3. Harapan

4.3K 313 17
                                    

السلام عليكم و رحمه الله تعالى وبركاته
اللهم صل على سيدنا محمد

JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA.

****

Alhamdulillah bisa update. Semoga suka. Votement mempengaruhi jangka update. Mohon kritik dan sarannya nggeh.

Selamat membaca
.
.

Deru napas teratur terdengar, disusul dengkuran halus. Bunda tertidur pulas setelah meminum obat. Sudah lima hari aku berada di rumah, menjaga Bunda yang sedang sakit. Alhamdulillah kondisi bunda berangsur pulih. Sekarang bahkan Bunda bisa beraktivitas seperti biasa. Hanya saja tidak boleh melakukan kegiatan yang berat. Semua pekerjaan rumah yang biasa Bunda lakukan kini aku yang menggantikan untuk saat ini. Bahkan aku sudah meminta ijin pada pihak sekolah untuk mengambil cuti selama satu minggu.

Melihat bunda sudah tertidur pulas, aku beranjak meninggalkan kamar. Memanaskan sayur di dapur. Cukup lama aku berkutat dengan sayur hingga terdengar suara pintu diketuk samar disertai ulukan salam. Segera kukenakan hijab instan lalu berjalan menuju pintu. Tanganku meraih gagang pintu, membukanya.

Sosok pria berkulit putih dengan kemeja warna maron berdiri tepat di hadapanku, mengukir senyum simpul.

"Assalamualaikum, Fany."

Aku tersenyum, menjawab salam lalu mempersilahkannya duduk di amben teras rumah. Sengaja hanya mempersilahkannya duduk di luar, karena Ayah dan Ahmad sedang berkunjung ke rumah Bude Hartati. Tidak mungkin aku memintanya duduk di dalam, takut menimbulkan Fitnah.

Kami duduk berdampingan dengan kantong plastik berukuran cukup besar sebagai pembatas. Sesaat suasana hening menyelimuti, kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Sekilas kulihat ia menatap ke depan, memandang lalu lalang sepeda motor yang lewat beserta suara bising knalpot.

Mataku terpejam, merasakan terpaan angin yang membelai wajahku. Menghirup dalam udara malam yang dingin kemudian membuka kelopak mata. Sedikit menoleh.

Masih dengan posisi yang sama, bibirnya bergerak. Mengeluarkan rangkaian kata. "Bagaimana kabarmu? sudah lama kita tidak berjumpa." Suaranya lembut, sedikit mengusik ketenangan hatiku. Ada desiran halus di sana.

Aku mengangguk samar. "Alhamdulillah, aku baik," jawabku lirih sembari menunduk. Menatap kedua tanganku dalam pangkuan. Menyamarkan gugup yang tiba-tiba melanda.

Memberanikan diri dengan bibirku perlahan menyungging senyum tipis, meliriknya sekilas dengan ekor mata kemudian menatap langit malam. Melihat jajaran bintang membentuk rasi yang indah.

Tangannya bergerak menggeser kantong plastik yang ada di sisi kanannya. Mendekatkannya padaku. "Ini titipan dari Ibu. Kebun buah naga kami baru saja paneh, Alhamdulillah hasilnya banyak. "

"Terima kasih, kak. Seharusnya kak Zul tidak perlu repot-repot." Kupilin ujung hijabku, sedikit mengurangi gugup.

Wajah Kak Zul menoleh, mendengus pelan. "Ini tidak sebanding dengan apa yang sudah keluargamu berikan padaku." Tangannya bergerak menggulung lengan kemeja hingga siku. "Berkat bantuan dari ayahmu aku bisa memperoleh gelar yang sekarang kusandang."

"Kak, jangan ... "

Belum selesai aku berucap, tiba-tiba Kak Zul menimpali.

"Bagaimana kondisi Bundamu? apakah beliau sudah jauh lebih baik?" sambungnya. Lebih tepatnya mengalihkan pembicaraan.

"Alhamdulillah, Bunda sudah lebih baik. Terima kasih Kak Zul atas bantuannya. Maaf kami belum bisa mengganti uang pengobatan itu." Bahkan gajiku sebulan mengajar Madrasah Ibtidaiyah dan uang hasil penjualan dompet rajutku pun belumlah cukup untuk mengganti.

Ketika mendengar kabar Bunda sakit, Kak Zul yang saat itu libur kerja langsung datang ke rumah. Memeriksa kondisi Bunda. Bahkan semua obat-obatan ia berikan secara cuma-cuma.

Sebenarnya saat itu Ayah tak enak hati mengabarkan, namun keadaan Bunda yang kian lemah membuat Ayah memberanikan diri meminta bantuan Kak Zul. Bukan tanpa sebab Ayah tak enak hati, setiap anggota keluarga kami yang sakit dan butuh penanganan dokter pasti Kak Zul dengan senang hati membantu, dan pastinya tanpa kami mengeluarkan uang sepeserpun. Kalau pun kami memaksa membayar dan diterima, maka dalam hitungan menit uang itu akan dikembalikan dengan jumlah lebih banyak. Hal itu yang membuat kami semakin tak enak.

"Bahkan kata terima kasih yang kau ucapakan itu tak sebanding dengan bantuan dari keluargamu padaku hingga bisa seperti sekarang. Mungkin balasanku pada kalian belumlah setimpal." Pandangannya menerawang jauh ke depan. Seperti mengingat masa sulitnya kala itu.

Aku mendengus pelan. "Kak Prabu Zulkifli, bolehkah tidak membahas itu. Kami tidak ingin mengalami kebangkrutan di akhirat kelak karena meminta balasan atas amal kami di dunia. Kami hanya ingin balasan dari Allah kelak di akhirat. Jadi, jangan pernah berpikir membalas perbuatan baik keluargaku, Kak."

Bibir ranum Kak Zul mengembang lalu terkekeh pelan. "Kalian selalu saja begitu. Jika itu kemauan kalian, baiklah. Anggap saja semua yang kulakukan itu adalah bentuk amal baikku. Impas, 'kan?"

Ya Allah, bolehkah aku berharap sosok inilah yang menjadi pasanganku kelak? Walau hanya sebatas harapan yang terbungkus keraguan. Karena aku tahu, di lubuk hatiku paling dalam masih ada nama seorang pria masa lalu bertahta.

****

Dering dari ponsel membangunkannya dari tidur. Matanya mengerjap, memandang lukisan kaligrafi ayat kursi yang terlihat samar. Menggeliat lalu bersandar di kepala ranjang, mengumpulkan kesadaran. Tangannya meraba sisi kanan ranjang, meraih gawai di atas nakas, melihat siapa kontak yang menghubunginya.

Matanya membulat ketika menyadari layar ponselnya tertera nama kontak si pemanggil yang tak lain adalah salah satu informan penting untuk mencari keberadaan wanita pujaan hatinya. Segera ia mendekatkan benda pipih itu menuju telinga.

"Assalamualaikum."

" ... "

"Iya, ini dengan saya sendiri, Lana."

" ... "

"Terima kasih. Insya Allah saya akan kesana."

" ... "

Mendengar balasan dari seberang sana kepalanya mengangguk. Mengerti maksud lawan bicaranya.

Setelah sambungan terputus, ia bangkit. Meletakkan gawai pada tempatnya semula. Meraih selembar kertas lusuh yang di simpan dalam laci. Di sana terdapat goresan tinta warna hitam serta sebuah pas foto ukuran 3×4 di bagian bawah, menampilkan sosok wanita tersenyum tipis dengan mata fokus menatap ke depan.

Satu lagi kepingan puzzel berhasil ditemukan, ia harus memperoleh kepingan bagian yang lain untuk disusun menjadi sebuah gambar yang utuh. Perumpamaan yang tepat atas tindakannya ini.

"Ya Allah. Jika ia yang Engkau takdirkan menjadi penyempurna agama hamba, maka permudahkanlah hamba menemukannya."

****
Jangan lupa sholawat. 😊

Semarang, 4 September 2019

Revisi 30/3/21

Sepasang Hati (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang