بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***200 vote buat lanjut
Bibirku tak henti-hentinya mengumbar senyum kala banyak orang yang datang menjengukku. Bahkan hingga pukul satu siang baru ada jeda waktu untukku berbincang berdua dengan Kang Fikri. Menghabiskan waktu bersama usai salat dzuhur berjamaah dengan duduk berhimpitan di ranjang rumah sakit.
Berulang sosok yang kini jambangnya tumbuh tak beraturan itu memeluk tubuhku dari samping sambil memberi kecupan lama di pipiku. Aku hanya tersenyum, sedikit tertawa ketika tanpa sengaja menepuk punggungnya cukup keras hingga membuat wajahnya masam bukan kepalang.
Masih ingat bagaimana tadi pagi buta dia bangun untuk salat malam sambil mengeluh punggungnya yang pegal karena tidur di sofa yang ukurannya lebih kecil dari tubuhnya yang kini semakin berisi saja.
"Mas, kapan aku boleh pulang?"
Kang Fikri mengacak puncak kepalaku yang tertutup hijab. "Kalau kondisimu benar-benar sudah baik, kata dokter besok pagi sudah boleh pulang."
"Aku kangen rumah, pingin bobok sama Malik. Aku juga pingin bisa beraktivitas seperti dulu lagi, Mas."
Kang Fikri terdiam sejenak sebelum kian mengeratkan pelukannya lalu menjatuhkan kepalaku di pundaknya. "Insyaallah, Fan."
Aku mengangguk, melingkarkan tanganku penuh di tubuhnya sebelum bunyi perutnya membuatku perlahan melepas pelukan dengan tawa yang turut hadir di antara kami. Kang Fikri tampak salah tingkah, mengusap perutnya yang tadi bersuara.
"Belum dahar 'kan, Mas? Tadi waktu yang jenguk pada makan Mas lagi ngapain?"
Kang Fikri memasang wajah tanpa dosanya. Mengumbar senyum sangat manis padaku. "Tadi belum lapar, Fan. Rasanya sudah kenyang cuma lihat kamu makan."
Aku mendengus panjang. "Njenengan dahar riyen."
Tak lama setelah itu, Kang Fikri meninggalkan ruang rawatku menuju kantin rumah sakit usai kuminta dia mengisi perutnya sebentar.
Setelah tubuh Kang Fikri menghilang di balik pintu, aku mulai menggapai sisi ranjang yang terbuat dari besi. Berusaha perlahan menurunkan kakiku untuk berjalan. Sudah lama rasanya kakiku tidak dibuat berjalan, apalagi sejak kemarin Kang Fikri selalu menggendongku dan tidak membiarkanku menapak lantai.
Pelan kucoba berdiri, melepas perlahan pegangan besi itu hingga tubuhku benar-benar berdiri tegak. Namun itu tak bertahan lama, tubuhku langsung terduduk di lantai, bahkan saat kucoba berdiri kakiku tidak bisa bergerak untuk digunakan menopang tubuh. Berulang kucoba, tapi hasilnya nihil. Tangisku tak bisa terelakkan saat menyadari kakiku sama sekali tidak bisa digerakkan dan tidak merasakan sakit ketika kupukul.
"Ya Allah, Fany!" Teriak Kang Fikri yang tampak berlari ke arahku dari pintu. Dengan sigap langsung membopong tubuhku lalu menurunkan di ranjang.
"Mas, kenapa kakiku tidak bisa digerakkan? Apa yang terjadi dengan kakiku, Mas?" Tanyaku dengan bibir bergetar disela isakan.
Bukannya membalas, Kang Fikri malah mendekap erat tubuhku dengan memberikan usapan lembut di punggung. Membuatku merasakan ada yang tidak baik telah terjadi padaku.
"Mas, apa yang terjadi dengan kakiku?" Kembali aku mengulang kalimat tanya yang sama, namun kali ini aku bertanya dengan suara naik satu oktaf.
Pelan kulepas kaitan tangan Kang Fikri yang melingar di tubuhku. Melihatnya menatapku dengan tatapan sendu, bahkan air mata ada di sudut matanya hingga membuatku semakin merasa ada yang tidak baik-baik saja.
"Mas, sebenarnya apa yang terjadi dengan kedua kakiku? Aku yakin Mas tahu tentang ini. Kenapa kakiku tidak bisa dibuat berjalan lagi?" Kang Fikri kembali memelukku erat bahkan dapat kurasakan kali ini dia juga terisak karena tubuhnya bergetar hebat. Tetesan air matanya juga turut hadir mambasahi punggungku.
"Sayang, kita mendapatkan cobaan lagi dari Allah. Tapi Mas yakin kamu pasti bisa kembali berjalan lagi. Insyaallah bisa kembali seperti semula. Yakin, ya sama Mas. Allah tidak akan menguji hamba diluar batas kemampuan." Aku tak mampu menjawab. Tangisku malah semakin kencang mengetahui kenyataan jika kakiku memang tidak bisa berjalan.
'Ya Allah, tanamkan keridhoan dalam hati istri hamba akan takdir ini.' Kang Fikri memejamkan matanya, ikut merasakan sedih yang hebat dalam diri istrinya. Bahkan jika boleh meminta, maka dia memilih menggantikan posisi istrinya ketimbang melihat lelehan air mata kesedihan kembali turun dari netranya.
****
Senyumku kembali terbit usai pagi ini aku diperbolehkan pulang. Meski pikiran tentang kondisi kakiku masih membuat suasana hatiku tetap saja belum tenang. Pikiran tentang Malik dan Kang Fikri yang butuh sesuatu dariku tapi aku malah menyulitkan mereka terus menerpa. Membuatku merasakan tidak bisa berbuat apa-apa untuk mereka.Sepanjang perjalanan menuju ndalem satu tangan Kang Fikri tak pernah lepas dari genggaman tanganku. Mengulum senyum ke arahku yang kubalas dengan senyum tipis, bahkan sampai tidak terlihat jika tidak menatapku lekat.
Tubuhku masih di dalam mobil dengan tatapan lurus meski telah sampai di pelataran ndalem. Bahkan tak menyadari saat Kang Fikri membuka pintu mobil dan menyelipkan tangannya di bagian belakang tubuhku dan berakhir menggendongku keluar mobil lalu mendudukkanku di kursi roda. Mendorongnya menuju rumah dengan banyak memori indah tersimpan disana.
Seiring tubuhku semakin dekat dengan ndalem, saat itu pula wajah gembira Malik kian terlihat jelas. Membuat kelana alam pikirku mengenai kondisi kakiku berhenti seketika karena beralih pada sosok bocah kecil yang kini tepat berdiri di hadapanku. Memberikan pelukan erat padaku dengan tangisan.
"Alhamdulillaah Umi wangsul ke ndalem. Malik seneng banget. Kita bisa bobok bareng ya, Umi." Aku mengangguk seiring tangisku yang pecah.
Suasana ndalem tampak ramai dengan kehadiran keluargaku dari Pekalongan juga saudaraku yang tinggal di sekitar rumah lama Ayah. Cukup lama berkumpul dengan mereka membuat senyum simpul dari bibirku akhirnya bisa terbit juga. Sedikit mengikis perasaan tak menentu dalam hati sebab kondisi kakiku saat ini. Tapi senyuman dari bibirku perlahan menghilang saat ndalem mulai sepi. Menyisakan Abah, Kang Fikri, aku serta Malik. Pikiran tentang kondisi kakiku kembali menggelayut.
"Ya Habibi, ada apa denganmu?" tanya Kang Fikri yang tanpa kusadari telah duduk di kursi kayu samping kursi rodaku.
"Ndak ada apa-apa, Mas." Aku menatapnya, memberikan senyum tipis. Kembali menatap lurus saat pikiran tentang kondisi kakiku kembali muncul.
"Mas, bolehkah aku meminta sesuatu?"
Kang Fikri menggeser tubuhnya lebih dekat denganku. Mengangguk pelan lantas menjawab. "Insyaallah, kalau Mas bisa memberikan. Mau apa, hem?"
Kutarik napas panjang sebelum mengucapkan kalimat yang tentunya akan membuat hatiku sakit tapi logikaku mengatakan bahwa yang akan kukatakan padanya itu sebuah kebenaran yang harus kutelan. Menatap lekat wajahnya dengan satu tanganku menangkup pipi dengan sapuan jambang tipisnya.
"Mas, menikahlah lagi. Aku siap dimadu."
TBC
Dahar : Makan
Njenengan : kamu
Wangsul : pulang
Riyen : dahuluMalam
Semarang
15 Desember 2000
1 Jumbadil Ula 1442 H
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Hati (End)
EspiritualProses Revisi Spinoff My Future Gus, Aku berada di tempat ini untuk mencari ilmu, melupakan luka yang pernah tertoreh dahulu. Menggapai cinta yang sebenarnya, cinta pada sang pemilik setiap hembusan nafas. Namun ditengah kobaran semangat mencari ilm...