22. True Happiness (End)

2K 112 4
                                    

Happy reading ❤️❤️

Suasana hati Susan tengah dilingkupi kebahagiaan sekarang. Terhitung setahun sudah usia pernikahannya dengan Wisnu, dan kini, ia dinyatakan positif hamil. Tak henti-hentinya perempuan itu mengusap perutnya.

Rissa, sang mama mertua, yang baru saja mengantar Susan ke rumah sakit, ikut bahagia menyambut kehadiran calon cucunya itu. Keduanya kini sudah kembali ke rumah, lebih tepatnya rumah Wisnu.

"Aduh, Mah. Ngga usah repot-repot. Mama pasti juga cape, kan," kata Susan dengan nada tak enak, ketika melihat Rissa mengantarkan segelas air putih ke kamarnya.

Rissa duduk di pinggir kasur, "ngga masalah, San. Justru di usia mama yang begini, mama harus banyak gerak biar badan ngga kaku."

Susan mengangguk. Wanita itu tengah duduk di kasur dengan badan yang bersandar, kakinya diselonjorkan. Ia menerima air yang dibawakan Rissa dan meminumnya, lalu menaruh gelas tersebut di atas meja.

"Makasih, Mah."

"Sama-sama. Jangan lupa kasih tau Wisnu ya tentang kehamilan kamu." Tangan Rissa perlahan bergerak, memijat-mijat kaki Susan. Susan tentunya tidak menolak, ia tidak mau melewatkan saat-saat dimana dirinya dimanja oleh sang mertua.

Sorenya, Rissa berpamitan pada Susan untuk pulang. Sebenarnya Rissa ingin menginap di sana, guna menjaga menantunya itu, namun hal itu ditolak oleh Susan, lantaran ia tidak ingin menyusahkan mamanya Wisnu.

Susan duduk di sofa ruang tamu, sekarang baru pukul lima sore, butuh waktu dua jam lagi untuk menunggu Wisnu pulang.

Terkait dengan pekerjaannya, wanita itu memutuskan untuk resign dari kantor. Meskipun Wisnu tidak melarang Susan untuk berkarir, tetap saja keputusannya sudah bulat, kalau dia hanya ingin di rumah saja mengurus keluarga. Susan tersenyum saat melihat Leo dengan balutan piama tidurnya. Ia merentangkan tangan, menyambut kedatangan Leo.

"Anak mama udah wangi banget, sih." Susan menciumi pipi Leo.

"Ngga nakal kan? Pas dimandiin sama Bi Lestari?"

Leo menggeleng, yang membuat Susan gemas.

"Mama, kapan dede bayinya lahir? Leo ngga sabar main sama dede bayi." Leo mengelus perut Susan. Selepas pulang dari sekolah tadi, anak itu sangat senang, mendengar kabar bahwa dirinya akan mendapatkan seorang adik.

Susan tertawa pelan. Ia mencubit pipi Leo pelan. "Sabar, sayang. Tunggu sembilan bulan, baru dede bayinya lahir."

Leo terdiam, guratan-guratan kecil muncul di keningnya. Susan memperhatikan itu dengan rasa penasaran.

"Kok sembilan bulan, Mah? Lama banget. Bisa ngga keluar besok?" tanyanya lugu.

Lagi-lagi Susan dibuat tergelak oleh pertanyaan si kecil. Satu kecupan ia berikan di pipi putranya.

"Iya ngga bisa dong, sayang. Leo sabar ya. Doain mama, supaya lancar sampe dedenya lahir," kata Susan.

"Aamiin..." Jawab Leo.

Malam yang Susan tunggu akhirnya tiba, sembari menunggu Wisnu yang sedang mandi. Ia duduk di kasur, tangannya memegang sebuah amplop berlogo salah satu instansi kesehatan. Pandangan Susan beralih pada Wisnu yang baru keluar dari kamar mandi, pria itu mengelap-ngelap rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Wanita itu terkesima melihat Wisnu, dia tak pernah menyangka, bahwa mereka akan sampai pada tahap ini. Tahap dimana cinta mereka terwujud sampai ke kehidupan pernikahan.

Sebuah tangan memegang dagu Susan yang membuat wanita itu mengerjap. Tak sadar bila Wisnu sudah memakai pakaian rumahannya.

"Dari mas keluar kamar mandi sampai udah kelar pakai baju, kamu ngelamun gitu. Mikir yang aneh-aneh, ya?" goda Wisnu.

"Enak aja!" sanggah Susan dengan cepat.

"Aku tuh mau ngomong sesuatu, mas. Sini deh." Susan menarik tangan Wisnu agar pria itu duduk di sebelahnya.

Tangan Susan terulur, menyerahkan amplop itu. Sebenarnya sedari tadi Wisnu sudah bertanya-tanya, amlop apa yang Susan pegang. Mungkin sekarang lah rasa penasarannya akan terjawab.

Selepas membaca isi surat rumah sakit tersebut, Wisnu tidak bisa berkata-kata lagi. Betapa bahagianya ia sekarang.

"Serius, San? Anak mas?" Susan mengangguk antusias.

Keterkejutan melanda Susan, kala tiba-tiba Wisnu menggendongnya ala pengantin dan berputar-putar bak komedi putar. Wisnu menurunkan Susan, kecupan-kecupan ia sematkan di keseluruhan wajah wanita itu, tanpa kurang sedikit pun.

Wisnu menangkup pipi Susan, "mas bahagia banget, sayang. Kenapa kamu ngga kasih tau dari awal? Tau gitu mas pulang cepet tadi."

Susan mengulum senyum, "biar surprise, mas."

Wisnu tersenyum manis, ia mencium kening, hidung, dan bibir Susan.

"Terima kasih, sayang. Terima kasih banyak. Kamu sudah memberikan kebahagiaan yang besar untuk mas." Wisnu memeluk tubuh Susan dengan erat.










End

Fate [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang