8. Tak Pernah Gentar

1.4K 142 7
                                    

Happy reading ❤️❤️

Susan menggulirkan bola matanya gelisah, diselingi oleh kesulitannya dalam bernapas. Di tengah-tengah suasana yang tidak elit begini, Wisnu kembali melontarkan pertanyaan yang Susan sendiri belum tau bagaimana dirinya terhadap pria itu.

Nampak di koridor, orang-orang yang sempat berlalu lalang memandang mereka. Seorang perempuan juga tampak melihat mereka dari kejauhan, dengan tatapan nanar dan marah menjadi satu, Jesika.

Susan enggan memulai interaksi di antara mereka berdua, sekiranya bisa, ia ingin saja langsung pergi dan menuju ruangan kerjanya. Tapi bagaimana dirinya akan di cap sebagai karyawan yang tidak sopan terhadap bos-nya.

"Coba Pak Wisnu renungkan sendiri, seseorang tidak semudah itu untuk jatuh cinta pada orang lain, apalagi orang yang baru mereka temui."

Deru napas Susan naik turun, seakan menunjukkan emosi yang tengah ia kubur akan meledak jika tidak ditahan.

"Saya permisi, Pak." Susan pergi dengan sopan, meninggalkan Wisnu yang masih berkutat dengan khayalannya.

Wisnu benar-benar melakukan apa yang Susan katakan, merenung. Ia duduk di kursi kebesarannya. Wisnu akui, ia benar-benar tertarik kepada Susan, saat pertama kali dirinya melihat Susan di club malam itu.

Malam itu, Wisnu yang tengah mengobrol dengan bodyguard-nya, lantas langsung melihat ke arah yang seakan menghantarkan dirinya pada sang takdir. Seorang perempuan muda, dengan cahaya yang remang-remang, dapat ia lihat perempuan itu sedang marah-marah pada laki-laki di depannya.

Wisnu enggan bergabung, sekelumit masalah asmara anak muda sudah biasa ia saksikan di sana, tetapi ini berbeda. Ada sesuatu pada diri perempuan itu yang Wisnu tidak mengerti apa. Karena langkah perempuan itu yang menuju keluar club, Wisnu diam-diam menguntit, memperhatikan dengan pandangan tak biasa pada diri Susan.

Semenjak itu, pikirannya dihantui oleh wajah itu. Wajah yang, entahlah, Wisnu sendiri tidak mengerti. Perasaan kecewa, takut, menjalar di mata perempuan itu.

***

"Ihh, San. Jawab gue dulu dong. Lo tadi kenapa berangkat bareng Pak Wisnu, udah gitu tatap-tatapan di koridor."

Susan jengah sekali, ia berniat untuk memusatkan pikirannya pada komputer di depannya. Tetapi Eka selalu saja menanyakan rentetan pertanyaan yang sama.

"Tadi Pak Wisnu jemput gue. Udah kan? Udah ya, jangan ganggu gue dulu."

Jawaban yang Eka dengar, membuatnya langsung bungkam.

Susan menghela napas gusar, berton-ton beban seakan menghimpit dirinya. Susan begitu trauma akan cinta dan laki-laki, dari kecil ia berharap akan mendapat seorang pangeran tampan yang mau menerima dirinya apa adanya. Tetapi ia malah bertemu dengan Rey, laki-laki yang sudah menghancurkan hidupnya.

Ibarat pepatah, habis manis sepah dibuang. Lubang hitam bernama cinta sudah tak ingin ia jangkau, terlalu pahit dan penuh kedustaan.

***

Susan hanya duduk sendiri di kantin, beberapa kali ia memergoki orang-orang yang memandang ke arahnya.

"Tante cantik!" Suara riang dan penuh antusias itu membuat Susan kaget.

Anak laki-laki siapa yang berkeliaran di kantor begini, dan tanpa pengawasan orang tua pula. Anak itu beringsut ke pangkuan Susan.

"E--eh, sayang. Orang tua kamu ke mana?" Susan sedikit salah tingkah.

Anak itu mendongak, "tante ga inget Leo? Leo yang di warung pecel lele itu."

Agaknya ingatan Susan yang kuat atau bagaimana, ia langsung teringat kejadian beberapa minggu yang lalu.

"Leo? Ya ampun, tante pikir siapa." Susan malah terlihat lebih antusias dari anak itu sekarang.

Belum sempat Susan ingin berbicara lagi, Leo meneriaki kata 'papa' pada sosok pria berjas yang terlihat berjalan menghampiri mereka. Susan sedikit merinding, ia lupa sebuah fakta, bahwa Leo adalah putranya Wisnu.

"Leo, turun dulu ya, Sayang. Tante pegel nih," pinta Susan lembut.

Leo langsung berpindah ke pangkuan Wisnu, yang terlihat duduk tenang di depan Susan. Wisnu menyuguhkan senyuman yang Susan sendiri langsung bersemu dibuatnya.

Susan menormalkan perasaannya, ia berdiri dan mencubit pelan pipi Leo.

"Tante duluan ya, tante udah kenyang. Dadah.

"Saya permisi, pak," lanjut Susan seraya tersenyum sopan.

Leo langsung murung melihat Susan yang pergi begitu saja. Usapan lembut di kepalanya, membuat Leo menatap Wisnu yang juga sedang menatapnya.

"Nanti kita ke rumah Tante cantik ya," kata Wisnu.

Leo mengangguk, "iya papa."

Wisnu tersenyum kecil, "sejauh apapun kamu pergi, saya akan berusaha untuk kejar kamu, San. Karena hati saya memilih kamu." Wisnu mengatakan itu dengan suara kecil, seakan berbisik pada dirinya sendiri.




Tbc

Fate [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang