12. Try

1.3K 124 3
                                    

Happy reading ❤️❤️

Satu pertanyaan yang berkelana di pikiran Susan saat ini ialah siapa? Iya, makam siapa yang tengah Wisnu ingin kunjungi. Suatu tempat yang Wisnu sebutkan, ternyata sebuah pemakaman.

Susan terus berjalan mengikuti Wisnu, menelusuri blok tiap blok area makam tersebut. Kondisi tanah yang lembab membuatnya sedikit kesulitan dalam langkahnya, beberapa kali ia hampir terpeleset, jika Wisnu tidak menahan tubuhnya, sudah pasti perempuan itu akan terjatuh. Wisnu berhenti, yang turut membuat langkah Susan ikut terhenti. Alis Susan sempat mengkerut kala pria itu berjongkok di samping makam seseorang dan membersihkan rumput-rumput liar yang mulai tumbuh.

Mata Susan mengerjap, ia baru sadar, lantas dirinya ikut berjongkok di sebelah pria itu.

"Assalamualaikum, Karin." Wisnu mengusap nisan itu dengan senyum kecilnya.

"Kita berdoa dulu, ya?" Wisnu menoleh ke arah Susan yang dijawab anggukan oleh perempuan itu.

Selepas berdoa, Wisnu menyirami air mawar dan menaburkan bunga ke makam itu. Setelahnya, ia menarik napas kemudian mengembuskannya perlahan.

"Kamu tahu, Karin? Saya sudah mendapatkan kebahagiaan saya. Saya menemukan hidup saya kembali." Sudut mata Wisnu melirik ke arah Susan.

"Kamu jangan khawatir, saya sudah memaafkan kamu. Semoga kamu tenang disana," lanjut Wisnu.

Wisnu berdiri, pria itu mengulurkan tangannya ke Susan yang langsung ditanggapi cepat oleh perempuan itu.

"Kami pulang dulu, Karin. Assalamualaikum."

Wisnu menggandeng tangan Susan, keduanya berjalan perlahan keluar dari pemakaman. Susan masih banyak diam, pikirannya seakan blank saat tiba disini.

***

"Tadi itu makam mantan istri saya."

Susan yang tadinya sedang sibuk mengaduk-aduk minumannya, lantas langsung mendongak cepat. Matanya sibuk meneliti kembali wajah Wisnu, otaknya seakan berputar memproses ucapan Wisnu barusan.

Mereka kini tengah menikmati es kelapa di warung tenda pinggir jalan. Kebisingan jalan raya begitu terdengar jelas, hari Minggu begini tentunya orang-orang gunakan untuk berjalan-jalan dan liburan.

Wisnu memandang jalanan yang terhampar sesaat, sebelum kembali menatap Susan. Manik mata yang biasanya selalu menunjukkan tatapan memuja, kini menampilkan sorot sendu, dan Susan dapat melihatnya.

"Saat itu, Karin meminta cerai, ya alasan klise..." Wisnu mengangkat kedua bahunya.

"Dia memilih pria yang lebih kaya daripada saya. Yang membuat saya sangat kecewa, ternyata dia sudah menjalin hubungan dengan pria itu sebulan setelah melahirkan Leo. Saya langsung menceraikan Karin. Setelah kami bercerai, Karin pergi begitu saja, meninggalkan Leo dan juga saya tentunya."

Wisnu menunduk, "saat Leo berusia empat tahun, saya baru tahu kalau Karin mengidap penyakit kanker serviks. Beberapa minggu kemudian, dia dinyatakan meninggal."

Susan yang sedang duduk di depan Wisnu, turut ikut bersedih mendengarnya. Ia memberikan usapan lembut di punggung tangan Wisnu. Wisnu terdiam, tak lama dirinya membelit tangan Susan dengan tangannya. Menyalurkan kerapuhan yang selama ini ia sembunyikan.

Susan sempat terkejut, tetapi ia memilih bungkam. Tidak ada yang kembali membuka percakapan, keduanya diam. Warung tenda ini juga sudah lumayan sepi menyisakan beberapa pelanggan.

Masih dengan posisi yang sama. Suara deru mobil dan motor yang bersahutanlah yang menjadi pemecah keterdiaman mereka. Tangan Wisnu dan Susan terlepas karena pria itu yang lebih dulu menarik tangannya.

"Sudahlah, tidak baik membicarakan keburukan orang yang sudah tidak ada."

Susan mengangguk membenarkan. Perempuan itu kembali meminum es kelapanya yang masih tersisa sedikit. Susan menatap gelas Wisnu yang sudah kosong, disusul oleh gelasnya sendiri.

"Hm, mas?" panggil Susan ragu.

"Kenapa?" sahut Wisnu.

"Mas Wisnu kenapa bisa begitu aja suka sama aku? Sedangkan kita baru aja ketemu. Ini hal aneh." Kalimat terakhir yang Susan katakan, terdengar seperti sebuah bisikan.

"Cinta itu memang aneh. Semakin saya mencoba menjauhi kamu, semakin saya ngga bisa. Seakan hati kita memang ditakdirkan untuk saling bertaut," kata Wisnu lugas.

Jawaban yang Wisnu berikan belum membuat Susan puas. Ia ingin tahu lebih banyak, hal apa dalam diri Susan sampai-sampai membuat pria itu langsung jatuh cinta padanya.

Perempuan itu menyelipkan helaian rambut yang jatuh ke belakang telinganya. "Hal lainnya, mas? Gini loh, mas. Ngga mungkin kita suka atau langsung cinta sama orang begitu aja, kan? Apalagi baru pertama kali sekedar bertemu."

"Susan, saya kan sudah bilang. Saya sudah tertarik sama kamu saat pertama kali saya melihat kamu di---,"

"Iya aku tahu, mas. Tapi apa mas yakin, itu bukan sekedar rasa penasaran aja?" potong Susan.

Wisnu mengusap wajahnya gusar, "harus pake cara apa saya membuktikannya, San?"

"Saya mencintai kamu, kamu harus yakin itu. Saya tidak pernah berbohong tentang perasaan saya sendiri. Bagaimana mungkin saya bisa jauh dari pemilik hati saya yang sesungguhnya?"

Susan langsung dibuat tak berkutik, kata-kata Wisnu, seakan masuk menerobos relung hatinya. Menghantarkan perasaan-perasaan yang tak dapat Susan jabarkan.

"Aku akan coba membuka hati untuk kamu, mas." Tangan Susan bergerak, menggenggam tangan Wisnu.

Wisnu sedikit tak percaya atas apa yang baru ia dengar barusan, kemudian ia tersenyum. "Kamu serius?" Anggukan dari Susan, merupakan jawaban yang sangat dinanti-nanti oleh pria itu.

"Jadi, sekarang kita pacaran?" Wisnu mengangkat sebelah alisnya sambil melempar senyuman jahil.

Pipi Susan bersemu, "mungkin iya, mas."

Genggaman diantara mereka semakin menguat. "Terima kasih, Sayang."




Tbc

Fate [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang