بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA****
Hatiku gerimis seperti langit sore ini. Semua sudah gamblang. Aku tersenyum getir mengingat pertemuan tadi. Hal yang tidak sama sekali terlupa, bahwa dia adalah pria yang sudah mengambil hati dan meretakkannya.
Hari kian sore, aku harus pulang ke pondok segera. Tidak enak jika harus lagi-lagi meminta tolong Syifa mengijinkanku pada Mbak Nana.
Sebuah angkot berhenti di depanku, segera aku masuk angkot untuk menuju pondok yang kemungkinan menempuh waktu lumayan lama karena angkot berjalan pelan. Ketika sampai di pertigaan, dari arah berlawanan sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi. Semua penumpang berteriak ketika truk tersebut secara tiba-tiba membanting setir kearah angkot yang kami tumpangi.
Dentuman suara dua kendaraan beradu terdengar jelas. Aku seolah tak sadar, semua tubuhku terasa nyeri, mataku berkabut lantas lama kelamaan buram lalu semuanya menghitam. Ya Allah, apa yang terjadi?
Mataku terbuka, mendapati wanita paruh baya duduk di sisi ranjang tempatku berbaring. Ruangan bercat putih membingkai wajah teduh wanita paruh baya tadi. Dia tersenyum, mengusap jemariku lantas meraih sebuah gelas berisi air minum lalu diangsurkan padaku.
"Alhamdulillah sampean sudah sadar, diminum dulu airnya."
Kembali wanita paruh baya itu tersenyum. Mengusap puncak kepalaku lantas kembali duduk di posisinya.
"Terima kasih. Maaf sebelumnya, Ibu siapa?"
"Saya Khadijah. Sampean panggil saja Eyang Dijah."
Kepalaku tiba-tiba berdenyut nyeri. Apa yang sebenarnya terjadi tadi? Hanya suara dentuman dan pekikan suara orang yang kuingat. "Apa yang terjadi pada saya Eyang?"
"Kamu kecelakaan, Nduk. Tadi angkot yang kamu tumpangi tertabrak truk."
"Lalu, bagaimana kondisi penumpang lain?" Sekelebat bayangan sebuah truk yang melaju kencang hadir dalam benakku.
"Alhamdulillah semua selamat, hanya ada beberapa yang terluka cukup parah. Tapi sudah mendapatkan penanganan."
"Eyang yang bawa kamu kesini karena waktu kejadian itu kebetulan Eyang lewat dan melihat ada kecelakaan. Eyang ndak tega, ikut menolong dan akhirnya seperti yang sampean lihat sekarang, Nduk."
Eyang Dijah mengingatkanku pada almarhumah Uti Nikmah, ibu dari bapak. Tutur kata beliau lembut dan tatapan teduhnya mirip. Ya Allah, aku rindu Uti Nikmah.
Tanganku bergerak meraih tasku. Bergegas duduk lalu bangkit, pamit pada Eyang Dijah untuk pulang ke pondok. "Eyang, saya pulang dulu."
Tangan Eyang Dijah menahan tubuhku, membuatku kembali duduk di ranjang. "Lho, Nduk. Jangan pulang dulu, tunggu dokter periksa kamu baru setelah itu pulang."
Aku menggeleng, melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul enam, sudah masuk waktu maghrib tapi aku belum sholat maghrib dan harus segera pulang ke pondok.
"Saya belum sholat maghrib, Eyang. Saya juga harus pulang ke pondok. Ini sudah petang."
Eyang Dijah berdiri, membantuku turun dari ranjang rumah sakit. "Eyang temani, Eyang juga mau sholat nanti setelah itu kita tunggu dokter, ya. Sampean pulangnya sama Eyang saja."
"Tidak, Eyang. Saya malah merepotkan. Saya bisa pulang naik ojek."
Eyang Dijah menggeleng lantas tersenyum. Memapahku menuju mushola rumah sakit.
****
Disinilah aku berada, di dalam sebuah mobil duduk bersebelahan dengan Eyang Dijah. Kami mengobrol ketika dalam perjalanan menuju pondok. Eyang banyak bertanya tentang aktivitasku di pondok dan keseharian. Tidak ada rasa canggung, semua mengalir begitu saja. Sepertinya beliau tipe sosok yang mudah memposisikan diri ketika berbicara pada siapapun.
"Sudah sampai, Nduk. Yuk, turun. Sekalian saya mau sowan ke Ndalem. Kang, sampean tunggu sebentar ya," ucap Eyang Dijah padaku. Disambung berbicara pada pria bersarung yang duduk pada kursi kemudi.
"Njih, Bu Nyai." Sahut pria yang seketika membuatku terkejut. Aku baru sadar dengan panggilan itu. Apa Eyang Dijah istri seorang Kiai?
Eyang Dijah berjalan dengan menggandeng tanganku, menyelaraskan langkahnya denganku yang sedikit terseok.
Ketika sampai di depan teras ndalem jantungku memompa darah lebih cepat, berdegup kencang. Aku takut Abah Kiai marah padaku karena terlambat pulang.
"Alfa, Ya Allah. Mbak telepon kamu dari sore tadi, kenapa Ndak diangkat?" tanya mbak Nana ketika melihatku berdiri di depannya.
Eyang Dijah meraih tanganku. Membawaku kian merapat sembari memberi isyarat mengikuti mendekat ke Mbak Nana yang berdiri di teras Ndalem. "Alfa tadi mengalami kecelakaan. Tadi saya yang bawa dia kerumah sakit. "
"Innalilahi, ternyata itu alasannya. Maaf Bu Nyai. Saya ndak nglegewo kalau ada Njenengan," sahut Mbak Nana. Meraih tangan sosok wanita paruh baya yang berdiri di sampingku lantas mengecup punggung tangannya
Dugaanku benar, Eyang Dijah seorang istri dari Kiai. Rasanya tidak enak jika memanggil beliau Eyang. "Nyuwun Sewu, Bu Nyai. Saya tadi ndak tahu," ujarku.
"Ndak papa, Nduk. Panggil Eyang saja, Eyang lebih seneng kalau kamu manggilnya Eyang."
"Mbak Nana saya juga minta maaf. Tadi ponsel saya mati," ucapku membalas pertanyaan Mbak Nana tadi.
"Ndak papa. Dengan kamu dalam keadaan selamat dan tidak ada luka parah itu sudah cukup." Aku mengangguk.
Dalam hati berulang-ulang aku mengucap syukur. Mengingat kejadian tadi, kurasa Allah sangat sayang padaku. Mengingatkanku bahwa apapun yang terjadi itu atas kehendak-Nya dan Allah juga berkuasa menolong siapapun hamba-Nya.
Aku pamit setelah Bu Nyai Dijah berniat ingin berbicara pada Abah Kiai dan Mbak Nana secara pribadi. Aku tidak ingin mengganggu, tidak sopan jika ikut. Satu hal yang kutangkap, Bu nyai Dijah sempat menitikkan air mata ketika melihat Abah Kiai berjalan mendekat.
****
Teras masjid adalah tempatku beristirahat sesaat sebelum pulang. Sedikit menghilangkan bayangan suara bergetar Fany tadi. Takdir Allah mungkin menggariskan seperti inilah nasib cintaku. Apapun itu, semua pasti terbaik untukku pada akhirnya."Sampean langsung pulang, Gus?"
tanya wanita berparas cantik yang telah berdiri di depanku dengan posisi duduk bersimpuh.Senyumnya terus mengembang. Entah, aku merasa takut dengan keadaan ini. Aku takut dianggap memberi celah Ning Aida mendekat saat hatiku masih saja belum beranjak dari Fany.
"Saya langsung pulang, Ning. Sampean sudah dijemput sama kang Ibnu?"
"Sudah, Gus. Ehm,... boleh saya tanya sesuatu?"
Aku mengangguk, memberinya isyarat untuk berbicara.
"Apa masih berlaku tawaran sampean dulu tentang sebuah hubungan?" Ning Aida menunduk, seperti menyembunyikan sebuah semburat merah di pipinya karena malu.
Aku menghela napas. Apa ini sungguh Ning Aida? Seperti bukan dia. Setahuku dia adalah pribadi pemalu.
Kuberi senyuman padanya sebelum membalas. "Saya tidak bisa membalas sekarang dan menjanjikan apapun. Biar takdir Allah nanti yang berkata."
Bukan maksud memberi harapan palsu, aku hanya mengatakan kenyataan yang mungkin bisa terjadi suatu saat nanti. Untuk membuka hati, mungkin tidak sekarang. Sungguh, tidak ada getaran apapun ketika berhadapan dengannya lagi.
Mendengar jawabanku Ning Aida mengangguk. Memberi senyum tipis sebelum berjalan menjauh mendekati sebuah mobil warna silver.
Dalam mobil senyum Ning Aida sama sekali tidak memudar. Biarpun ucapan Gus Lana tadi memberi dua kemungkinan, tapi masih ada sebuah harapan.
"Ternyata saya sekarang sudah jatuh hati pada kamu, Gus."
🍃🍃🍃
Semarang, 9 April 2020
Revisi 1/4/21
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Hati (End)
SpiritualProses Revisi Spinoff My Future Gus, Aku berada di tempat ini untuk mencari ilmu, melupakan luka yang pernah tertoreh dahulu. Menggapai cinta yang sebenarnya, cinta pada sang pemilik setiap hembusan nafas. Namun ditengah kobaran semangat mencari ilm...