan khas Sunda ke atas meja marmer, dengan raut wajahnya yang takut-takut. Dunant tampak memicing tak suka kepadanya. Dunant menoleh pada Erica lagi sambil berbahasa isyarat dengan membentuk beberapa alphabet melalui gerakan tangannya.
Namanya Kang Asep. Jangan percaya dia. Dia suka pura-pura baik. Percaya sama Kang Danu. Danu baik.
Erica mengerenyitkan keningnya. Ia tidak menyangka kalau Dunant mampu menilai siapa yang bisa di percaya, siapa yang tidak. Bahwa ia memiliki prasangka, sebagaimana kebanyakan orang. Erica mulai memajukan separuh tubuhnya sambil mendaratkan kedua tangan untuk menyiku ke atas meja. Memperhatikan Dunant yang masih berdiri dengan tubuh menjulang, melemparkan sesendok dari setiap masakan yang disuguhkan Kang Asep, kepada kucing liar yang menunggu di ambang pintu menuju ke teras belakang.
Erica semakin mengerenyitkan dahinya, menyadari kalau Dunant penuh dengan kewaspadaan. Erica melihat bagaimana Dunant menunggu reaksi kucing itu setelah menyantap makanan yang dilemparkannya. Dan Dunant terus menunggu sambil melirik ke arlojinya. Beberapa menit kemudian, Dunant tersenyum lega. Menyadari tak ada perubahan apapun yang terjadi pada kucing itu. Lalu Dunant menoleh kepada Erica lagi sambil menggerak-gerakkan tangannya.
Menu lain, sebentar lagi datang. Kita akan lempar ke kucing itu.
Dunant mengarahkan pandangan matanya pada kucing belang tiga yang masih menunggu di ambang pintu. Tetapi kucing itu tidak berani menapak masuk ke dalam. Tak setapakpun. Hanya menunggu dengan patuh di tempatnya.
Erica kembali kepada sekilas-sekilas ingatannya. Ia pernah memiliki seekor kucing. Meski lagi-lagi, ia tidak ingat di mana dan kapan. Di dalam pengenalannya, kucing liar itu memiliki perilaku yang cenderung "ketagihan" bila sekali saja di beri makan atau diperlakukan dengan baik. Kucing liar adalah binatang yang suka menuntut dan meminta apa yang enak untuknya.
Erica melihat kembali ke arah kucing liar di ambang pintu. Kucing itu menunggu dengan patuh.
"Apa yang kamu buat? Kok, bisa bikin tuh kucing... gak meong-meong minta makan atau naik ke atas meja?" Erica pun membuka mulutnya.
Dunant sudah melangkah untuk mendekati Erica. Ia terlihat begitu antusias untuk selalu berdekatan dengan perempuan yang baru saja dinikahinya kemarin. Tetapi Dunant belum memberikan jawaban apapun. Membuat Erica kembali mengulang pertanyaannya.
Dan Dunant pun menggerak-gerakkan tangannya, memberi jawab pada Erica...
Caranya sama. Melatih kucing itu seperti melatih Kang Asep.
Erica terhenyak mundur saat mengetahui jawaban Dunant. Jawaban Dunant itu penuh dengan hal-hal yang tersirat. Bukan tersurat. Dan entah mengapa, itu membuat Erica merasa terusik. Meskipun Kang Asep lah yang sedang dibicarakannya. Erica mulai menerawangkan matanya ke kejauhan di seberang ruangan. Dunant gak bego, batinnya. Dia 'ngerti cara melatih kucing. Dia 'ngerti menghadapi siapa yang membuatnya merasa terancam. Dia 'ngerti strategi.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUNANT
RomanceDunant itu nama orang. Bukan saudaranya Dunkin atau Donut. Dia cuma pake mulutnya untuk makan, minum, nangis, melenguh gak jelas macem ternak sampe usianya dewasa. Jadi intinya, ini bacaan dewasa. Karena akan menceritakan si Dunant pake mulutnya unt...