21. Beautiful Destiny

1.3K 112 4
                                    

Happy Reading ❤️❤️

Wisnu menyeruput kopi buatan Susan dengan senyuman lebar. Hatinya dipenuhi kebahagiaan yang membuncah, mengingat restu yang Rissa berikan untuk hubungannya dengan Susan.

Ardi, sang papa, yang baru keluar dari kamar bingung melihat Wisnu yang tengah senyum-senyum sendiri di meja makan.

"Kalo ngeliat kamu kaya gini papa jadi takut loh, Nu." Ardi menarik kursi dan duduk di sebelah Wisnu.

Wisnu mengerjap, tetapi senyumannya tidak surut sedikitpun. Melihat hal tersebut, lantas membuat Ardi tersenyum kecil, ia mengelus pundak Wisnu.

"Papa mengerti betapa bahagianya kamu sekarang, hidup dengan wanita yang kamu cintai, pasti adalah hal yang sangat kamu dambakan."

Ardi menarik napas, kemudian melanjutkan ucapannya.

"Papa selalu berdoa, semoga hubungan kalian dilancarkan sampai jenjang pernikahan. Dan setelah kalian menikah pun, semoga kalian bisa terus bersama sampai kalian menua nanti," harap Ardi.

Wisnu memeluk Ardi. Pria itu balas dengan menepuk-nepuk pelan punggung anaknya.

"Makasih, pah."

"Sama-sama, Nu."

Ardi tersenyum haru, sebagai seorang ayah, tentunya ia menginginkan kebahagiaan untuk sang anak, bukan?

Wisnu melepaskan diri dari pelukan Ardi. "Susan kemana, pah?"

"Ada di dapur sama Ruby. Lagi buatin makan siang buat kita," jawab Ardi.

"Leo?" tanya Wisnu.

"Anakmu itu lagi tidur, Nu. Kecapekan kali abis ikut belanja sama mama kamu tadi."

Wisnu mengangguk. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar. Melihat hal itu, Ardi mengangkat satu alisnya.

"Kenapa, Nu?"

"Mama di kamar kan, pah?" bisik Wisnu.

Ardi hanya mengangguk dengan tatapan bingung. Apalagi saat melihat Wisnu berdiri dari kursinya.

"Wisnu mau ke dapur ya, pah."

Sekarang Ardi baru mengerti, kenapa putranya itu takut melihat Rissa. Teringat tentang ucapan Rissa tadi, bahwa istrinya itu meminta Susan dan Ruby untuk memasak di dapur, dengan syarat tidak ada yang boleh memasuki dapur kecuali Leo. Entah apa alasannya. Istrinya itu memang sangat unik.

.

.

.

Wisnu mengendap-endap menuju ke dapur, sesampainya di sana. Ia melihat pemandangan yang membuat hatinya terasa menghangat. Terlihat Susan yang sedang berkutat dengan peralatan dapur. Rambut dicepol asal dengan beberapa anak rambut yang menjuntai. Cantik.

Ruby yang pertama kali menyadari keberadaan Wisnu tersenyum jahil, apalagi saat ia melihat tatapan kakaknya ke Susan.

"Mah! Kak Wisnu ke dapur nih, mah!" teriak Ruby.

Kontan Wisnu menghampiri Ruby, dan membekap mulut adiknya itu dengan tangan.

"Shutt. Diem dek. Kamu iseng banget sih," sungut Wisnu.

Susan tertawa pelan melihatnya. Dirasa Ruby sudah tidak ada niatan untuk berteriak lagi. Barulah Wisnu menarik tangannya.

"Jahat banget sih, Kak! Emang aku apa dibekap-bekap." Ruby menggerutu.

"Lagian kamu main teriak-teriak aja!" balas Wisnu tak mau kalah.

"Mas, udah." Susan memegang lengan Wisnu, meminta agar pria itu tidak ribut lagi dengan Ruby.

Wisnu menoleh dan memberikan tatapan lembut untuk Susan. Ruby mendengkus kala melihat itu.

"Dahlah. Aku mau ke kamar. Males jadi nyamuk, bye!"

Susan menatap kepergian Ruby dengan perasaan tidak enak.

"Ruby marah ya, mas? Marah sama aku?" Susan bertanya dengan perasaan gelisah.

Wisnu tidak menjawab, ia mengambil salah satu tangan Susan, dan mendaratkan kecupan di sana. Wisnu menahan tangan Susan, saat merasakan pergerakan perempuan itu yang ingin menarik tangannya.

"Mas, tangan aku bau bawang." Susan meringis tak enak.

"Ngga peduli," jawabnya cuek. Susan pasrah dan membiarkan hal itu.

"Kamu masak apa, sayang?" Wisnu menelisik bahan-bahan yang tersaji didepannya.

"Hmm, Sop iga, mas." Susan malu-malu menjawab, jantungnya berdegup kencang manakala Wisnu masih menggenggam tangannya.

Sesaat ia dapat bernapas lega ketika Wisnu melepaskan genggaman itu. Akan tetapi, ternyata prediksinya salah, jantungnya kembali berpacu, bahkan lebih cepat dari yang tadi, dikarenakan Wisnu malah menarik pinggangnya. Mempersempit jarak di antara mereka,  pria itu mendaratkan satu kecupan di kening Susan, yang membuat perempuan itu tersipu malu.

"Kan yang mama suruh di dapur tadi Susan sama Ruby, Nu. Kok kamu ada di sini?" Rissa tiba-tiba datang, wanita itu berkacak pinggang.

Buru-buru Susan melepaskan diri dari rengkuhan Wisnu. Ia menunduk, dipergoki oleh calon mertuanya dalam keadaan begini adalah hal yang sangat memalukan.

Wisnu menggaruk kepalanya. "Maaf, mah."

Rissa menggeleng, "ya sudah. Sana kamu pergi. Mama mau masak berdua sama Susan."

Wisnu tersenyum masam, ia mengedipkan sebelah matanya ke Susan, sebelum berlalu dari sana.

Rissa tersenyum menghampiri Susan. "Baru sampe mana kamu masaknya, San?"

"Baru mau panasin airnya, mah," ucap Susan pelan.

"Mama bantu ya?"

"Ngga usah, mah." Susan menolaknya dengan halus.

Melihat tatapan Rissa yang seakan tak ingin dibantah, Susan akhirnya membiarkan wanita itu untuk ikut membantu.

Rissa mulai menuangkan air ke dalam panci, setelahnya ia menyalakan kompor dan menunggu air mendidih. Susan hanya diam melihat hal itu.

"Susan." Panggilan itu mengalihkan atensinya.

Susan diam, menunggu wanita itu berbicara.

"Sekali lagi, mama minta maaf ya. Jujur, mama sudah salah menilai kamu..." Rissa menunduk.

"Memang benar kata orang, kita jangan melihat orang dari masa lalunya. Mama begini, karena mama trauma akan masa lalu Wisnu. Bagaimana pernikahan pertamanya yang gagal dulu. Mama takut, kalau Wisnu menikah dengan kamu, dan kamu..." Mulut Rissa seakan terkunci untuk melanjutkan ucapannya.

"Aku kenapa, mah?" Susan penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh Rissa.

"Mama takut kamu melakukan hal yang pernah Karin lakukan dulu." Wanita itu mengembuskan napasnya.

Susan menunduk, ia menyadari masa lalunya dulu. Dimana saat itu uang, adalah satu-satunya hal yang ia prioritaskan.

"Tetapi, setelah melihat apa yang kamu sudah ajarkan ke Leo. Pandangan saya ke kamu berubah. Wisnu benar, kamu bukan lagi Susan yang dulu." Rissa berbicara seraya tangannya mengelus kepala Susan.

Kedua tangannya ia letakkan di bahu Susan, langsung saja, ia memeluk tubuh calon menantunya itu. "Maafkan mama ya, Nak. Sekarang, kamu bisa anggap mama sebagai mama kandung kamu. Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita ke mama."

Tangis Susan pecah, ia membalas pelukan itu dengan erat. Sudah delapan tahun, dia tidak merasakan kehangatan dari seorang ibu. Susan benar-benar merindukannya. Setelah kepergian Kinan, hidup yang tadinya dilingkupi ketentraman, seakan sirna begitu saja. Dan sekarang, ia kembali merasakan kehangatan itu lagi. Seakan semesta memang mengizinkan, Susan kembali mendapatkan kebahagiaan serta semangat hidupnya. Takdir yang benar-benar sangat indah.





Tbc

Fate [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang