30. Tidak Sekufu

2.2K 240 24
                                    

'Aku tahu baiknya setara, hanya jalan takdir berlaku tidak demikian.'
______________

Acara walimatul ursy yang kukira hanya mengundang tak banyak orang, ternyata ramai tamu. Rimbunan orang berbaris hendak mengucapkan selamat pada kami.

Senyumku merekah, menatap wanita berhijab maron mendekat. Tak lupa dengan pasangannya yang menggendong jagoan kecil mereka. Nadya tampak sumringah, membawaku dalam pelukan saat tiba gilirannya mengucapkan selamat di pelaminan.

"Alhamdulillah, akhirnya sah secara hukum juga. Semoga cepet nyusul punya buntut," sahutnya dengan kekehan. Mengurai pelukan seraya mencubit gemas pipiku.

"Aww! Sakit!! Nadya kumat usilnya." Aku melepas paksa jarinya pada pipiku. "Mas suami, Nadya nakal," aduku pada kang Fikri. Hanya dibalasnya dengan kekehan.

Nadya menjulurkan lidah, mengejek karena aduanku hanya dibalas Kang Fikri dengan kekehan. "Kang Fikri gak belain kamu, kasihan." Mau nesu tapi ndak bisa, situasi dan kondisi tidak memungkinkan. Tidak berniat juga membalas ucapan Nadya, hingga Gus Fauzan meminta Nadya untuk segera turun dari pelaminan karena barisan di belakangnya sudah tak sabar ingin mengucapkan selamat pada kami juga.

Kembali senyumku merekah, melihat pasangan yang berjalan pelan menuju kami. Melambaikan satu tangan dengan tangan lain memegang tubuh bocah dalam gendongannya. Makhluk kecil yang beberapa hari lalu membuatku bingung dengan ucapannya.

"Barokallah, Fany. Semoga segera diberi momongan," ujar Fia dengan tangan menggandeng makhluk kecil berpakaian serupa dengan Gus Amir. Tak ketinggalan pula bocah dengan balutan hijab dalam gendongan Gus Amir. Turut mengamiinkan ucapan uminya yang  mendoakan kami segera mendapatkan momongan dengan telapak tangan mungil berulang kali mengusap wajah sembari mengucap aamiin cukup kencang, dilakukan juga pada ucapan kembarannya. Mereka serupa, saling melengkapi.

Kami juga berharap ingin segera diberikan momongan. Semoga secepatnya.

"Ante Fany, nanti dedeknya dados adeknya Zaki sama Dek Kia." Kalimat itu lagi, kian membingungkan. Mengangguk saja, menyenangkan hati bocah kembar yang kompak memberi doa serta mengaminkan. 

Usai pasangan itu turun, Kang Fikri berbisik lirih padaku. " Tidak usah terlalu mikir ucapan Zaki dan Zakia. Ucapannya bukan porsi kita." Mengangguk paham, mengingat bahwa kedua bocah itu dzurriyah orang alim dengan kelebihan.

Tanganku meraih gelas berisikan air minum, menyesap setengah. Meletakkan pada meja kecil sisi kanan tempat duduk.

Kuedarkan pandangan ke arah  sekeliling pelaminan. Tampak para tamu sudah berangsur pulang, menilik jam tangan Kang Fikri yang ditinggalnya sebelum menemui kawannya telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Menghela napas berat sebab mulai dilanda kantuk.

Ketika berjalan hendak mengambil segelas kopi di stand khusus berbagai minuman, pendengaranku menangkap sebuah ucapan kurang enak. Menatap dalam beberapa santri dengan hijab motif bunga membicarakanku. Bahkan saat kakiku menapak di sampingnya. Mereka seolah tidak menganggap, masih meneruskan kalimat pahit itu tanpa memikirkan keberadaanku.

Mengabaikan ucapan itu, segera mengambil apa yang kuingin lalu kembali ke posisi semula. Pelan, berjalan dengan wajah sendu menuju Kang Fikri yang memasang senyum sempurna.

"Sayang, para tamu sudah pulang. Saatnya kita istirahat," ujarnya seraya mengambil gelas kopi milikku, menyerahkan pada petugas kebersihan. Menuntunku ke ndalem. Masuk ke dalam bilik dengan dominan cat abu-abu terang.

"Kamu kenapa?" tanyanya. Dengan alis bertaut seolah dia merasa ada yang berbeda dariku. Mungkin sadar akan perubahanku sebab hanya diam saja sejak kembali ke kamar.

Sepasang Hati (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang