'Ikhlas ini tak butuh di balas, senyum saja sudah cukup membuat pengorbananku terasa berharga.'
________Suasana hangat terasa diantara beberapa pasang mata yang tengah duduk di ruang tamu. Sepasang suami istri paruh baya tersenyum simpul melihat betapa hangat keluarga di hadapannya. Hati pasangan tersebut seolah tercubit, mendorong mereka pada memori kejadian puluhan tahun silam. Rasanya tidak karuan bila mengingat putra mereka yang menghilang karena sebuah kesalahpahaman yang berujung fitnah.
Wanita dengan wajah penuh lipatan keriput mengusap tangan suaminya pelan, menekan rindu pada putranya yang kian hari menjulang. Jika boleh meminta, pasti mengulang waktu dan menghapus perlakuan tidak menyenangkan pada putra mereka yang dilakukan. Tapi semua sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur. Entah dimana putra mereka berada, yang pasti harapan kembali berjumpa masih kuat. Meski puluhan tahun menghilang.
"Melihat kalian, saya jadi teringat putra saya. Pasti dia sudah memiliki anak sebesar Gus Lana. Cucu kami pasti tampan, atau mungkin cantik," ucap wanita paruh baya dengan wajah sendu usai melihat Gus Lana mohon diri dari ruang tamu. Mengikis pilu dengan memberikan senyum pada akhirnya.
Pria paruh baya di sampingnya menggeleng lemah. Menatap sang istri seolah menyiratkan makna untuk bersabar. "Insya Allah, kita pasti bertemu." Singkat, balas pria paruh baya itu. Meski berusaha menguatkan sang istri, dari lubuk hatinya juga merasakan hal serupa. Begitu rindu pada putra semata wayangnya.
Semua orang begitu menghormati mereka, begitu segan. Tapi bagi mereka itu tidak berarti karena kesalahan dan ketidakadilan tanpa sengaja telah mereka lakukan pada putra mereka sendiri. Apalah arti penghormatan itu semua, jika anak mereka sendiri telah mendapat ketidakadilan. Jika orang lain tahu kemelut yang pernah melanda keluarga kecil pasangan paruh baya itu, apakah mereka akan tetap segan?
Allah maha baik, menutup prahara itu puluhan tahun hingga tersimpan rapi. Bahkan tidak terjamah orang sedikitpun. Tapi hati pasangan itu yang rapuh, akhirnya meminta bantuan pada santrinya untuk membantu mempertemukan kembali pada putra mereka.
"Pak Kiai, insya Allah dalem akan bantu semampunya," balas Kiai Ghofur pada sang guru.
Ning Nana yang duduk di samping sang suami dan Abahnya turut iba. Bagaimana hati orang tua yang ditinggal puluhan tahun oleh anaknya? pasti sangat sedih. Semoga anak Kiai Hasan dan Bu Nyai Khadijah segera ditemukan.
*****
Suara obrolan para santri membuyarkan konsentrasiku. Lembar jawaban muridku yang tengah kukoreksi kembali kurapikan, meletakkan dalam map lantas kusimpan di lemari khusus milikku di kamar. Obrolan mereka tak kunjung usai, lama membahas sosok pria yang kembali dari pondok lain. Siapa lagi kalau bukan Gus Lana. Ketika melewati jajaran santri tak henti-hentinya mereka membicarakan banyak hal tentang anak pengasuh kami itu. Pria rupawan dengan kulit tidak terlalu putih, berahang kokoh. Sebut mereka.Tak ada niatan untuk ikut andil dalam perbincangan itu. Rasanya seperti mengulang masa-masa mondok di pesantren milik Gus Amir. Selalu saja ada obrolan para santri tentang dosenku itu.
"Mbak, bisa ikut aku sebentar?" Suara Syifa tiba-tiba membuatku tersentak. Terlalu jauh sepertinya aku kembali berkelana pada masa lalu, sampai tak menyadari telah berada di depan kantor kunjungan keluarga santri putri.
Kulihat Syifa masih berdiri di hadapanku. Lebih tepatnya menunggu balasanku. Aku mengangguk singkat, mengikutinya berjalan dengan lutut lalu berhenti di depan sosok pria bermata sipit yang beberapa waktu lalu baru saja melamar Syifa. Tak ada tegur sapa, Syifa memberikan kesempatan kami berbicara berdua namun dia tetap berada dalam jangkauan kami.
"Terimakasih, rasanya lega setelah keputusan ini kuambil."
Aku mengangguk pelan. "Jalan takdir Allah memang indah. Kita dipertemukan untuk sebuah ukhwah Islamiyyah." Kuberikan senyuman simpul padanya. Kali ini benar-benar tulus tanpa beban rasa.
"Selamat, David," sambungku.
"Alhamdulillah, Allah memberikan nikmat besar padaku, Fan. Maaf, atas harapan kosong yang telah kuberikan dan hati yang harus berkorban demi kami. "
"Tak ada yang salah dalam hal ini. Jadi, tidak ada yang perlu dimaafkan."
David tersenyum. "Aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu, Fany."
"Ikhlas ini tak butuh di balas, senyum saja sudah cukup membuat pengorbananku terasa berharga."
Setelah obrolan kami usai, kupanggil syifa untuk mendekat. Memberi celah mereka berbicara di antara beberapa wali santri yang turut duduk mengunjungi kerabat mereka tak jauh dari tempat Syifa dan David. Memastikan dua insan itu tidak hanya berdua saja.
****
Satu panggilan masuk dari gawai berhasil membuat bibirku mengembang. Kontak Bunda tertera di sana, segera kuangkat tanpa berpikir panjang. Pertama kali terdengar saat panggilan tersambung adalah suara isakan dan hamdallah yang berulang-ulang Bunda ucapkan. Bunda bercerita, mengenai Ahmad yang sekarang sudah mulai bertambah hafalan Alqurannya, bahkan Bunda juga mengabarkan bahwa Ayah sudah bisa menyewa sebuah lapak kecil untuk usaha bengkel yang tengah digeluti.Rasanya tak sabar menunggu hari Ahad, tepat aku meminta ijin pulang untuk acara pernikahan anak sulung Bude Hartati. Aku ingin berjumpa Ayah dan Bunda, segera memeluk mereka serta Ahmad tentunya.
Suara Bunda kini berganti dengan suara Ayah. Air mataku tak henti-hentinya mengalir ketika Ayah bercerita bagaimana bisa mendapat pinjaman modal dari teman lamanya ketika dulu nyantri. Pertemuan tak terduga, katanya.
"Nduk, Ayah boleh ngomong sesuatu?"
Kuseka sisa air mata di pipi, menunggu kelanjutan kalimat Ayah usai kata 'iya' kuberikan.
"Apakah kamu sudah punya calon suami pilihan? jika belum, Ayah ingin pilihkan kamu seorang pria yang baik. Dia anak dari teman Ayah yang telah baik hati memberikan pinjaman modal."
Salivaku tercekat di kerongkongan. Rasanya berat menjawab pertanyaan Ayah ini. Terlebih baru saja tadi ada sosok pria yang telah menawarkan ikatan pernikahan padaku. Apa yang harus aku lakukan?
Versi lengkap ada di KBM app
****
Mulai bosen sama cerita ini?
Masih mau lanjut?
Atau mau cepet ending?Semarang 1 Juni 2020
Revisi 1/4/21

KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Hati (End)
SpirituellesProses Revisi Spinoff My Future Gus, Aku berada di tempat ini untuk mencari ilmu, melupakan luka yang pernah tertoreh dahulu. Menggapai cinta yang sebenarnya, cinta pada sang pemilik setiap hembusan nafas. Namun ditengah kobaran semangat mencari ilm...