43. Sabarnya Kang Fikri

1.5K 182 12
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

****

Wajahku menatap Kang Fikri yang menghembuskan napas berat, dia tak kunjung membalas ucapanku. Malah beranjak dari duduknya lalu berjalan ke belakang kursi rodaku kemudian mendorongnya menuju kamar. "Kamu pasti sangat lelah, kita istirahat, nggih."

"Mas, aku ikhlas jika Mas menduakanku," ucapku kembali usai sampai dalam kamar.

Terlihat gerakan tangan Kang Fikri yang mengambil sesuatu dalam lemari terhenti. Membalikkan badannya lalu menghampiriku yang duduk di atas ranjang kemudian menempatkan dirinya duduk di depanku sembari menatapku sendu.

"Aku tidak menginginkan wanita selain kamu. Saat ini dan sampai napas ini terhenti, hanya kamu dan akan selalu kamu yang terikat hubungan pernikahan denganku."

Pejaman mataku yang menghalau sapuan air mata tak bisa menghentikan lajunya yang luruh usai mendengar ucapannya. Aku tergugu, menyandarkan tubuhku di dadanya lalu memeluknya erat yang dibalasnya dengan menautkan kedua tangan kokohnya di punggungku. Ya Allah, kesabaran macam apa yang Kang Fikri miliki? Menungguku membuka mata dan menerimaku yang tak lagi mampu berdiri tegak tanpa penyangga.

"Aku mencintaimu, Fan. Akan selalu seperti itu," sambungnya yang semakin membuat tangisku kian tergugu.

"Maaf, Mas. Aku hanya ingin njenengan diurus dengan baik oleh orang yang sempurna. Dan itu bukan aku."

Tautan tangan Kang Fikri yang sejak tadi melingkar di tubuhku semakin mengerat. Bahkan kurasakan gelengan kepalanya di atas bahuku. Cukup lama tubuh kami bertaut dengan tangisku yang tak kunjung surut.

Pelan Kang Fikri mengurai pelukan kami, mengusap bekas air mata yang ada di pipiku lalu mengulas senyum. "Ingat satu hal Cah Ayuku, jika sosok di hadapanmu ini tidak mampu membagi cintanya dengan wanita lain selain dirimu. Allah menghendakiku tidak mampu berbagi cinta, hanya ditakdirkan memiliki satu cinta pada pasangannya. Dan pasanganku kamu, Cah Ayuku, istriku, Al Fany Ramadhani."

Aku mengangguk, meraba wajah dengan sapuan jambang di hadapanku ini dengan senyuman. Dadaku lega, hatiku kembali mekar sempurna. Ternyata Allah begitu sayang padaku, menghadirkan sosok imam yang menerimaku dan sabar dengan keadaanku yang tidak lagi sama.

"Aku juga cinta njenengan, Mas. Maafkan aku."

Kang Fikri terkekeh pelan sambil mengusap air mataku yang kembali luruh dengan sorban putihnya di ranjang. "Mangkeh telas air matanya, Umi. Abah Ndak bisa isi ulang."

Aku turut terkekeh pelan. Menepuk lengan kokohnya yang terbalut kaos warna putih. "Njenengan selalu begitu, Gus."

"Halah, ajeg panggil aku gitu kalau suasana begini."

"Lha minta dipanggil gimana, mpun?"

"Sayang lah, Cah Ayuku."

Mungkin bagi sebagian orang hal ini cukup receh. Tapi, bagiku tidak ada istilah receh dari setiap apa yang Kang Fikri lakukan. Semua tentangnya sangat manis bagiku. Halal kan, aku berkata demikian.

Sepasang Hati (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang