16. I Give Up

1.2K 122 15
                                    

Happy reading ❤️❤️

Wisnu mengemudikan mobilnya menuju kediaman Rama dengan tujuan menemui Susan. Meskipun langit sudah mulai menggelap, ia tetap pada pendiriannya untuk mencari tahu hal yang sedari tadi mengusik hati.

Mobil hitam itu perlahan berhenti di depan sebuah gerbang. Ia menekan nomor Susan, tak lama, panggilan itu mulai terhubung.

"Mas Wisnu? Ada apa, Mas?"

"Ke depan sekarang! Ada yang mau saya omongin."

Panggilan tersebut langsung diputuskan sepihak olehnya, sebisa mungkin Wisnu menahan diri.

"Apa benar semua itu?" Wisnu berkata lirih, berbisik pada dirinya sendiri.

Ketukan di kaca mobil, langsung membuat Wisnu dengan cepat menoleh. Susan sudah duduk di sebelahnya dengan pakaian santai berbalut kardigan panjang, serta rambut yang dibiarkan terurai.

Perempuan itu tidak mengerti, ada perihal apa sampai-sampai Wisnu mengajak bertemu. Bahkan tanpa bertemu sapa dengan Rama--- kakaknya terlebih dahulu. Tidak seperti biasanya.

"Mas? Kok diem."

"Eh iya! Aku ngomongnya sekarang aja ya, Mas." Susan menggigit bibirnya gugup.

"Ehmm... Jadi, aku sebenarnya..."

"Tunggu, San! Kita perlu bicara mengenai hal yang lebih penting," potong Wisnu.

Lagi-lagi Susan dijatuhkan kembali oleh Wisnu, ucapan dingin pria itu seolah memang tidak ingin dibantah. Akhirnya, ia memilih diam tak meneruskan ucapannya.
Wisnu menjalankan kembali mobilnya, membawa Susan menuju tempat yang tepat untuk membicarakan semua hal. Sesampainya di tempat tersebut, Wisnu buru-buru menarik tangan Susan.

Susan berupaya mengimbangi langkah lebarnya Wisnu. Merasa tidak nyaman, Susan menahan lengan pria itu kala keduanya berada di ambang pintu.

"Kenapa, sih, Mas? Tangan aku sakit tau ngga ditarik-tarik gini," keluhnya.

Susan tidak bermaksud manja, tetapi inilah kenyataannya. Tangan Wisnu yang besar serasa mencekik pergelangan tangan perempuan itu.

Wisnu menarik tangannya, "maaf."

Selanjutnya, ia masuk terlebih dahulu disusul oleh Susan yang sibuk mengusap-usap pergelangan tangan yang tadi dipegang oleh Wisnu.

"Duduk!" perintah Wisnu.

Susan menurut, ia mendaratkan pantatnya di sofa ruang tengah milik Wisnu. Pandangan perempuan itu mengitari keseluruhan penjuru rumah Wisnu. Nampak sepi, entah kemana Leo, Ruby, dan bahkan ART rumah tersebut.

Wisnu ikut duduk di depan Susan, "saya ngga mau basa-basi. Sekarang juga kamu harus ceritakan semuanya sekarang juga!" tuntut Wisnu.

"Hah? Ce--Cerita tentang apa, Mas?" Perasaan tak enak mulai menyelimuti dirinya.

"Semua hidup kamu. Semua masa lalu kamu. Katakan sekarang juga!"

"Kenapa Mas Wisnu tiba-tiba kayak gini?" tanyanya tak mengerti.

"Jesika sudah cerita ke saya. Saya mau dengar dari kamu langsung, San. Bukan orang lain." Terdengar kegusaran dalam suara pria itu.

"Jesika bilang apa, Mas? Terus, dari mana dia tau?" Susan bertanya dengan suara yang mulai bergetar.

Pria itu menceritakan kembali, semua yang Jesika katakan tanpa kekurangan sedikit pun. Air mata Susan mulai turun, apalagi mendengar satu kebenaran, jika Jesika adalah sepupu dari Reynald. ia membekap mulutnya, menahan tangisan yang mungkin saja akan pecah saat itu juga. Sekarang betapa hina dirinya di depan Wisnu. Inilah yang ia takutkan, Wisnu mengetahui semuanya, lalu pergi.

"Benar semuanya, San?" Wisnu kembali meminta kejelasan.

"IYA! BENER, MAS! AKU BURUK! AKU BURUK, MAS." Susan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Bahunya bergetar kencang.

Wisnu memandang Susan penuh luka, Perempuan yang ia cintai. Di satu sisi ia juga marah, saat dirinya harus mendengar fakta bahwa Susan pernah menyiksa Arum.

"Kamu jahat, San. Jahat sekali! Bagaimana mungkin kamu saat itu menyiksa Arum?" gumam Wisnu.

Meskipun pada akhirnya Arum hidup bahagia bersama Rama, namun tak dapat dipungkiri, jika apa yang Susan lakukan itu salah.

"Aku jahat, Mas. Bahkan aku kehilangan bayi aku karena ulah aku sendiri. Saat hamil, bukannya menjaga kandunganku, aku malah mabuk-mabukan sama temen-temen aku. Aku jahat..." Dengan pandangan kosong, serta senggukan-senggukan kecil, ia masih meneteskan air mata. Semuanya ia sampaikan kepada Wisnu. Biarlah Wisnu mau melakukan apa nantinya.

Susan mulai beranjak bangun, "Mas Wisnu mau apa sekarang? Mas udah tau gimana aku, kan? Kalau mas mau pergi aku ngga apa-apa kok. Aku memang ngga pantas untuk dicintai." Susan membuang pandangannya sembari tertawa hambar.

Ia menyeka air matanya. Bahkan kedua mata cantik itu terlihat memerah sekarang. Wisnu masih bergeming dengan tatapan yang tertuju ke lantai, melihat keterdiaman pria itu, Susan yakin. Memangnya apa yang mau diharapkan oleh pria seperti Wisnu pada dirinya?

Dengan suara tercekat, Susan berkata. "Fine. Apa mas akan pergi? Kalau gitu aku nyerah, Mas. Aku cukup sadar diri juga. Terima kasih sudah mau menemani aku, memberikan cinta yang tulus."

Susan maju dua langkah, dibatasi oleh sebuah meja panjang, membuatnya tak gentar untuk mengatakan isi hatinya.

"Aku mencintai Mas Wisnu." Susan tersenyum pedih, ia memutar tumitnya, melangkah pergi dari sana.

Di depan rumah, ia berpapasan dengan Ruby dan juga Leo. Tetapi ia melenggang begitu saja, tanpa membalas sapaan Leo maupun Ruby.

Susan berjalan pelan, di tengah gelapnya malam yang dingin serta pekat, ia memeluk tubuhnya sendiri. Memandang langit, dirinya kembali menitikkan air mata.



Tbc

Fate [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang