26. Berkunjung

2K 260 41
                                    

Dengan langkah mengendap-endap aku berjalan menuju mobil yang terparkir di depan ndalem. Memantau situasi, menunggu sepi baru berani mendekati kendaraan roda empat itu.

Menghela napas usai berhasil mendaratkan pantat pada jog depan di samping pria berkulit sawo matang. Siapa lagi kalau bukan Kang Fikri. Masih canggung saja memanggilnya dengan panggilan lain, meski pada kenyataannya panggilan 'Mas' yang sama diberikan Fia pada Gus Amir juga kusematkan padanya.

"Kenapa masih mau kucing-kucingan? Repot sendiri kan." Memang aku memilih merahasiakan stausku ini menunggu satu minggu ke depan yang akan digelar akad ulang serta urusan surat pernikahan agar resmi dimata negara pula.

Pingin balas ucapannya tadi tapi malas berdebat. Kalian tahu kan jika kata mengalah sulit tercapai antara aku dan sosok di sampingku jika sudah beradu mulut.

"Kita cari toko baju dulu, aku mau beli sarung atau rok baru buat kamu." Aku menggeleng. Yang benar saja mau berhenti di toko saat posisi kami masih cukup dekat dengan pondok. Tidak, aku tidak mau.

"Ndak, pakai ini mawon."

"Sarung punyamu itu belum ganti dari kemarin, aku ndak mau punya istri jorok." Aku berdecak. Salah sendiri, aku mau balik ke pondok dilarang.

"Pokoknya ndak mau ganti. Ini masih bersih, masih harum," selaku sembari mencium baju yang kukenakan. Sebelum bibirnya kembali bergerak untuk mengucapkan kalimat bantahan.

"Fany, kita mau ke Gus Amir lho. Yakin kamu mau pakai sarung dari kemarin yang belum ganti?" Pingin nyubit orang ini. Kenapa baru ngomong sekarang?

"Kok baru kasih tau kalau mau ke Fia. Tau gitu tadi ambil gamis dulu ke pondok."

"Gamis, ya. Ok kita mampir toko buat beli," ujarnya. Aku hanya diam dan menurut pada akhirnya.

Tiba-tiba kulihat tangan kirinya meraih sesuatu dari jog belakang. Memberikan bungkusan plastik padaku.

"Ini apa?" Tak ada balasan. Dengan isyarat dia memintaku membukanya.

Alangkah terkejutnya aku, dari dalam bungkusan aku dapatkan sebuah hijab warna pastel. Hijab yang menjadi awal mula pertemuanku dengannya kala itu.

"Gus, ..."

"Aku ndak kenal," ucapnya. Aku terkekeh, tau jika dia tidak suka kalau kupanggil dengan panggilan itu.

"Mas, njenengan menyimpan ini? Sejak kapan?"

Kupandang wajahnya. Wajah yang tengah fokus menatap  jalanan. Tak urung dia mengukir senyum saat menyadari menjadi objek pandangku. "Iya. Beberapa bulan lalu saat berjumpa dengan Fatimah."

Ingatanku kembali dibuat mundur pada pertemuanku dengan Fatimah Bebe hari lalu serta ingatan ketika Fatimah yang tiba-tiba menangis ketika menghubungiku karena merasa bersalah telah memberikan hijab itu pada Kang Fikri. Semuanya ternyata menjadi jalanku dipertemukan kembali dengannya.

Sosok itu mengusap tanganku dengan sebelah tangannya yang bebas dari kemudi mobil. Membawa tanganku menuju bibir dengan candu disana.

Aku diam, tersenyum tipis. Menyadari hatiku kembali bergetar hebat karena perlakuannya.

****
"Alhamdulillah pengantin baru akhirnya main kesini." Kuremas jemari Fia. Kali pertama aku kemari bersama Kang Fikri dengan status baru pula.

"Fia, udah. Aku malu," ucapku. Meminta Fia mengentikan ucapannya yang hendak menggodaku lebih.

Fia mempersilakan kami masuk, duduk di sofa ruang tamu yang masih saja tampak sederhana seperti dulu.

Ukiran kayu di pintu masih sama, menandakan pintu itu belum ganti sejak dulu. Jajaran lemari penuh kitab masih sama juga posisinya seperti dulu. Rasanya seakan mengulang masa lalu ketika pertama kali datang kemari.

Sepasang Hati (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang