3. Mati Listrik

2.7K 230 7
                                    

Happy reading ❤️

Jika pada saat hujan besar malam-malam begini, biasanya orang-orang akan duduk santai sembari menikmati mie rebus dan teh hangat. Lain halnya dengan Susan, perempuan itu duduk di ruang tamu dengan penuh rasa bosan.

Semua orang di rumah ini sedang pergi entah kemana, yang menyisakan dirinya sendirian di rumah. Perempuan itu mengalihkan rasa bosannya dengan bermain ponsel, tetapi nihil. Rasa bosan itu tetap bertengger.

Duar

Suara kilat  menyambar di luar membuat Susan memejamkan mata, jujur saja Susan itu sangat penakut, apalagi jika sedang dalam kondisi hujan seperti ini.

Bip

Tiba-tiba lampu di ruangan itu mati yang diikuti oleh alat elektronik lainnya. Susan semakin meringsutkan dirinya di pojokan sofa. Bibirnya bergetar disertai pucat.

"Apa aku telfon Mas Rama aja untuk segera pulang?"

"Engga-engga, aku gamau ganggu Mas Rama sama keluarganya."

Susan melihat ke sekelilingnya, gelap sekali. Perempuan itu mencoba menghalau rasa takut, tapi tetap saja. Rasa takut dalam dirinya tidak kunjung hilang. Saat terdengar suara bel dari luar, perempuan itu langsung dengan cepat menuju ke depan untuk membuka pintu. Setelah membuka pintu, Susan dihadapkan oleh seorang pria dengan kaos kasualnya.

"Kamu?" tanya pria itu terkejut.

Tanpa berpikir panjang, Susan langsung memeluk tubuh pria itu, pria itu langsung terjengit kaget.

"Hmm, Susan. Jangan seperti ini. Ga enak kalo diliat orang." Wisnu mencoba melepaskan Susan dari dekapannya.

Susan yang baru sadar pun langsung melepaskan pelukan itu cepat. Susan tersenyum canggung.

"Pak Wisnu? Bapak ada apa ke rumah saya? Bapak tau dari mana rumah saya?" Susan bertanya beruntun.

"Ini rumahnya Rama 'kan? Kamu ngapain di sini?" Wisnu bertanya balik.

"Saya adiknya Mas Rama, Pak. Bapak ada perlu apa ya ke sini?"

"Kamu adiknya Rama. Ya ampun, dunia sempit banget. Rama itu klien saya, saya kemari mau membicarakan perihal pekerjaan."

"Dalam kondisi hujan begini?" tanya Susan kaget.

Wisnu mengangkat sebelah alisnya, "memang kenapa? Saya itu profesional, dalam kondisi apapun, pekerjaan tetap saya kerjakan," jawab Wisnu.

Susan terdiam. "Hmm, masuk dulu, Pak."

Wisnu melongok ke dalam, "mati listrik ya? Kamu sendiri di rumah?"

Susan mengangguk.

"Pantesan, Rama sulit dihubungin, ternyata lagi di luar."

Wisnu menatap Susan, "bibir kamu pucet, kenapa?"

Susan membuang napas, "saya takut gelap, Pak," cicit Susan.

"Saya temani kamu ya? Sampai Rama kembali."

Susan menggeleng. Tak enak jika rasanya merepotkan orang lain, apalagi atasannya sendiri.

"Engga usah, Pak. Bapak pulang aja. Saya bisa kok sendiri di rumah."

Tanpa mengindahkan ucapan Susan, Wisnu langsung melenggang duduk di bangku depan rumah tersebut. Mau tak mau Susan ikut duduk di sebelahnya.

"Pak?"

Wisnu menoleh sambil tersenyum geli.

"Pak? Emang saya bapak kamu. San, kalo lagi ga di kantor, jangan panggil saya bapak. Kesannya saya tua banget."

Susan menggaruk kepalanya. Entah karena salting atau apa.

Perlahan hujan yang lebat itu kian surut berganti dengan rintik-rintik kecil, bahkan petir pun turut hilang.

"Kalo gitu saya panggil, Mas? Gapapa 'kan?"

Hati Wisnu berdesir, tatkala Susan memanggilnya dengan sebutan itu.

"Mas?"

Wisnu tersadar dari lamunannya, pria itu mengerjap-ngerjapkan matanya.

"I--iya, gapapa," jawab pria itu gugup.

"Kayaknya udah ga ujan, Mas. Mas pulang aja, biar saya sendiri di rumah."

"Saya ga akan pulang sebelum listrik nyala, kamu takut gelap 'kan?" tebak Wisnu.

Susan menunduk, ia merasa jika dirinya itu sangat lemah. Berbeda jauh dengan Arum, terkadang Susan seringkali membandingkan dirinya sendiri dengan Arum. Bagaimana kuat dan beraninya Arum, membuat Susan ingin menjadi perempuan seperti itu.

"Hei, kok diem?"

Susan mendongak, perempuan itu mengangguk. "Saya takut banget gelap, Pak. Saya emang lemah," lirihnya.

Alis Wisnu mengerut dalam. "Semua perempuan tidak lemah, ada saatnya mereka akan jadi kuat," ucap Wisnu.

"Jadi kamu jangan merasa seperti itu," lanjutnya.

Mendengar hal itu membuat senyuman terbit dari bibir Susan.

"Mau saya buatin minuman apa, Mas? Mas haus 'kan pasti."

Wisnu menggeleng, "memang kamu berani ke dapur?"

Susan tertawa pelan, "engga si, Mas," jawabnya lugu.

Setelah pembicaraan itu, keheningan menyelimuti kedua insan tersebut, hanya ditemani oleh suara rintik hujan yang turun ke tanah. Keduanya larut dalam keterdiaman mereka.

"Boleh saya tanya sesuatu, Mas?" Susan membuka obrolan.

"Silahkan." Pria itu sedikit memiringkan tubuhnya menghadap Susan.

"Sebenarnya, kemana ibunya Leo, Mas? Apakah sudah meninggal?"

Pertanyaan yang Susan lontarkan, membuat senyum tipis Wisnu surut, pria itu menajamkan matanya, serta rahangnya yang mengeras.

"Saya rasa kamu ga ada hak untuk nanya itu!" Pria itu mengepalkan tangannya.

Susan bergeming, apakah ia salah bicara?

Wisnu berdiri dengan raut datar. Tatapan tajam itu terlihat menatap lurus ke depan.

"Saya permisi." Pria itu melenggang pergi dari sana.

Bertepatan dengan itu juga, listrik kembali menyala, tetapi bukan itu yang Susan hiraukan.

"Aduh, aku ga enak nih. Pasti Mas Wisnu tersinggung," gumamnya menyesal.

Tbc

Fate [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang