37. Sangkaan Kang Fikri

1.8K 233 10
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

***

Cukup lama aku duduk di hamparan karpet ruang tengah, memikirkan banyak hal hingga membuatku melamun. Tidak menyadari ndalem yang sudah tidak ada penghuni hingga lamunanku teralih usai mendengar suara Kang Fikri dari corong masjid yang tengah mengisi kajian kitab klasik karya Az zarnuji, kitab ta'lim muta'allim ba'da ashar, menjelaskan bab niat ketika belajar. Tentang niat belajar untuk mencari ridho Allah.

Hatiku menghangat, mengulas senyum simpul sembari berjalan keluar ndalem menuju masjid pondok. Duduk di pelataran masjid bagian santri putri, ikut mengikuti kajian. Cukup lama, kembali hanyut dalam suasana tholabul ilm yang beberapa pekan ini tidak kuikuti.

Senyuman merekah Kang Fikri berikan padaku. Berjalan pelan mendekat usai rimbunan santri telah meninggalkan masjid. Mengulurkan tangan, mengusap puncak kepalaku.

"Ndak ikut Eyang Putri ke rumah Bude?" Aku menggeleng pelan. "Nanti kan kesana waktu pada kumpul di rumah Ayah aja, Mas." Sejak kemarin Eyang Putri tak henti-hentinya bersemangat mengunjungi keluarga dari Uti Nikmah yang tinggal di sekitar rumahku.

Kupikir mungkin beliau berniat mengucapkan terima kasih karena telah menerima Ayah dengan baik dan menghabiskan waktu sebelum akhir pekan mengurus kepindahan Ayah, bunda serta Ahmad ke rumah beliau di Pekalongan. Bahkan Eyang Kung akhirnya memilih pulang lebih dulu bersama santrinya dan membiarkan Eyang Putri pulang bersama Ayahku.

"Mas, jangan beri hukuman untuk santri senior itu, ya." Tak ada balasan, malah Kang Fikri menuntunku duduk di kursi taman ndalem. Menempatkan dirinya di sampingku sembari mengangsurkan botol minuman yang sebelumnya diambil dari teras ndalem.

Hening masih mengisi, aku tidak berniat menyambung kalimat sebelumnya. Memilih menunggunya membalas. Terdengar Kang Fikri menghela napas singkat. Mengalihkan wajahnya dari memandang lurus menjadi menatapku.

"Tidak ada hukuman, hanya memberikan sedikit masukan pada bagian keamanan untuk meminta membuat sebuah aturan baru."

Mataku mengerjap. "Aturan baru?" Dia mengangguk sekilas.

"Ada baiknya merevisi aturan dan memberi penambahan yang dirasa kurang tepat untuk sekarang. Memberikan aturan baru yang lebih sesuai. Insyaallah akan lebih baik lagi. Menjadi pelajaran setiap santri untuk menjaga tutur kata dan akhlaknya pada sesama," jelas Kang Fikri.

"Tapi Mas beneran Ndak kasih hukuman untuk mereka, kan?"

Kang Fikri menggeleng. "Semoga menjadi pelajaran berharga bagi semua, tidak mudah menjatuhkan tuduhan yang dialamatkan kepada orang lain tanpa bukti dengan adanya aturan baru itu."

Sedikit takut sebenarnya saat pertama kali mendengar dia memanggil jajaran santri pengurus putri untuk berkumpul di pelataran ndalem sebelah utara. Ternyata dia membicarakan masalah peraturan yang dirasa perlu dirubah. Bukan masalah tuduhan dari santri senior padaku. Malah yang kudengar santri tersebut datang langsung ke ndalem, berniat mencariku untuk meminta maaf tapi malah berakhir dengan menemui Kang Fikri dan memohon maaf atas ucapannya padaku karena saat itu aku sedang keluar ndalem menemani Bunda dan Mbak Nana membeli oleh-oleh yang akan dibawakan pada Eyang Kung.

"Semua sudah selesai. Jangan bersedih lagi ya, aku tidak bisa melihatmu menangis seperti beberapa waktu lalu." Kuraih tangan kanannya, memberi kecupan singkat di punggung tangan kokoh miliknya.

"Terima kasih, Mas. Jikapun mereka tetap menganggapku begitu, aku akan menerima dengan hati yang lebih lapang. Semua prasangka manusia tidak bisa kita kendalikan, hanya berupaya sebaik mungkin tanpa membuat yang lain dirugikan itu sudah cukup."

Arti dari sebuah kesabaran adalah ketika tidak menemukan amarah saat mendapat sebuah masalah, memilih memasrahkan pada Allah atas semua yang digariskan.

Tanganku meraba sisi kanan kursi tempat kami duduk. Tanpa sengaja menemukan sebuah foto kecil terselip diantara ruas kayu yang dibuat kursi. Melayangkan senyum simpul sembari menunjukkan foto itu padanya.

"Sebegitu rindunya njenengan dengan wanita di foto ini, Mas?" Mata Kang membulat, lalu dengan cepat mengalihkan pandangan ke arah lain sembari menggaruk tengkuknya. Tampak salah tingkah.

Foto hitam putih berukuran kecil dengan gambar seorang wanita yang duduk di kursi kayu di bawah pohon mangga dengan hijab yang beterbangan sambil memejamkan mata.

Foto dengan warna hitam putih itu layaknya foto keluaran lama. Saat itu sebenarnya aku tidak sendirian, ada Fia di sana tapi dalam foto itu jelas seperti di pangkas. Teringat jelas saat itu aku dan Fia tengah menikmati rujak.

"Wanita itulah penyebab aku belum menikah hingga beberapa tahun lalu. Selalu membayangi dalam tidur." Aku tak tahan untuk tertawa usai mendengarkan penjelasannya.

"Kenapa menungguku, Mas? Belum tentu juga kita berjodoh," balasku dengan sedikit gurauan.

Betapa gelinya aku dengannya, menyimpan fotoku berwarna hitam putih dengan tulisan kecil namaku di balik foto tersebut. Aku yakin foto itu ada usai kejadian memalukan antara aku dan dia.

"Kalau bisa cari yang lain pasti sudah punya anak. Tapi lagi-lagi mimpi datang usai istikharah panjang dan memberiku keyakinan kuat jika aku harus menunggumu." Kupandang sekeliling, dirasa kondisi sekitar sepi, dengan cepat aku memberikan pelukan singkat sebagai balasan. Membuat pipiku memanas.

Hari ini ndalem benar-benar kosong sebab keluarga ndalem memilih berkunjung ke rumah saudarku. Aku dan Kang Fikri sempat ingin ke sana juga, tapi Abah meminta Kami datang nanti sore ketika Abah sudah di ndalem. Kami memutuskan hanya berjalan bersama meninggalkan taman menuju ndalem dengan tangan bergenggaman.

Langkah kakiku berhenti ketika mendengar suara penjual siomay mengetuk mangkok dengan sendok. Memutar tubuh hingga dari kejauhan terlihat beberapa anak kecil mengelilingi penjual itu yang berhenti tepat di depan gerbang pesantren.

"Mas beli siomay ya, beli dua porsi tapi jangan dikasih kecap sama saus kacang saja. Tanpa saos." Kening Kang Fikri mengerut, menatapku sejenak lalu menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuk.

"Aku yang beli, Sayang?" Aku mengangguk mantap. Mengusap lengannya dan mendorongnya keluar ndalem.

"Lagi males keluar. Nanti kena sinar matahari, jadi tambah item," tolaknya. Memasang wajah melas yang kubalas dengan mengerucutkan bibir.

"Mas, kalau njenengan yang agak muanis takut matahari, lha po Ndak kasihan sama istrimu ini yang semula bening jadi muanis banget? Ndak variatif dong, Mas. Bagusnya kan yang satu hitam manis yang satu bening."

Terdengar dengusan panjang darinya. Menatapku lekat yang kini giliran memasang wajah melas hingga kudapatkan anggukan kepalanya sebagai persetujuan dari permintaanku.

Aku memberikan senyum menawan yang membuatnya kembali mendengus sembari berjalan menuju objek yang kuinginkan.

Dengan bangganya aku tertawa. Puas dengan keinginanku yang dipenuhinya. Meski sempat kudengar dia berkata lirih, mengatakan jika aku hamil dan keinginannku adalah bentuk dari ngidam. Menyangka sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak berpikir seperti itu.

Entahlah, jika benar aku sangat bersyukur. Tapi apa benar aku hamil? Bahkan beberapa hari lalu aku sempat mendapat tamu bulanan.

***

Semarang
19 September 2020

Revisi 19/4/21

Sepasang Hati (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang