Matahari tidak diam menunggu di tempat yang sama. Terlihat perlahan namun pasti, sinar kemerahannya mulai turun ke ufuk barat.
Erica dan Dunant sudah berputar-putar untuk akhirnya bisa sampai ke Jalan Citatah di Cipatat. Setelah menempuh jarak sekitar 12-13 km, mereka tiba di tol Purbaleunyi. Erica sudah duduk di balik setir untuk menggantikan Dunant. Sementara Dunant hanya duduk diam sambil terus saja memandangi langit luas di sepanjang jalan tol yang dilewatinya bersama Erica. Matanya menerawang ke kejauhan.
Membuat Erica bertanya-tanya... apakah yang ada di dalam pikiran Dunant pada saat ini? Apakah Dunant bisa memiliki impian?
Dunant merasakan sesuatu yang membuatnya merasa berbeda. Ia sedang di dalam pelarian. Tetapi ia justru merasakan kalau dirinya sedang menuju ke sesuatu yang baru. Hidup yang baru. Ia memiliki Erica bersamanya...
Erica tersenyum sesekali, melihat bagaimana Dunant bereaksi terhadap hal-hal kecil di sekelilingnya. Lalu telepon genggam Dunant berbunyi. Dunant tampak terkejut sendiri. Karena hanya Jevan yang dianggap sebagai papanya, satu-satunya orang yang menghubungi dia lewat telepon genggamnya itu. Itu pun hanya melalui SMS. Karena Dunant tidak bisa menjawab, "Halo..."
Dan Jevan sudah almarhum.
Dunant merogoh telepon genggam dari saku celananya. Ia sudah melepaskan jaket tebalnya dan hanya mengenakan t-shirt ketat berwarna hijau, yang sudah terlihat memudar dan memiliki beberapa tambalan kecil di banyak bagian.
Dunant termangu, melihat nama yang muncul di layar teleponnya. Dunant menyodorkannya pada Erica dengan mata yang menyorot tajam. Erica tak sempat berlama-lama untuk mencari tahu, mengapa Dunant menatapnya seperti itu. Tetapi Erica langsung mengerti, saat menyambut sodoran dari Dunant dan melihat nama yang muncul pada layar telepon.
Alex.
Satu nama yang bisa membuat Dunant mendadak gusar atau blingsatan.
"Halo..." Erica memperdengarkan suaranya. Dan suara Alex pun langsung menyahutinya...
"Erica... jauhin tempat sepi. Kamu pergi ke Jakarta aja..."
"Apa?" Erica mengerenyitkan keningnya. "Kenapa kamu mikir... kalo aku sama Dunant, mau ke tempat sepi? Kami lagi menuju ke... Jakarta." Erica menahan lidahnya agar tidak membukakan informasi kepada siapapun. Termasuk kepada Alex.
Suara Alex sempat menghilang untuk beberapa saat. Lalu terdengar lagi...
"Aku udah minta Kang Asep balik, buat kerja lagi. Dia yang urus villa dan semua piaraan kamu. Tapi..." Alex terdengar sangat cemas. "Ada yang dateng ke villa..."
"Chamberlain?" Erica memicing.
"Bukan, Erica. Dia tinggi besar kayak Dunant. Kang Asep liat sendiri", sahut Alex dengan suara yang terdengar semakin cemas. "Dia pasti cari Dunant..."
"oh..." Erica menghela nafas panjangnya. "B'rarti dia masih hidup. Lega... Dunant 'gak bunuh siapa-siapa..."
Dunant menyipitkan matanya saat mendengar kalimat Erica yang terakhir. Ia menggelengkan kepalanya. Seolah mengiyakan, kalau ia tidak membunuh siapa-siapa. Belum, ia berpikir begitu. Tetapi ia akan melakukannya untuk bertahan hidup. Atau mempertahankan sesuatu yang penting baginya. Salah satunya, Erica...
"Alex", Erica membuka mulutnya lagi. Suaranya mulai terdengar berat, "Kamu tau banyak." Erica mengendus-endus. "Aku mencium... hm... sniff sniff... sesuatu." Mata Erica semakin menyipit.
"Erica..." Suara Alex terdengar melenguh. "Kenapa aku selalu dianggep jahat? Dan Dunant selalu dikasianin sama kamu?"
"Karna kamu jahat. Dan Dunant emang kasian", sahut Erica cepat. "Kalo kamu 'gak kasih info sama Chamberlain... pasti aku dan Dunant bisa tenang sekarang... udah hepi..."
KAMU SEDANG MEMBACA
DUNANT
Roman d'amourDunant itu nama orang. Bukan saudaranya Dunkin atau Donut. Dia cuma pake mulutnya untuk makan, minum, nangis, melenguh gak jelas macem ternak sampe usianya dewasa. Jadi intinya, ini bacaan dewasa. Karena akan menceritakan si Dunant pake mulutnya unt...