10. Perhatian Wisnu

1.3K 129 3
                                    

Happy reading ❤️❤️

Susan terbangun karena ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman, ia bangun dan mendapat kejutan berupa hal biasa setiap bulannya bagi wanita.

Dengan perut yang keram, ia berupaya untuk membereskan sprei kasur, memisahkan sprei yang sudah terkena noda, dan menyiram-nyiraminya dengan air baru setelah itu ia taruh di keranjang kotor di kamarnya.

Masih dengan piama biru bergambar kucing, Susan beralih ke kamar Arum yang berada tepat di seberang kamarnya.

Saat sudah tiba, Susan memandang ragu pintu coklat kayu di depannya itu, mengetuk atau tidak? Jika tidak, bagaimana ia bisa mendapatkan apa yang ia butuhkan.

Dengan berdehem sedikit, lantas ia mengetuk pintu dengan pelan. Ketukan pertama tidak ada respon apapun, ketukan kedua kalinya masih tetap sama.

"Rum," panggil Susan pada akhirnya.

Barulah pintu terbuka, menampilkan sang pemilik kamar yang masih juga dengan piama tidur yang melekat di tubuh. Susan tersenyum kikuk, ini jam dua pagi, sedikit ringisan meluncur dari mulut perempuan itu.

"Kenapa, San?" tanya Arum sembari menguap.

"Aku ganggu ya? Maaf ya, Rum. Aku kemari mau minta pembalut, punyaku habis soalnya."

Arum mengangguk pelan, nampaknya kesadaran belum sepenuhnya menguasai diri wanita itu. Setelah mengambilnya, Arum muncul kembali dengan satu bungkus pembalut di tangannya.

"Perut kamu keram ngga?" tanya Arum.

"Kaya biasanya sih, tapi ngga apa-apa kok, aku bisa atasi. Makasih ya, Rum."

Susan langsung kembali melenggang ke kamar, memakai apa yang seharusnya. Karena masih terlalu larut, ia malah kembali menghempas tubuhnya ke ranjang, dan melanjutkan kegiatan tidurnya menelusuri alam mimpi.

***

Kegiatan tidurnya terusik sebab cahaya matahari yang menembus kedalam matanya. Kelopak mata itu terbuka, Susan melihat Arum berdiri didepannya sambil berkacak pinggang.

"Kenapa, Rum?" tanya Susan dengan suara parau.

Ia lantas mendudukkan diri, mengerjap-ngerjapkan mata sambil melamun, hal yang sering ia lakukan setelah bangun tidur.

"Ada Pak Wisnu tuh."

Perkataan Arum sukses membuat Susan terkejut, bersamaan dengan dirinya yang hendak bangun, perutnya tiba-tiba kembali sakit. Ringisan keluar dari mulut Susan.

"Susan, kamu ngga kenapa-kenapa, kan?" tanya Arum panik.

Susan bersandar di kepala kasur, "perut aku, Rum. Sakit," katanya.

Mood Susan benar-benar hancur sekarang, mulai dari dirinya yang datang bulan dan merasa sakit, lalu kedatangan Wisnu yang dimana Susan tidak ingin bertemu pria itu. Lagipula di hari libur begini, untuk apa pria itu nekat menemui dirinya bahkan sampai datang ke rumah?

"Yaudah, aku bilangin ya, kalo kamu lagi ngga enak badan." Arum hendak berbalik keluar dari kamar Susan, tetapi perempuan itu keburu menahan langkahnya.

"Jangan, Rum! Nanti aku temuin dia, aku mau ganti baju dulu," kata Susan.

Arum mengangguk, "oke."

Setelah pintu kamar tertutup pertanda Arum sudah keluar, Susan mengembuskan napas. Lantas ia berdiri dan mulai berganti pakaian rumahan.

Selepas bertanya pada Arum, dimana keberadaan Wisnu, Susan berjalan dengan tangan yang melilit di perutnya. Perempuan itu menemukan Wisnu di teras depan yang sedang memandang lurus tanpa melakukan apapun, entah apa yang dipikirkan pria itu.

"Mas," panggil Susan saat sudah duduk di sebelah pria itu.

Wisnu menoleh, bibirnya langsung membentuk senyuman lebar yang membuat kedua matanya menyipit. Susan sedikit risih akan tatapan itu.

"Apa kabar, San?" tanya Wisnu.

Susan berdehem, menetralkan rasa gugup yang tiba-tiba mendera. "Baik mas, Alhamdulillah."

Perempuan itu menunduk, tangannya sibuk menekan-nekan pelan perut yang sedari tadi terasa seperti dicengkeram itu. Melihat gelagat aneh Susan, Wisnu mengangkat sebelah alis.

"Kamu lagi sakit?" Wisnu mendorong dirinya untuk mendekat ke arah Susan. Menipiskan jarak di antara mereka.

"Biasa, mas. Tamu bulanan."

Wisnu manggut-manggut, "apa selalu seperti ini?"

Susan mengangkat kepalanya, hingga kini kedua pandangan insan itu bertemu. "Maksudnya, mas?"

"Iya, kamu setiap datang bulan, sering sakit begini?"

"Ohh, iya, mas," jawabnya singkat.

Wisnu memegang perut Susan yang masih berbalut kaos, hingga membuatnya sedikit tersentak.

"Sakitnya disini?" tanya Wisnu memastikan yang hanya dijawab anggukan kepala oleh Susan.

"Saya boleh izin masuk, kan?" Pertanyaan Wisnu membuat Susan bingung.

"Boleh aja sih, mas. Tapi mau ngapain?" Pertanyaan itu tidak terjawab karena Wisnu yang sudah masuk ke dalam rumahnya.

Segudang pertanyaan berputar di kepala perempuan itu, sampai-sampai ia menutup mata sambil memijat pelipisnya. Wisnu memang sulit ditebak.

Merasakan ada seseorang yang duduk lagi di sebelahnya, baru Susan membuka mata. Wisnu kembali dengan botol di tangan pria itu.

"Ini." Wisnu menyodorkan botol yang berisikan air hangat untuk Susan terima. Susan hanya diam memandang Wisnu dan botol tersebut secara bergantian.

"Taruh di perut kamu. Lama-lama keramnya berkurang nanti." Wisnu tersenyum saat Susan menerima botol itu.

Susan mengangguk, ia menyingkap sedikit kaosnya, membuat Wisnu membuang pandangan dengan telinga dan wajah yang memerah. Dari ekor matanya, Wisnu melihat perut Susan yang sudah kembali tertutup.

Dengan lembut, Wisnu mengulurkan tangan dan menggengam tangan Susan yang sebelumnya perempuan itu taruh di atas perutnya. Hal tersebut membuat degup jantung Susan kian memacu cepat.

"Tadinya saya mau ajak kamu ke rumah, Leo kangen katanya. Tapi karena kondisi kamu yang kurang fit, sepertinya lain kali aja saya ajak kamunya." Mata Wisnu menjelajah, menyelami manik mata sendu coklat milik Susan.

Mereka saling menatap dalam satu sama lain, Susan merasakan nyaman dan merasa dilindungi. Apalagi dengan posisi seperti ini, dengan tangan Wisnu yang melingkup di tangannya. Menciptakan kehangatan di relung hati perempuan itu.

"Dulu mama saya juga sering mengalami hal seperti ini, dan papa juga melakukan hal yang sama. Jadi ya saya tiru. Apa benar? Sakitnya sudah reda kah?" Tatapan Wisnu begitu memabukkan, menyusup hingga menyentuh permukaan hati Susan.

Anggukan kepala dari Susan, membuat Wisnu lega. Wisnu semakin mempererat genggamannya di tangan Susan. Susan merasa jantungnya bertalu-talu, setelah sekian lama hatinya mati dibekukan oleh bayang-bayang kebejatan Rey padanya. Kini seakan Susan merasakan kembali, dan tentunya kali ini hati Susan seakan terjalin erat pada Wisnu. Apakah Wisnu tambatan hati yang sebenarnya?







Tbc

Fate [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang