بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA****
'Allah ciptakan setiap makhluk berpasang-pasangan, tapi bukan berarti membuat kita mengkhianati iman kita pada Allah'
_____________
Dari wajah, nampak Fia mulai gelisah. Akhirnya ia mendekati dua pria dewasa itu seraya berucap, "Madrasah Ibtidaiyah dekat pasar, dua kecamatan dari sini, arah utara." Fia tahu persis dimana temannya itu setiap hari berada. Tidak memberitahu tempat tinggal sahabatnya itu, cukup memberitahu tempat Fany mengais rupiah.
Kang Fikri yang awalnya tertunduk mengangkat wajahnya dengan manik mata berbinar. Memandang Gus Amir sekilas yang mengangguk, membenarkan ucapan istrinya.
"Maaf hanya informasi itu. Saya tidak bisa memberitahu lebih."
"Tidak apa, Ning. Itu sudah cukup membantu." Setelah ini tentu Kang Fikri tidak akan menyiakan petunjuk yang baru dia dapatkan. Binar di matanya itu telah kembali setelah sebelumnya sempat redup. Menampakkan semangat mencari pujaan hatinya.
"Tapi berjanjilah, hanya menemuinya saja. Tidak mencari tahu dimana dia tinggal." Ingat Fia. Tidak mau mencederai kepercayaan Fany padanya.
Dahi Kang Fikri mengernyit. Tidak mengerti maksud Ning Fia. Seolah tidak terima, tapi terpaksa menyetujui. "Kenapa?"
"Bukan sekarang waktunya," balas Gus Amir sembari menepuk pundak sahabatnya itu.
****
Sinar mentari kian terik, menusuk kulit wanita berhijab abu dengan seragam batik. Kakinya masih setia melangkah hingga sampai pada tujuannya. Sebuah tempat yang ramai dengan jajaran kios pedagang.
Setiap pulang mengajar, dia selalu menyempatkan diri membeli benang rajut. Mengais tambahan rupiah dengan membuat kerajinan rajut yang sudah cukup lama ditekuni. Jika ditanya mengapa, maka jawabannya adalah untuk meringankan beban orang tua yang tak hanya menanggung biayanya saja. Meski tak menampik jika dia juga berpenghasilan walau tidak begitu banyak dari mengajar, karena dia hanya tenaga pengajar honorer.
Apapun dilakukan dengan ikhlas, semua akan ada masanya menuai manisnya sabar yang dilakukan.
Cukup lama dia berkeliling pasar namun tak kunjung mendapatkan yang dicari. Dia mengembuskan napas panjang, menengok segala arah mencari toko penjual benang rajut. Tidak tahu kenapa, hari ini beberapa toko langganannya yang menjual benang rajut tutup. Mencari ke toko lain, tapi tidak mendapatkan benang yang dia inginkan.
Tanpa sadar cukup lama dirinya diikuti oleh seorang pria. Dari jarak jauh pria itu mengamati apa yang dilakukan wanita itu. Sesekali berjalan lebih dekat untuk melihatnya dengan jelas. Menuntaskan penasaran.
Katakan saja pria itu pengecut. Dihadapkan langsung pada wanita itu, tiba-tiba jantungnya berdegup tak menentu, kehilangan kalimat indah yang akan diucapkan padanya.
Pria itu mendekati seorang wanita paruh baya, bertanya tentang apa yang dicari wanita tadi. Ia sempat melihat wanita berhijab abu itu bertanya pada wanita paruh baya di depannya ini.
"Mbaknya tadi cari benang rajut, Mas. Biasanya beli di toko ujung sana, tapi tutup karena pemiliknya pulang kampung." Mendengar penuturan wanita paruh baya tadi, pria itu menundukkan kepala. Berterima kasih lalu menyungging senyum hingga matanya hanya terlihat segaris.
Pria itu adalah David. Pria yang tanpa sengaja bertemu dengan Fany beberapa hari yang lalu. Entah, memang takdir menuntunnya kembali bertemu Fany, melihatnya berjalan memasuki pasar tradisional. David yang saat itu berada di dalam mobil bergegas turun karena rasa penasaran. Mengikuti Fany dari belakang dengan jarak cukup jauh.
Tak menyangka cukup lama dia berdiam di dekat wanita paruh baya itu, bahkan tidak menyadari Fany telah pergi dari tempatnya tadi. Segera kakinya berjalan cepat, menembus kerumunan orang yang membuatnya kehilangan jejak.
Menengok ke segala arah dengan mata sipitnya hingga menangkap objek pencariannya. Melihat Fany berdiri dengan kepala menunduk dalam setelah melihat sesuatu dari jauh. Tangannya bergerak memilin ujung hijab yang dikenakan. Cukup lama di posisi itu hingga tangannya terangkat untuk mengusap kedua matanya yang basah dengan cepat. Menghilangkan jejak kerapuhan.
David sudah tak tahan lagi, dia berjalan menghampiri Fany yang menggumam nama seorang pria. Sangat lirih namun dapat terdengar olehnya yang sudah berdiri di belakang Fany.
"Membuang air mata percuma, Nona." Fany menoleh, menatap sekilas pria berkulit putih yang berdiri tepat di belakangnya lalu kembali menunduk. Dengan gerakan cepat, dia maju beberapa langkah memberi jarak dangan pria itu.
"Maaf, saya duluan. Permisi," ucap Fany sopan meski tanpa menoleh ke belakang. Berjalan cepat meninggalkan pria bermata sipit itu.
Tak mau kembali kehilangan jejak, David kembali mengikuti Fany. Dia baru saja menemukan sesuatu yang berbeda pada hatinya kala berada di dekat Fany, maka tidak akan dilepaskan begitu saja. Cukup sekali menyesal, tidak ingin terulang lagi.
David menyejajarkan langkahnya. "Lupakan Fikri, menikahlah dengan saya," lirih pria itu berucap dari samping, namun terdengar jelas oleh Fany. Sontak saja Fany menghentikan langkahnya, bergeming. Mengerjapkan mata berulang kali dengan hati dan pikiran tak keruan.
Tanpa melihat efek ucapannya tadi, David kembali mengulang kalimat yang sama, namun kali ini berani berdiri di hadapan Fany yang masih mematung.
****
Benar, tadi Fany memang melihat Kang Fikri. Dengan sarung hitam favoritnya berjalan menuju sebuah toko kelontong yang ada tak jauh dari tempatnya berdiri. Air matanya tiba-tiba mengalir, mengingat kembali kilasan masa lalu. Tapi kembali lagi, dia harus menata hati untuk mengikhlaskan apa yang sudah menjadi bagian hidup orang lain. Dia harus beranjak dari masa lalu. Menyakitkan jika kembali menelan kecewa.Disaat kucuran air matanya dia hentikan paksa, dia tak menyangka ada pria yang beberapa hari lalu mengusik pikirannya tiba-tiba muncul. Awalnya berbicara basa-basi, tapi setelah dia pamit tiba-tiba ucapan lirih pria itu mengganggu. Jantungnya bekerja tak wajar hingga membuat aliran darahnya berhenti sesaat.
Pinangan, dokter David meminangnya. Bahkan dia dengan berani dan tegas kembali mengulang kalimat itu dengan posisi berdiri tepat di depannya.
Fany dibuat bingung, pikiran dan hatinya berlawanan. Satu sisi dirasa itu peluang meninggalkan masa lalu, di sisi lain merasa takut kalau nanti hatinya tidak konsisten dengan keputusannya. Fany menutup matanya, menarik napas dalam-dalam. Menguntai kata menjadi kalimat untuk membalas David. "Saya tidak bisa. Allah jadikan setiap makhluk berpasang-pasangan. Tapi maaf, pasangan dokter bukan saya." Akhirnya keputusan menolak yang diambil.
"Kenapa?"
"Tanpa saya menjelaskan, dokter pasti tahu jawabannya." Fany mulai tak nyaman dengan situasi ini. Dia kembali melanjutkan langkahnya. Tidak peduli tanggapan apapun dari David karena itulah keputusan yang terbaik bagi mereka. Meninggalkan David yang tersenyum miring mendengar penolakan Fany.
"Ya, saya tahu alasan wanita muslimah seperti kalian. Dan itu semakin membuat saya yakin dengan keputusan saya memeluk agama islam secepatnya," gumam David meski Fany tidak mungkin mendengarnya.
🍃🍃🍃
Selasa
Semarang, 21 Januari 2020Revisi 30/3/21
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Hati (End)
SpiritualProses Revisi Spinoff My Future Gus, Aku berada di tempat ini untuk mencari ilmu, melupakan luka yang pernah tertoreh dahulu. Menggapai cinta yang sebenarnya, cinta pada sang pemilik setiap hembusan nafas. Namun ditengah kobaran semangat mencari ilm...