18. Keputusan

1.7K 229 53
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

****

*تقبل الله مناومنكم تقبل ياكريم جعلناالله واياكم من العائدين والفائزين وادخلنامن زمرةالمتقين المخلصين*
Maaf lahir batin, saya mohon maaf atas kesalahan baik yang sengaja maupun tidak disengaja.
_________________

Mataku memanas. Kuraih sebuah mushaf yang ada di atas meja kerjaku, meredam gejolak hati dan pikiran. Jam menunjukkan tepat pukul empat sore, semua aktivitas belajar mengajar di sekolah sudah selesai, harusnya aku sudah pulang tapi tubuhku enggan beranjak. Setia menyendiri untuk menikmati sunyi.

Kisah Syifa begitu membekas dalam benak. Aku berpikir panjang hingga pada akhirnya memilih mengalah. Hatiku tidak bisa bahagia jika Syifa tersakiti,  mengetahui kenyataan pria yang dia sebut namanya dalam doa telah menawarkan ikatan pernikahan denganku.

Flashback on

Bibir pria dewasa bermata sipit tampak menyungging senyum simpul. Dari kejauhan tampak berjalan ke arahku.

"Katakan semuanya tentang masa lalumu." David terperangah, antara terkejut dan tidak nyaman   ketika aku kembali menyinggung masa lalunya bertepatan tubuhnya berdiri di depanku. Pria dengan snelli yang masih membalut tubuhnya itu menatapku dengan sorot tajam.

"Untuk apa? bukannya aku sudah mengatakan semuanya?" David duduk di kursi kosong sampingku yang ada di taman rumah sakit.

"Tidak semua, pasti masih ada lagi yang belum kamu katakan, David," ujarku. Tak puas dengan hanya sekilas kisah yang dia bagi beberapa waktu lalu.

"Fransiska Vanila, dia wanita yang kuceritakan padamu. Dia seorang mualaf, dia wanita masa laluku," jelasnya. Merangkai kalimat yang percuma karena aku sudah tahu bagian itu.

"Dia yang telah memberikan gantulan lafadz Allah ketika pertemuan terakhir kalian dan dia juga tunanganmu, bukan?" ucapku. Berhasil membuatnya bungkam seketika. Kebenaran yang juga kutahu dari cerita Syifa.

"Fany, bagaimana kamu bisa tahu?" Matanya menatapku dalam. Seolah tak percaya atas perkataanku barusan.

"Berarti ucapanku benar. Kamu tidak mengatakan semuanya padaku, David." Kenapa David tidak bisa terbuka padaku masalah itu? Harusnya dia bercerita tanpa meninggalkan sedikit bagiannya jika dia benar-benar memilihku.

"Bukan seperti itu, Fany. Aku hanya ingin ..."

"Aku kenal dia, David. Aku kenal Siska yang kamu maksud. Aku dekat dengannya, dialah wanita yang telah kuanggap adik kandungku sendiri," selaku cepat.

"Apa maksudmu, Fany?"

Air mataku luruh, tangisku pecah hingga tubuhku bergetar. Bahkan dapat kurasakan sebuah tangan mengusap punggungku. Tidak lain adalah milik David. "Kamu lebih baik kembali padanya, David."

"Aku berhenti di sini, kejarlah dia. Dialah orang yang selalu menyelipkan namamu dalam doa, dia yang tak pernah lupa meminta Allah memberikan hidayah untukmu. Aku ikhlas kamu kembali dengannya," sambungku.

David menggeleng, mencoba meraih tanganku namun kutolak. Dia mulai melupakan batasannya. "Kisah kita cukup sampai di sini, David. Besok, datanglah ke pesantren. Carilah santri yang bernama Nur Syifa."

"Dia masa laluku, Fany. Percayalah," terangnya lagi. Berusaha meyakinkanku.

Aku menggeleng. "Tapi dia ingin kamu bukan hanya menjadi masa lalu, tapi juga menjadi masa depannya, David."

"Fan, apa kamu meragukan perasaanku? apa kamu masih tidak bisa menerimaku?"

Aku semakin tergugu, bukan aku meragukannya, aku telah menerimanya. Tapi, aku tidak bisa jika harus menyakiti Syifa. Mengabaikan perasaan orang yang kuanggap seperti adik kandungku sendiri. "Bukan begitu. Maaf, tapi aku tidak bisa, David. Jangan memaksaku."

David berlalu begitu saja, dia pergi bersama sepotong luka yang kutoreh.

Flashback off

Sudah dua hari David tak pernah lagi menghubungiku. Kami semakin membentang jarak usai kejadian beberapa waktu lalu. Dia seolah-olah tidak terima atas keputusanku. Tapi, bukankah dia sendiri yang pernah bilang jika Siska akan tetap menjadi wanita istimewa meski aku yang dia pilih. Mengapa dia egois? Menyimpan rasa pada Syifa dan padaku.

Kali ini keputusanku sudah bulat. Aku ingin dia kembali pada Syifa. Biar pun aku harus kembali menghimpit rasa sakit dalm dada.

****
Takdir, berjalan sesuai titah pemiliknya. Putarannya kembali membawaku pada ujian kehidupan. Allah kembali mengujiku agar aku menjadi hamba yang lebih baik.

Suasana pondok tampak sepi tidak seperti biasanya, banyak santri yang ikut ziarah ke makam Walisongo membuat pondok menjadi tampak lenggang. Berbeda dengan para santri ndalem yang memiliki kewajiban piket ndalem.

Sayup-sayup terdengar panggilan atas nama Nur Syifa dari kantor tempat kunjungan keluarga santri putri. Berulang panggilan itu terdengar, mungkin Syifa belum juga menuju kantor.

Ketika aku berjalan menuju kamar hendak memanggil Syifa, terlihat dari arah lain Syifa berlari tergopoh-gopoh menuju kantor sambil menarik sarung batik yang dikenakan karena tanpa sengaja terinjak. Kugelengkan kepala, masih saja tingkahnya seperti itu. Sedikit ceroboh.

Sudah tiga jam Syifa berada di kantor tapi belum juga kembali. Apakah ada masalah hingga keluarganya menjenguk cukup lama? Aku jadi khawatir. Terakhir dia menerima kunjungan dari keluarganya, saat itu dia pingsan karena mendapat kabar neneknya meninggal dunia. Kuputuskan menghampirinya di kantor, memastikan Syifa baik-baik saja.

Mataku membidik posisi Syifa yang tengah berbicara dengan seseorang. Dari postur tubuhnya kuyakin itu bukan Ayah atau Paman Syifa yang biasa datang. Pria itu berperawakan tinggi dengan pakaian rapi, kulitnya putih. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena posisinya membelakangiku.

Aku penasaran siapa pria itu, berjalan dengan lutut mendekati hingga terdengar sebuah suara yang tak asing di telingaku. Hatiku mendadak perih. Tenyata keinginanku dipenuhi oleh David. Pria itu David, dia datang menemui Syifa. Melamar Syifa lebih tepatnya.

Mataku kian berembun, bulir embun itu akhirnya meluncur dari sudut mataku tanpa permisi. Kuhapus cepat sebelum ada yang melihatnya. Perlahan aku mundur, meninggalkan kantor dengan tangan terkepal erat. Menahan rasa tak menentu dalam dada.

Aku harus bahagia, bukankah ini yang aku mau. David dan Syifa kembali bersama lagi dengan keyakinan yang sama. Mereka kembali terikat. Tak menutup kemungkinan sebentar lagi mereka akan menikah.

Kakiku terus melangkah hingga berhenti di taman bunga dekat ndalem. Aku duduk di kursi kecil sudut taman, tempat biasa para santri ndalem bersantai usai piket di ndalem. Mataku menatap jajaran bunga mawar merah yang tumbuh di sana, membuang pikiran pada dua insan yang kembali Allah satukan.

"David telah bersama pilihannya, bisakah kamu kembali membuka hati untuk saya, Fany?"

Jantungku berdesir hebat seolah darahku dipompa cepat. Suara ini kembali menyapa telingaku.  Apakah aku sedang bermimpi? bagaimana dia bisa ada di sini? 

*****


Semarang

٣ سول ١٤٤١ ه
26 Mei 2020

Revisi 1/4/21


Sepasang Hati (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang