2. Tak Terduga

3.3K 282 20
                                    

Happy reading ❤️

Susan berjalan di atas trotoar, perempuan itu baru saja pulang dari kantornya. Ia melirik jam di pergelangan tangannya, jarum jam tersebut masih menunjukkan pukul lima sore.

"Kemana dulu ya, mau refreshing dulu ah," gumamnya berencana.

Di sela langkahnya, sebuah mobil hitam datang dari arah belakang perempuan itu, mobil tersebut menepi dan berhenti tepat di samping Susan. Susan mengernyitkan dahi heran.

Pintu mobil itu terbuka dan menampakkan sosok yang ia pernah ia lihat sebelumnya. Seorang pria dengan pakaian santainya turun, lalu menyunggingkan seulas senyuman.

"Hai. Susan ya?" tebak Pria itu.

Susan mengangguk, "iya, Mas Lukman 'kan ya?" Susan ikut menebak.

Lukman tertawa kecil, "kamu masih inget sama saya ternyata, dulu pas saya SMP dan saat saya ke rumah kamu, kamu masih kecil banget loh. Masih segini." Lukman memperagakan tinggi tubuh anak kecil menggunakan tangannya.

Susan ikut tertawa, "iya, Mas."

Sudah sepuluh menit berlalu, kedua insan berbeda jenis itu masih setia berbincang-bincang di trotoar.

"Eh, by the way, mau jalan-jalan ga? Ya kalo ga mau gapapa sih," kata Lukman sedikit pesimis.

Tawaran itu sungguh menggiurkan bagi Susan, kebetulan sekali 'kan, perempuan itu juga ingin jalan-jalan sore. Susan mengangguk setuju atas tawaran Lukman. Keduanya langsung masuk ke mobil.

Lukman membawa mobilnya dengan santai. Keheningan melanda mobil itu, karena memang mereka masih sama-sama canggung.

"Hmm, Mas Lukman, ada urusan apa di Jakarta?" tanya Susan ingin tahu.

"Hmm, ya biasa lah, menghilangkan jenuh, cari suasana baru." Lukman tertawa pelan. "Kalo kamu? Kamu kerja di kantor ya?" Lukman berkata seperti itu, sebab ia melihat outfit yang Susan kenakan.

"Aku kerja di bagian akuntan, Mas," jawab Susan.

Lukman mengangguk-angguk. Setelah sampai, pria itu langsung menepikan mobilnya.

"Kita makan di sini ya? Gapapa 'kan?" tanya Lukman.

Susan melihat ke arah luar, saat kaca mobil itu dibuka oleh Lukman.

"Mas Lukman juga suka makan pecel lele?" tanya Susan.

Sorot mata Susan menatap warung itu dengan berbinar, Lukman memperhatikan hal itu, sebuah senyuman terbentuk dari bibir tipis pria itu. Mereka turun dan langsung duduk di salah satu kursi yang ada di sana, mereka saling duduk berhadapan.

Mata jernih Susan memandang ke sekitaran warung itu. Semakin senja, justru semakin banyak pengunjung yang datang.

"Saya kira kamu ga suka makan di sini." Suara itu membuat Susan menatap Lukman, seketika pandangan mereka kembali bertemu.

Susan tersenyum kaku, "aku juga suka makan di sini kok, Mas."

Melihat perubahan di raut wajah Susan, Lukman langsung merasa bersalah. Tanpa sadar, mungkin pertanyaannya tadi menyindir Susan akan sifat perempuan itu yang dulu. Yakni hedon dan suka berfoya-foya. Lukman tahu bagaimana Susan dulu. Tetapi ia tidak bermaksud untuk mengatakan itu pada Susan.

"Maaf, San. Saya tidak bermaksud." Lukman meringis tak enak.

"Santai aja, Mas. Itu 'kan masa lalu."

Mendengar jawaban itu, semakin membuat Lukman tak tega, ia malah merasa menjadi pria paling jahat saat ini.

"Saya pesen dulu, ya."

Susan mengangguk, Lukman tersenyum sebelum ia memesan pecel lele untuk mereka.

Susan mengalihkan pandangannya ke arah jalan raya yang terhampar di samping warung pecel lele tersebut. Jalanan itu begitu ramai, jam segini memang orang-orang baru saja pulang sekolah dan bekerja. Pandangannya kembali beralih ke sekitar warung tersebut.

Netranya menangkap seorang bocah laki-laki yang tengah kesulitan membawa dua piring nasi serta sebuah botol air mineral. Susan berdiri, berinisiatif membantu anak itu.

"Hei, tante bantu, ya." Susan mengambil satu piring anak itu.

"Kamu duduknya dimana?" Susan kembali bertanya. Anak itu menunjuk salah satu tempat.

"Makasih ya tante cantik, udah mau bantuin Leo," ucap anak itu setelah tiba di meja yang dituju.

"Sama-sama." Susan mengelus rambut anak itu. Susan memperkirakan bahwa anak itu seusia dengan keponakannya, Kirana

"Kamu sendiri? Orang tua kamu mana?" Susan menengok ke kanan dan kiri, mencari siapa tahu orang tua anak ini ada di sini.

"Sama papah, Tan. Itu." Anak laki-laki itu menunjuk seorang pria yang tengah sibuk dengan ponsel di telinganya, Susan tidak dapat menangkap siapa pria itu, karena posisinya agak lumayan jauh dan pria itu membelakanginya.

"Yaudah, kamu tunggu papah kamu aja di sini. Tante mau balik ke meja tante." Susan mengusap kepala anak itu sebelum kembali ke mejanya.

Tak lama setelah Susan duduk, Lukman kembali datang.

"Maaf, ya, San, ngantri soalnya."

"Iya, gapapa, Mas."

Lagi-lagi keheningan kembali melanda mereka. Di sela keheningan itu, akhirnya sajian yang dipesan telah datang. Mereka makan dalam situasi hening, sampai akhirnya keduanya menghabiskan makanan itu.

"Alhamdulillah, kenyang." Lukman mengelap mulutnya menggunakan tisu yang tersaji di meja.

"Udah jam enam lewat. Saya antar kamu pulang, ya?" tawar Lukman sambil beranjak berdiri.

Susan ikut berdiri, tetapi saat seorang pria menghampi tempat dimana ia makan, membuat Susan membelalakkan matanya terkejut.

"Kamu?" kata pria itu.

"Pak Wisnu? Bapak ngapain di sini?"

"Saya nemenin anak saya makan." Tatapan Susan beralih ke seorang anak yang berdiri di sebelah Wisnu.

"Tante cantik." Anak itu berkata riang.

"Jadi Leo anak bapak?" Susan bertanya tak percaya.

"Pah, ini yang tadi bantuin Leo, Pah," kata anak itu menarik-narik jas Wisnu.

"Terima kasih, ya, Susan." Wisnu mengusung senyum manis.

"Ini pacar kamu?" Wisnu mengangkat sebelah alisnya sambil memandang Lukman.

Lukman mengulurkan tangannya, bermaksud untuk berkenalan dengan Wisnu, yang tentunya dibalas juga olehnya.

"Saya Lukman, kerabatnya Susan."

Wisnu mengangguk-angguk.

"Saya duluan ya, San. Pak Lukman." Wisnu membawa Leo pergi dari sana.

"Dadah! Tante cantik." Leo melambaikan tangannya ke arah Susan. Susan ikut membalas lambaian itu, entah kenapa tiba-tiba Susan merindukan bayinya.

Susan membuang napasnya, benar-benar tidak menduga jika ia bertemu Lukman, apalagi ia juga bertemu dengan bosnya, Wisnu, di tempat yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.

Tbc

Fate [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang