9. Usaha Wisnu

1.3K 138 5
                                    

Happy reading ❤️❤️

Susan merasa kesal dihadapkan dengan situasi seperti ini. Ia baru saja duduk di kursi kerjanya, Jesika langsung datang dan menginterogasi.

"Lo kenapa bisa bareng Pak Wisnu?" Terselip nada kecemburuan di balik suara perempuan itu.

"Iya, karena dia jemput gue," jawab Susan singkat.

Wina menatap Jesika dengan tajam. Ia tidak suka pada sekretaris bosnya itu. Menurut dirinya, Jesika itu perempuan yang manja dan lebay.

"Heh! Jes, udah deh. Ini kan udah masuk jam kantor lagi. Sana gih, balik urusin kerjaan lo!" Wina mengusir Jesika dengan nada ketus.

Jesika menatap Wina, ia mengangkat dagunya angkuh.

"Gue ngga ada urusan sama lo."

Jesika sedikit mencondongkan tubuhnya, berbisik sesuatu kepada Susan yang langsung membuat perempuan itu menegang panik. Jesika pergi dengan senyum miring yang tersungging di bibir merahnya.

***

"Gue tau rahasia gelap lo."

Satu kata yang Jesika bisikkan tadi, sukses membuat Susan ketakutan. Dirinya berusaha menutup aib memalukan itu, tetapi Jesika. Satu pertanyaan memenuhi pikiran perempuan itu, bagaimana Jesika tau?

Susan mengusap kasar wajahnya, mencoba menormalkan diri, Susan tak boleh terbawa suasana panik yang pada akhirnya akan merugikan dirinya sendiri nanti.

Susan beranjak berdiri menuju toilet, dalam langkahnya, ia merasakan ada yang mengikuti dari belakang. Kala perempuan itu menoleh, ia tak menemukan siapapun.

Mengangkat kedua bahunya acuh, perempuan itu melanjutkan langkahnya ke kamar mandi. Selepas selesai dengan urusannya, Susan keluar dengan wajah yang lebih segar saat sudah mencuci muka. Baru ingin berjalan, Susan merasakan sebuah tangan kecil yang memeluk perutnya dari belakang. Susan sedikit menunduk, matanya bertemu dengan tatapan lugu dari anak yang kini tengah memeluknya.

"Mama!"

Jantung Susan hampir copot rasanya, untuk beberapa detik tubuhnya terdiam kaku. Selanjutnya, Susan melepas pelan tangan Leo dari perutnya, ada sedikit pancaran tidak rela yang terlihat dari mata anak itu.

Susan mensejajarkan tubuhnya dengan Leo, mengelus pipi anak itu.

"Leo, kok panggil tante mama? Tante kan bukan mamanya Leo." Dengan penuh kelembutan, Susan memberikan penjelasan, agar anak itu tidak tersinggung nantinya.

Leo memiringkan kepalanya, mulutnya memprotes, "tapi kata papa, tante cantik itu mamanya Leo."

Susan memejamkan mata sesaat, ia benar-benar tak habis pikir akan pola pikir atasannya tersebut. Bagaimana mungkin, Wisnu mengatakan hal itu kepada Leo. Perempuan itu kembali membuka mata, sembari menggigit bibir bawahnya.

"Hmm, gini Leo. Tante, bukan mamanya Leo. Leo punya mama, coba Leo tanya papa, siapa mama Leo. Iya?" tanya Susan lembut.

"Tapi kata papa, papa gatau dimana mamanya Leo." Leo menunduk sedih.

Susan berdiri, mengusap kepala Leo pelan. Pulang nanti, ia harus memastikannya kepada Wisnu, apa maksudnya berbicara begitu kepada Leo.

***

Wisnu mengangkat sebelah alis saat melihat Susan yang tiba-tiba menghadangnya di parkiran.

"Saya mau bicara sesuatu, pak," kata Susan.

"Leo sayang, Leo masuk duluan ke mobil ya. Papa mau bicara sebentar sama mama," kata Wisnu kepada Leo, yang langsung diangguki semangat oleh anak itu.

Susan langsung mendelik, apa-apaan ini?

Setelah melihat punggung Leo masuk ke mobil, Wisnu kembali menatap Susan.

"Ada apa? Apa kamu mau membicarakan tentang kita?" tanya Wisnu.

Susan mendengkus, mendengar kata 'kita' seakan mengdeklarasikan kalau mereka memiliki hubungan.

"Pak Wisnu kenapa ngomong ke Leo, kalo saya itu mamanya?"

Wisnu mengulum senyum, "why? Memang benar kan?"

Susan berdecak kesal, ia merubah wajahnya menjadi raut yang lebih serius, penuh ketegangan.

"Saya mohon, pak. Saya merasa ngga nyaman kalau begini. Hubungan kita hanya sebatas atasan dan bawahan. Ngga lebih. Dan apa yang bapak katakan kepada Leo, itu apa akan mempengaruhi pikirannya, apalagi Leo masih anak-anak. Gimana bapak bisa bilang gitu ke Leo, sedangkan saya sendiri ngga mau ada hubungan apapun dengan bapak," kata Susan.

Tatapan Wisnu sedikit meredup, senyumnya perlahan pudar. Wajah yang tadinya penuh jenaka, kini berubah menjadi datar. Wisnu memegang kedua bahu Susan, membuat keduanya bertatapan sebentar.

"Apa segitu susahnya buka hati untuk saya? Tidakkah kamu melihat cinta di mata saya?" bisik Wisnu.

"Pak Wisnu ngga akan mengerti. Sekarang saya mohon jauhi saya!" Susan menghempas kedua tangan Wisnu yang tadi bertengger di bahunya.

Bukannya mundur, Wisnu malah melangkah maju. Wisnu mendaratkan bibirnya di kening Susan. Jujur saja, Susan merasakan perasaan hangat yang melingkupi hati dan jiwanya.

Tetapi Susan seakan tersadar oleh kenyataan. Tangan kecilnya langsung menuju pipi Wisnu, memberikan tamparan pada wajah pria itu. Deru napasnya naik turun, Susan melupakan batasan, dimana Wisnu sebagai bos di kantor tempat ia bekerja.

"Pak Wisnu harus dengar ini. Hati saya sudah mati sejak lama. Sekuat apapun bapak mencoba, itu akan menjadi hal yang sia-sia. Jadi saya mohon sekarang jauhi saya, pak," kata Susan geram.

Tangan Susan sedikit tremor, ia mulai menyadari jika yang dilakukannya itu salah. Tetapi lagi-lagi emosi mengambil alih dirinya.

Selesai meluapkan kekesalannya, ia berbalik meninggalkan Wisnu. Orang-orang yang melewati parkiran tentu saja terkejut melihat kejadian itu.

Wisnu memandang punggung Susan dengan tatapan nanar. Pria itu tidak memperdulikan tamparan perempuan tadi, Wisnu malah berpikir, ada yang salah dari perempuan itu.

Susan tidak mengalami luka fisik, tetapi luka batin yang berpengaruh pada mentalnya. Dan Wisnu tahu, sesuatu yang tidak mengenakkan telah terjadi hingga membuat Susan membenci apa itu yang namanya cinta.

"Kamu tidak mau cerita. Saya akan cari tau sendiri dengan cara saya," gumam Wisnu.






Tbc

Fate [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang