بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***'Ada kebaikan yang tertunda balasannya. Tapi yakinlah, Allah selalu membalas kebaikan dengan kebaikan, memberikan di waktu yang tepat.'
_______Dengan bantuan Kang Fikri kakiku melangkah pelan serta hati-hati. Satu langkah demi langkah berikutnya berhasil kulakukan hingga terapi yang kujalani usai. Mataku menghangat melihat senyum mengembang dari bibir pria itu.
"Mas, terima kasih. Terima kasih sudah menjadi sosok yang begitu sabar padaku," ucapku dengan tersenyum sambil berjalan seraya menggerakkan tongkatku pelan.
Kang Fikri menghentikan langkahnya, merangkul punggungku lalu menggiring menuju tempat duduk yang ada tak jauh dari tempat terapi tadi. Dengan hati-hati dia mendudukkanku, menyandarkan tongkat di dinding. Mengusap punggung tanganku lembut hingga membuatku menatapnya lekat. Netra kami saling beradu.
Suasana sekeliling kami cukup sepi. Hanya ada beberapa perawat dan pasien serta dokter yang lewat. Beberapa kali mengangguk kecil ketika sapaan datang pada kami. Maklum saja, kami cukup akrab dengan beberapa dokter dan perawat di sini.
"Allah begitu sayang pada kita, Fan. Menganugerahi kita ujian dan dari situlah membuat kita menjadi hamba yang sabar." Aku tersenyum, mengaitkan jariku di sela jari besar suamiku ini. Memberikan genggaman erat dengan kedua sudut bibir yang masih tertarik ke atas.
"Kenapa begitu luar biasa penerimaanmu padaku, Mas? Bahkan jika njenengan melirik salah seorang anak dari Kiai yang masih gadis, bukan hal sulit untuk menjadikannya istri kedua ketika saat itu aku masih koma."
Kang Fikri merangkulku dengan tangan lain yang terbebas. Mengikis jarak kami hingga kurasakan tubuh kami berbenturan dengan penghalang kain baju yang kami kenakan. Kulihat dia menghadapkan wajahnya hingga tepat sejajar dengan wajahku. Sorot matanya begitu fokus padaku, seolah memastikan pandangan kami masih bertemu.
"Karena aku tidak menginginkan yang lain. Yang kuinginkan adalah istriku segera membuka mata, menyudahi tidur panjangnya." Kang Fikri menampakkan senyum tipis dengan tatapan sendu. "Sama sekali dalam benakku tidak terlintas untuk menduakanmu, bahkan meski takdir menghendaki garis kehidupanmu dicukupkan. Meninggalkanku dan Malik." Di akhir kalimatnya terucap sangat lirih.
Netraku basah, mendongak dengan tangis tak tertahan. Tak ada kalimat yang berhasil terucap, bibirku kelu. Tanganku langsung merengkuh tubuh Kang Fikri dengan kuat. Cukup lama kami dalam posisi itu hingga kurasakan dia perlahan melepas pelukanku. Menatapku lekat.
"Sudah nangisnya?" Aku mengangguk lalu meminta segera beranjak untuk pulang.
Dua bulan tepatnya setelah acara reuni malam itu, aku memutuskan menjalani terapi. Awalnya sempat menolak, tapi setelah seluruh keluarga turut membujuk hingga akhirnya membuatku mau.
Urusan biaya, ternyata jauh hari Kang Fikri sudah mempersiapkan dan Alhamdulillah usaha baru Kang Fikri di sablon cukup berkembang. Membuatku tak lagi merasa Kang Fikri terbebani dengan biaya terapi yang nantinya kujalani. Yang paling membuatku terharu adalah ketika aku pertama kali mengangguk setuju, Malik dengan tangisan memelukku erat. Membisikkan sesuatu yang mengundang tangisku luruh juga. Pria kecilku itu mengatakan, jika Uminya ini kesusahan berdiri maka dialah yang akan membantu untuk berdiri tegak, menjadi penyangga agar tidak terjatuh.
Ini kali ke lima aku menjalani terapi dan Alhamdulillah sudah cukup membuahkan hasil yang memuaskan. Tidak perlu lagi menggunakan kursi roda, karena sekarang aku sudah bisa berjalan meski dengan bantuan tongkat penyangga. Membuat bibirku tak henti-hentinya mengucap syukur atas nikmat Allah yang tak terhingga ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Hati (End)
SpirituellesProses Revisi Spinoff My Future Gus, Aku berada di tempat ini untuk mencari ilmu, melupakan luka yang pernah tertoreh dahulu. Menggapai cinta yang sebenarnya, cinta pada sang pemilik setiap hembusan nafas. Namun ditengah kobaran semangat mencari ilm...