بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA****
'Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi 'alad dinika'
Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku atas agama-Mu.
__________________Wajah ini tertunduk melihatnya semakin mendekat, menyembunyikan mata yang kian berkabut. Aku belum mampu menguasai hati yang tak keruan. Bukan hatiku belum ikhlas, tapi sungguh, menyapu rasa yang pernah ada itu sulit. Sebuah kenangan yang begitu membekas tentu tidak mudah menghapusnya hingga habis seketika, mengilangkannya seolah mudah bahkan tanpa usaha begitu kuat.
Seruan tiba-tiba yang datang dari arah lain membuatku mengangkat wajah lalu mengalihkan pandangan. Ketika wajahku menoleh, mendapati sosok dokter David berjalan menghampiriku. Berhadapan dengan Kang Fikri yang telah berdiri tepat di belakangku dengan posisi cukup dekat hingga aroma khasnya menguar. Mampu tercium oleh hidungku.
Entahlah, semua terasa rumit. Dua pria dengan rasa masing-masing saling beradu pandang. Membuatku yang berdiri di antara mereka terpaku. Hanya kami bertiga, karena sebelum Kang Fikri sampai Mbak Fatma telah masuk ke dalam toko pakaian.
Aku bergeming, pikiran liar tiba-tiba berkecamuk. Takut dokter David mengatakan sesuatu yang baru saja diketahui pada Kang Fikri. Tentangku yang tiba-tiba menitihkan air mata karena melihatnya.
"Alfany, ayo pulang dengan saya." Aku tidak bisa menolak. Hanya anggukan pelan yang kuberikan.
Ampuni hamba Ya Allah, bukan maksud ingin berdua dengan pria yang jelas bukan mahram. Engkau yang lebih tahu isi hati ini. Diri ini hamba dhaif, takut batas yang telah ada roboh hanya karena melihat dia di depan mata.
Tubuhku masih belum beranjak meski telah menerima tawaran dokter David.
"Fany, saya ingin bicara sebentar." Begitu lirih Kang Fikri berucap serupa bisikan. Ada sedikit lega yang menyusup hati, akhirnya suara itu kembali menyapa telingaku.
Entahlah, aku tak tahu pasti kapan posisinya berubah berhadapan denganku. Segera kupalingkan wajah, menghindari tatapan elangnya yang ada di depan mata. Sepasang manik itu seketika redup. Tak ada ucapan. Hanya sorot saling mengunci ketika mata ini memandang sekilas. Terlintas sikapku padanya tadi kurang menyambut, malah terkesan acuh membuatku menyesal. Merutuki sikapku padanya tadi.
Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Hanya seutas senyuman yang kuperoleh ketika memberanikan diri bertanya apa yang ingin dia katakan setelah cukup lama kami saling bungkam.
Senyum yang awalnya mengembang perlahan pudar ketika menoleh mendapati dokter David berjalan semakin dekat. Sorot kecewa terpampang nyata. Aku memberanikan diri menatap namun tatapanku diabaikan begitu saja. Sakit, rasa itu ternyata masih ada meski terbungkus kecewa.
Dia berlalu tanpa suara. Berbalik lalu berjalan mendekati dokter David. Menepuk pelan pundaknya seraya mengulas senyum yang tidak kuketahui maknanya. Keduanya bertingkah seolah sebenarnya saling mengenal.
"Maafkan saya, Kang." Hanya ucapan lirih yang tak terbalas. Bahkan menoleh pun tidak meski aku tahu dia mampu menangkap suaraku.
Kali ini dia pergi meninggalkan tanya. Serumit itukah menebak jalan pikirannya.
****
"Apa mahar yang kamu minta dari saya?" Tanpa beban kalimat itu terlontar.
Mataku melebar. Tidak sadarkah dia atas ucapannya barusan. Dia baru saja melewati batas yang ada, masuk dalam ranah perbedaan yang tidak bisa disatukan.
"Aku yakin, wanita sepertimu tidak mempersulit urusan mahar."
Aku berdecak. Dia benar-benar telah melampaui batasnya.
Kali ini kesabaranku benar-benar diuji. "Apa maksud dokter? sudah kukatakan kalau kita tidak bisa melampaui batas. Kita berbeda. Jika dulu dokter menawarkan pertemanan, aku bisa menerima. Tapi kali ini aku tidak bisa menerima tawaranmu itu."
Tidak ada balasan, namun tiba-tiba dia menepikan mobil, berhenti di bibir jalan. Menatapku dalam lalu meraih sebuah benda kecil yang kutahu itu Juz Ama dari saku kemejanya. Disodorkannya padaku lalu dengan tegas mengikrarkan dua kalimat syahadat.
Jantungku berdetak sangat kencang. Menyaksikan sendiri pria bermata sipit ini mengucapkan kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan nabi Muhammad adalah utusan Allah di depan mataku.
"Semudah itu?" Aku tidak tahu harus berucap apa lagi. Sungguh, aku masih terkejut dam tidak mengerti serta percaya begitu saja dengan apa yang terjadi barusan. Dia begitu tegas mengikrarkan syahadat.
"Iya. Lalu ada yang salah?"
Aku membuang napas berat. "Agama bukan arena bermain. Bukan sesuatu yang sepele. Jangan mempermainkan agama jika kamu berfikir hanya sebagai syarat untuk meminangku," balasku.
David mendengus. "Aku tidak pernah berniat mempermainkan agama, Fan. Aku sungguh-sungguh."
"Lalu kenapa begitu mudah bibirmu mengucapkan syahadat seperti mengatakan suatu gurauan? seolah tanpa berpikir panjang."
Aku sulit memahami maksudnya. Apa yang sebenarnya dia pikirkan. Bukankah dulu mata itu menatapku penuh kebencian ketika mengajaknya memenuhi seruan Allah. Begitu tidak suka juga ketika aku menyinggung perihal gantungan lafadz Allah di mobilnya.
"Bukankah kamu tahu bahwa Allah lah yang berhak memberikan hidayah pada hamba yang dikehendaki-Nya. Bahkan hidayah telah datang padaku sebelum aku mengenalmu. Allah Maha membolak-balik hati manusia, tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya, bukan." Aku dibuat bungkam seketika.
Ternyata aku melupakan satu hal, semua yang ada di muka bumi ini berjalan sesuai kehendak Allah. Bahkan takdir pun telah lama Allah gariskan dalam Lauh Mahfuz dan tak ada satupun yang mampu melawan.
Bibirku tanpa sadar lirih merapalkan doa. "Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi 'alad dinika."
🍃🍃🍃🍃
Monggo yg mau tegur sapa atau kasih kritik saran bisa di @luthfi_luthfia63
Dengan senang hati saya tampung.
Semarang, 2 Februari 2020
Revisi 31/3/21
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Hati (End)
SpiritualProses Revisi Spinoff My Future Gus, Aku berada di tempat ini untuk mencari ilmu, melupakan luka yang pernah tertoreh dahulu. Menggapai cinta yang sebenarnya, cinta pada sang pemilik setiap hembusan nafas. Namun ditengah kobaran semangat mencari ilm...